Pendahuluan
Akhir-akhir ini, gerakan emansipasi di berbagai bidang seolah-olah telah menjadi primadona dan semakin meningkat kuantitasnya. Aksi-aksi yang sering terdengar di berbagai media terutama tentang gerakan feminis, gerakan hak sipil, gerakan anti-rasisme, gerakan LGBT, gerakan hak pekerja, dsb, merupakan aksi-aksi yang pada umumnya menyuarakan emansipasi. Tak dapat dimungkiri, di tengah dunia yang masih saja mengalami berbagai macam penindasan dan ketidakadilan di pelbagai aspek kehidupannya, gerakan emansipasi sangat mutlak dibutuhkan. Gerakan emansipasi itu sendiri adalah suatu perjuangan atau usaha untuk mencapai kesetaraan, kebebasan, dan pembebasan dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, atau ketergantungan yang dialami oleh kelompok tertentu dalam masyarakat.
Di antara berbagai kampanye emansipasi yang sering digemakan oleh berbagai gerakan akhir-akhir ini, emansipasi di bidang pendidikan merupakan salah satu ide yang cukup menarik perhatian. Salah seorang aktivis gerakan emansipasi hak-hak buruh sekaligus filsuf terkenal asal Prancis, Jacques Rancière, berpandangan bahwa akar dari segala jenis ketimpangan yang masih terus berlanjut hingga saat ini sejatinya disebabkan oleh sistem pendidikan dunia yang tidak adil. Rancière berpendapat bahwa dunia pendidikan sangat butuh untuk diemansipasikan. Namun, pada dasarnya Rancière menawarkan konsep emansipasi yang berbeda dari pandangan tradisional. Menurutnya, emansipasi bukanlah sekadar pemberian kebebasan atau pembebasan dari penindasan eksternal, tetapi juga melibatkan pembebasan diri dari kondisi yang membuat seseorang dianggap sebagai “tidak kompeten” atau “tidak berdaya”.[1]
Dalam bidang pendidikan, Rancière menggambarkan emansipasi sebagai sebuah proses yang terkait dengan kesetaraan dan kebebasan intelektual. Dia menentang pembagian yang otoriter dalam masyarakat antara mereka yang memiliki pengetahuan, dan mereka yang dianggap “tidak tahu”.[2] Rancière berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemauan dan kapasitas untuk berpikir dan belajar, tanpa memandang status sosial, latar belakang, atau tingkat pendidikan mereka. Namun, sebelum berlangkah lebih jauh, akan disajikan biografi singkat aktivis sekaligus filsuf hebat ini dan latar belakang pemikirannya.
Biografi
Jacques Rancière adalah seorang filsuf Perancis kontemporer kelahiran Aljazair pada tahun 1940. Setelah ayahnya meninggal, ia bersama ibunya pindah ke Marseille – Perancis. Kemudian, ia menghabiskan masa kecil serta studinya di Paris. Selanjutnya ia belajar filsafat di École Normale Supérieure di Paris di bawah bimbingan filsuf Marxis strukturalis, Louis Althusser. Pada tahun 1969 ia bergabung dengan fakultas filsafat di Centre Universitaire Expérimental de Vincennes yang baru dibentuk, yang menjadi Universitas Paris VIII pada tahun 1971. Ia tetap di sana hingga pensiun sebagai profesor emeritus pada tahun 2000. Ia juga menjabat sebagai profesor filsafat di Eropa Graduate School di Saas-Fee, Swiss.[3]
Rancière yang juga dikenal sebagai murid Louis Althusser, turut menyumbang artikel dalam buku suntingan Althusser yang berjudul Lire le Capital (1965). Buku ini hingga saat ini masih sangat berpengaruh dalam pemikiran Marxis. Dari sana Rancière mulai mendalami Marx secara kritis dan dari sana pula ia meninggalkan Marxisme, dengan menolak Althusserianisme atas Marxisme ilmiahnya. Rancière mengubah arah teoritisnya dari filsafat Marxisme ke filsafat egalitarianisme yang merupakan bentuk baru dari perkembangan teori-teori emansipasi yang bercirikan penghindaran segala macam bentuk tendensi ekonomi-politik, sebagaimana telah menjadi ciri khas dari filsafat Althusser dan Marx.[4]
Berangkat dari pengalamannya bersama Althusser, juga pada saat yang sama dalam usahanya untuk meneliti proses emansipasi kelas pekerja di abad ke-19, sekitar tahun 1980-an Rancière menulis buku (novel) hasil riset tentang pendidikan yang merupakan bentuk penolakannya atas kesenjangan intelektual dalam lingkup pendidikan. Dari risetnya itu, Rancière lantas menyejajarkan proses emansipasi kaum buruh dengan proses emansipasi intellektual.[5] Di situ, ia mengangkat kisah tentang Jean-Joseph Jacotot (1770-1840) seorang guru bahasa Perancis yang bekerja di Belanda. Berjudul Le Maître Ignorant (1987), buku ini berkisah tentang pengalaman mengajar dari Jacotot yang memperaktikan metode pendidikan yang emansipatif.
Kisah Le Maître Ignorant
Dalam bukunya, Ranciére mengisahkan bahwa sekali waktu, Jean-Joseph Jacotot (1770-1840), orang Perancis, pernah mengajarkan bahasa Perancis kepada murid-muridnya di Belanda yang berbahasa Belanda. Namun permasalahannya, Jacotot sendiri tidak dapat berbicara bahasa Belanda. Ia kebingungan untuk mengajari para siswanya berbahasa Perancis. Ia kemudian bereksperimen dengan meminta murid-muridnya membaca novel bilingual (dua bahasa) Perancis-Belanda, “Télémaque” hingga setengah habis, mengulanginya dari awal lagi, dan mencoba menuliskan sesuatu dalam bahasa Perancis. Betapa terkejutnya ia mendapati mereka telah mampu menguasai bahasa Perancis dasar tanpa dirinya perlu menjelaskan sesuatu sama sekali.[6]
Peristiwa kecil ini sejatinya sangat menjungkirbalikkan pikiran Jacotot yang besar dalam tradisi pencerahan. Ia meminta murid-muridnya menulis dalam bahasa Prancis apa-apa yang mereka ingat dari buku yang telah dibaca. Karena bahasa Prancis begitu rumit, bisa dipahami bahwa Jacotot tidak berharap banyak untuk keberhasilan anak didiknya mengerjakan yang ia minta. Pasti akan banyak faute d’ortographe (kesalahan tulis), barbarisme (penggunaan bahasa yang salah kaprah), dan segala kekeliruan lain yang mengerikan, apalagi karena selama proses pengajaran ini Jacotot tidak pernah menjelaskan apa pun tentang tata bahasa atau konyugasi kata-kata bahasa Prancis.[7]
Namun, pada akhirnya anak-anak Belanda itu mampu belajar bahasa Prancis tanpa diberi penjelasan. Pengalaman ini menyadarkan Jacotot bahwa “kemauan” belajar bahasa Prancis ternyata begitu menentukan bagaimana anak-anak itu akhirnya “mampu” berbahasa Prancis. Lebih dari itu, Jacotot mulai berpikir bahwa semua manusia memiliki kemampuan yang sama untuk memahami apa yang juga dipahami dan dilakukan oleh sesamanya. Inilah yang menjadi inti argumentasi Rancière tentang kesetaran dalam bidang pendidikan atau emansipasi pendidikan. Bahwasannya, melalui metode “Pengajaran Universal Alamiah“, semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pengetahuan tanpa adanya sistem hierarkis di mana guru berperan sebagai “bank“ yang menyalurkan segala pengetahuan dengan metode penjelasannya yang sia-sia dan tidak emansipatoris.
Konsep Pendidikan Emansipatif menurut Rancière
Dalam buku Le Maître Ignorant, sebagaimana telah dijelaskan, Rancière memperkenalkan konsep “emansipasi intelektual”. Menurut Rancière, emansipasi intelektual adalah proses di mana individu diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan menggunakan kemampuan mereka untuk berpikir secara mandiri dan kreatif. Emansipasi intelektual juga membebaskan individu dari struktur hierarki yang ada dalam masyarakat, Rancière percaya bahwa pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan pada individu untuk belajar mandiri dan mengembangkan kemampuan mereka.
Rancière menyatakan bahwa pendidikan harus membebaskan siswa dari struktur hierarki dan memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengetahuan dengan bebas tanpa bayang-bayang seorang guru dengan sistem pendidikan gaya bank. Yang mana hal ini juga akan menghasilkan kesenjangan antara siswa yang berprestasi dengan siswa yang kurang berprestasi, karena kurikulum formal cenderung mengabaikan perbedaan individu dalam belajar.[8] Ia mengusulkan sebuah model pendidikan yang ia sebut “metode Jacotot” yang mengedepankan prinsip penghapusan hierarki antara guru dan murid.[9] Dalam metode ini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan siswa belajar secara mandiri dengan menggunakan sumber daya yang tersedia seperti buku dan media lainnya.
Di sini, Rancière mengajarkan tentang “Pengajaran Universal Alamiah“ di mana secara sederhana konsep ini dimengerti bahwa setiap individu dapat belajar tanpa memerlukan penjelasan dan instruksi panjang lebar. Dalam sebuah artikelnya tentang Rancière di Majalah Basis, Setyo Wibowo mengambil contoh sederhana tentang Metode Pengajaran Universal Alamiah ini dengan usaha seorang bayi untuk mempelajari bahasa ibunya atau tentang anak-anak yang mempelajari para Lamafa (pemburu ikan paus di Lamalera) dalam menangkap seekor paus. Mereka bisa mempelajari hal-hal tersebut dengan baik tanpa pelajaran formal atau bahkan tanpa penjelasan apapun.[10]
Pendekatan pendidikan yang diajarkan oleh Rancière dalam Le Maître Ignorant sangat kontras dengan pendekatan pendidikan tradisional. Pendekatan Rancière menekankan pada kesetaraan antara guru dan murid, sehingga membuka ruang bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan secara mandiri dan kreatif. Rancière sangat menekankan egalitarianisme pedagogis. Menurutnya, “qui enseigne sans émanciper abrutit”, “siapa yang mengajar tanpa mengemansipasikan yang diajar berarti membodohkan (membebalkan)“.[11] Di sini, dalam pandangan Rancière, guru haruslah menjadi fasilitator dari sistem pendidikan yang emansipatoris, di mana sang guru tersebut mesti menghargai kemampuan serta kemauan yang dimiliki para murid sebagaimana dalam metode Jacotot yang egalitarian. Dalam metode Jacotot, siswa dianggap sebagai subjek yang aktif dalam proses belajar, ia bukanlah objek yang pasif yang hanya menerima pengetahuan dari guru. Inilah yang menjadi landasan pendidikan emansipatif ala Rancière.
Penutup
Dalam kesimpulannya, tak dapat dimungkiri bahwa pandangan Jacques Rancière tentang pendidikan yang terungkap dalam bukunya “Le maître ignorant” merupakan sebuah kontribusi yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Pandangan ini menekankan pada pentingnya emansipasi intelektual, penghapusan hierarki dalam pendidikan, dan pemberdayaan siswa untuk belajar secara mandiri dan kreatif. Metode Jacotot yang diajarkan oleh Rancière sejatinya dapat membantu mengatasi masalah ketidaksetaraan dalam pendidikan dan keterbelakangan intelektual. Meskipun demikian, pandangan Rancière tentang pendidikan juga memiliki beberapa kelemahan, seperti kebutuhan akan guru yang sangat terampil dan waktu yang lebih lama dalam memperoleh pengetahuan.
Namun demikian, pada dasarnya pandangan Rancière tentang pendidikan emansipatif tetap menjadi inspirasi bagi pengembangan metode dan kurikulum pendidikan yang lebih efektif dan relevan dalam konteks pendidikan modern dewasa ini yang sarat akan ketimpangan dan ketidakadilan. Rancière sendiri sebagaimana telah disinggung pernah menyejajarkan proses emansipasi kaum buruh dengan proses emansipasi intellektual. Dalam idenya tersebut, secara tersirat ia ingin mengatakan bahwa emansipasi intelektual adalah akses menuju emansipasi-emansipasi lain. Jika emansipasi kaum buruh saja harus melalui proses emansipasi intelektual, bukankah emansipasi intelektual atau emansipasi pendidikan adalah akses menuju masyarakat dunia yang bebas dari ketimpangan dan ketidakadilan? Hal ini sangat perlu untuk dicermati. [T]
[1] S. Indiyastutik, “Demokrasi Radikal Menurut Jacques Rancière ”, dalam Diskursus – Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara, Vol. 15, no. 2, Oct. 2016, https://journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/31, hlm. 154
[2] Ibid., hlm. 136.
[3] Brian Duignan, “Jacques Rancière”, dalam Ensiklopedia Britannica , https://www.britannica.com/biography/Jacques-Rancière, diakses pada 15 Mei 2023.
[4] Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hlm. 75. Sebagaimana yang dikutip oleh Ayi Hambali & Rakhmat Hidayat, “Konsep Pedagogi Emansipatif Menurut Jacques Rancière”, Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis, 5.1, 2020, hlm. 3.
[5] A. Setyo Wibowo, “Pengajaran Universal Alamiah: Filsafat Pendidikan Jacques Rancière”, Majalah Basis, No. 11-12, tahun ke-62, 2013, hlm. 21.
[6]Jacques Rancière, Le maître ignorant, hlm. 7-8. Sebagaimana yang dikutip oleh Ibid., hlm. 23.
[7] Ibid., hlm. 24.
[8] Ibid., hlm. 28
[9] Ayi Hambali & Rakhmat Hidayat, Op. Cit., hlm. 5
[10] Bdk. A. Setyo Wibowo, Op. Cit., hlm. 1 dan hlm. 19.
[11] Jacques Rancière, Op. Cit., hlm. 38. Sebagaimana yang dikutip oleh Ibid., hlm. 27.
[][][]
- BACA artikel lain dari penulis ONESSIMUS FEBRYAN AMBUN