SAYA INGIN memulai tulisan ini dengan memperkenalkan salah satu istilah yang saya suka dari Seno Gumira Ajidarma dalam buku “Kentut Kosmopolitan” terbitan dari Pabrik Tulisan. Istilahnya yang diperkenalkannya adalah “Homo Jakartensis”.
Apa sih itu Homo Jakartensis? Istilah ini oleh Seno digunakan untuk menggambarkan manusia-manusia yang tinggal di Jakarta, lengkap dengan kehidupannya di kota metropolitan, bahkan disebut-sebut beranjak menjadi kota kosmopolitan.
Tidak hanya sekadar sebutan, Homo Jakartensis juga dapat dikatakan sebagai sebuah identitas yang dilekatkan oleh orang-orang yang tinggal dan berjuang untuk bertahan hidup di Jakarta. Kalau anak kampung sini a.k.a akamsi menyebutnya, Jakarta Keras Boss!
Sebagai orang yang sudah tinggal di Jakarta kurang lebih selama setahun, tentu saya juga bisa disebut sebagai Homo Jakartensis. Memang benar kata akamsi, kalau hidup di Jakarta sangatlah keras. Persaingan selalu ada di setiap ruang dan waktu. Tanpa ada keinginan untuk maju, saya yakin orang-orang yang berada di Jakarta akan tergilas oleh persaingan.
Tapi, selain menyediakan persaingan, Jakarta juga menyediakan pelbagai fasilitas dan kemudahan yang dapat dinikmati oleh seluruh Homo Jakartensis. Misalnya, sisi bisnis (Jakarta adalah pasar yang potensial bagi para pengusaha), lalu sisi informasi (Jakarta adalah pusat dari pelbagai produksi informasi), hingga sisi transportasi (Jakarta adalah salah satu kota dengan alternatif alat transportasi yang beragam).
Dan dalam tulisan ini saya mau membahas salah satu alternatif transportasi yang tidak hanya ada di Jakarta, tetapi juga di daerah lain, yaitu jalan tol.
Jalan Tol Adalah…
Bagi banyak orang, jalan tol adalah alternatif rute dengan tujuan memangkas waktu tempuh antara satu tempat ke tempat lainnya. Dengan kelebihan yang dimiliki, tentu bagi orang-orang yang ingin melalui jalan tol harus membayar sejumlah uang. Dan itu sangatlah wajar. Ada fasilitas, ada harga Boss! Hehe.
Tarif tol pun beragam, tergantung dengan jarak tempuh, strategis atau tidaknya lokasi, hingga perbedaan dari pihak pengelolanya. Hadirnya fasilitas ini tentu di satu sisi dapat memudahkan akses masyarakat untuk mempercepat seseorang dalam mencapai suatu tempat. Tapi di satu sisi, jalan tol pun memberi tekanan bagi para penggunanya, yakni dari sisi tarif tol. Saya punya satu pengalaman yang baru-baru ini saya alami.
Menjelang hari raya Idul Adha, saya dan beberapa kawan Homo Jakartensis meluncur ke Lampung untuk menghadiri upacara pernikahan seorang senior. Alat transportasi yang kami gunakan tentu saja mobil—pilihan yang paling efektif dan efisien. Dan jalan tol adalah sebuah solusi untuk memangkas waktu tempuh, alias memperpendek jarak.
Benar saja, waktu tempuh dari Jakarta ke Pelabuhan Merak yang berada di Cilegon, Banten hanya ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga jam—itu pun sudah termasuk makan dan minum di rest area. Selepas meninggalkan Pelabuhan Bakauheni, mobil kami memasuki gerbang tol Bakauheni Selatan.
Sebelum jauh bercerita, saya dan salah satu teman sudah mengecek tarif tol yang akan kami lalui di Lampung, dan juga sudah mengisi kartu e-money kami dengan nominal yang menyesuaikan dengan tarif tol yang tertera di internet.
Tarifnya kurang lebih Rp. 90 ribu. Perjalanan dari gerbang Tol Bakauheni Selatan hingga ke gerbang Tol Metro kurang lebih berjarak 105 km dengan jarak tempuh kurang lebih 1 jam 45 menit. Singkat bukan? Namun yang membikin kami kaget adalah ketika melihat papan informasi yang menginformasikan tarif tol sesuai dengan golongan kendaraannya.
Tarif tol bagi mobil yang masuk ke golongan satu dengan rute awal gerbang Tol Bakauheni Selatan dan berakhir di gerbang Tol Metro ternyata sekitar Rp. 140 ribu. Besarnya tarif tol tersebut tentu memaksa kami untuk kembali mengisi e-money agar bisa keluar dari jalan tol.
Tidak Kuasanya Penguasa Berhadapan dengan Pengusaha
Pengalaman tersebut kemudian saya ceritakan kepada salah seorang teman saya yang memang tinggal di Lampung. Jawabannya juga bikin saya kaget, “Tarif tol di Lampung memang baru-baru ini naik hampir 50%, bahkan itu tanpa pemberitahuan.” Ternyata tidak hanya saya yang kaget, tetapi akamsi pun juga sebelumnya sudah kaget lebih dulu.
Pengalaman ini membuat saya teringat dengan sebuah diskusi di ruang kelas pemikiran politik oleh Prof. Maswadi Rauf yang kala itu sedang membahas tentang Marxisme. Ia menyebutkan sebuah teori, yakni Teori Ekonomi Politik Marx yang berisi tentang hubungan antara pemerintah dengan pengusaha (suprastruktur dengan infrastruktur).
Marx menyebutkan bahwa suprastruktur (negara, pemerintah) sangat ditentukan oleh infrastruktur (industri, pengusaha). Hal tersebut kemudian menciptakan kondisi negara yang memberikan perlindungan kepada pengusaha (kaum kapitalis).
Apabila melihat konteks naiknya tarif tol yang kemudian dikaitkan dengan teori tersebut, maka dapat dikatakan negara dalam kondisi yang tidak berdaya dalam menghadapi pengusaha. Sehingga pengusaha-pengusaha jalan tol, tanpa perlu memberitahu lebih dulu merasa berhak untuk menaikkan tarif tol.
Ketidakberdayaan tersebut tentu bermuara pada tercekiknya kondisi ekonomi rakyat. Pengguna jalan tol dipaksa untuk membayar lebih mahal dari biasanya, dengan fasilitas yang bisa dikatakan, sama—bahkan di beberapa titik jalan tol mengalami kerusakan yang dapat membahayakan pengendara.
Naiknya tarif tol juga memberi pengaruh pada harga komoditas. Hal ini dikarenakan distribusi komoditas adalah salah satu aspek dari ongkos produksi yang harus dihitung. Jika tarif tol naik, maka secara otomatis harga komoditas di pasaran juga akan naik. Naa, melihat situasi itu kira-kira siapa yang akan menjadi korbannya? Tentu saja rakyat kecil.
Sebagai Homo Jakartensis newbe, saya menyadari meski fasilitas yang disediakan negara tidak semua rakyatnya dapat menikmati, tetapi dampak dari kebijakan fasilitas tersebut bahkan bisa dirasakan oleh lelaki tua yang sedang sibuk menyemprotkan pestisida di lahan pertaniannya. Kira-kira kalian punya pengalaman serupa?[T]