BANYAK PENULIS, peneliti, ilmuan, sampai cendekiawan yang mengatakan bahwa abad ke-21 ini dapat dibilang abad pengetahuan, abad informasi, dan abad digital. Berbeda dengan abad-abad sebelumnya, misal abad ke-18, 19 atau 20, yang ditandai dengan perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri—peralihan dalam penggunaan tenaga hewan dan manusia beralih dengan menggunakan mesin.
Sedangkan kini, dalam jurnal Pemikiran Soedjatmoko tentang Pendidikan dan Relevansinya pada Abad Ke-21 di Indonesia, Chandra Saputra Purnama menulis, “Transformasi berlanjut ke masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Proses transformasi yang ditandai dengan masifnya perubahan sosial dan budaya masyarakat ini terjadi akibat globalisasi, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta derasnya arus informasi melalui media internet (international network).”
Pesatnya perkembangan teknologi informasi pada abad ini membawa perubahan yang sangat besar—dan tentu merubah perilaku hidup manusia yang seperti didominasi oleh segala sesuatu yang bersifat serba tahayul, maya, palsu, serba fatamorgana, khayalan, plastis, semu, dangkal, dan virtual.
Artinya, pada adad ke-21 ini kita hidup dengan penuh ketidakpastian. Perubahan terjadi begitu cepat dalam skala eksponensial yang tidak pernah ditemui oleh sejarah umat manusia sebelumnya. “Kita sedang hidup di salah satu titik peralihan terbesar dalam sejarah,” kata Thomas L. Friedman.
Menghadapi perubahan yang sangat cepat di zaman ini, memimjam kalimat Chandra Saputra Purnama, “maka perlulah dirumuskan sebuah konsep baru mengenai pendidikan yang umumnya disebut sebagai pendidikan abad ke-21.”
Saya melihat, dunia pendidikan kita hari ini memang sedang di ambang kritis. Sistem pendidikan nasional di Indonesia hari ini, mohon maaf, jauh dari yang diharapkan—kadang hanya memihak golongan mayoritas.
Masalah-masalah seperti rendahnya literasi dan menurunnya motivasi belajar siswa/mahasiswa—paling tidak mahasiswa di sekeliling saya—yang tak kunjung diatasi, kuantitas dan kualitas guru atau dosen yang tidak merata penyebarannya di daerah atau gagap teknologi digital sejak Covid-19 menyerang, serta masih banyak lagi masalah yang membuat pendidikan Indonesia rasanya memang perlu melakukan terobosan.
Tidak sedikit cendekiawan dan pakar pendidikan yang memiliki kepedulian dengan berupaya mengkaji dan mencari terobosan-terobosan atau formulasi serta solusi yang tepat untuk nasib pendidikan Indonesia di abad ini. Salah satu cendekiawan yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan bangsa ini adalah Soedjatmoko—atau yang akrab dipanggil Bung Koko.
Soedjatmoko adalah seorang pemikir, intelektual “sosial kanan” abad ke-20 yang memiliki reputasi internasional. Tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), kawan diskusi seorang indonesianis Ben Anderson, ini pada 1947 pernah diutus Sjahrir ke Amerika sebagai anggota pengamat Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Di masa Orde Baru, Soedjatmoko dijadikan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat dari 1968 hingga 1971. Setelah ia berhenti menjadi Duta Besar Indonesia untuk AS, ia diangkat menjadi Penasihat Khusus Urusan Budaya dan Sosial untuk Kepala Badan Perencanaan Dewan Direktur Ford Foundation. Pada 1980 ia diangkat menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang.
Soedjatmoko merupakan sosok seorang pemikir yang visioner. Meski hidup pada abad ke-20, ia mampu menangkap tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia di masa mendatang. Misalnya dalam makalah Manusia Indonesia Menjelang Abad ke 21 dan Pendidikannya—yang disampaikannya dalam kuliah stadium general IKIP Jakarta 2 Desember 1989.
Dalam makalah tersebut ia berbicara soal kependudukan, tenaga kerja, kemiskinan dan ekonomi internasional, dampak iptek, pemanasan bumi, ciri-ciri dan kemampuan-kemampuan Indonesia, sistem pendidikan, pilihan teknologi dan etika sosial, dan sistem pendidikan dan masyarakat.
Sebagai seorang guru bangsa yang sangat peduli pada masa depan Indonesia, sudah selayaknya bangsa ini menjadikan pikiran-pikiran Soejadjatmoko, khususnya dalam bidang pendidikan dan teknologi, sebagai salah satu referensi atau landasan dalam merumuskan sistem pendidikan dan penilihan teknologi di abad ini dan masa yang akan datang.
Sistem Pendidikan
Harga yang harus dibayar bangsa ini untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian menurut Soedjatmoko adalah; well informed, ia harus serba-tahu. Artinya, kita harus menyadari bahwa proses belajar tidak pernah akan selesai; bahwa kita harus mampu memasuki era—meminjam istilah Soedjatmoko—life-long learning di dalam dunia yang berubah terus menerus secara sangat pesat.
Di samping itu, kata Soedjatmoko, kita harus mampu mencerna informasi yang banyak sekali, dan mampu mencerna secara tuntas. Hal itu memerlukan, selain kemampuan analisa yang tajam, juga kemampuan besar untuk berpikir secara integratif dan konseptual.
Masa depan yang penuh dengan ketidakpastian itu, menurut Bung Koko, juga meminta manusia Indonesia untuk memiliki kemampuan menalar secara rasional, sehingga reaksinya tidak diliputi ketakutan dan tidak irasional.
Namun, yang terpenting menurut Soedjatmoko adalah kemampuan kreatif terhadap tantangan baru; kemampuan mengantisipasi perkembangan; dan berinovasi. Tentu saja kemampuan kreativitas juga harus disertai keberanian bertanggung jawab.
Manusia Indonesia juga memerlukan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, nasional dan yang meliputi umat manusia seluruhya.
Lantas, untuk mencapai manusia Indonesia yang serba-tahu, mampu mencerna banyak informasi, berpikir integratif dan konseptual, memiliki nalar rasional, berinovasi sampai memiliki kepekaan sosial serta solidaritas, sistem pendidikan macam apa yang dapat merangsang kemampuan-kemampuan tersebut? Dan bagaimana mendidik generasi muda sehingga sanggup hidup dalam keadaan dunia yang tidak menentu dalam masyarakat yang sedang mengalami transformasi sosial secara besar-besaran?
Soedjatmoko menjawabnya dengan “spirit jiwanya pendidikan”. Pertama, cara mendidik harus mengakui dan menerima individualitas setiap anak didik, dan mencoba merangsangnya untuk berpikir sendiri, secara kritis dan kreatif. Dalam hal ini pendidikan harus menyentuh pengembangan motivasi dan pengembangan karakter, dua hal yang menurut Soedjatmoko sering diabaikan.
Kedua, yang harus diutamakan bukan soal alih-pengetahuan, melainkan peningkatan learning capacity, kemampuan belajar bangsa dan belajar seumur hidup tanpa hentinya. Sistem pengajaran secara hafalan di luar kepala, secara memorisasi pada semua tingkat sistem pendidikan harus segera ditanggalkan. Khusus mahasiswa, yang perlu ditekanankan yaitu mengalihkan kuliah-kuliah ke bekerja di perpustakaan dan di laboratorium. Soedjatmoko berpendapat bahwa kuliah-kuliah itu hanya sarana pembantu, sarana pemandu.
Sistem pendidikan abad-21 dan yang akan datang, menurut Soedjatmoko, harus lebih banyak melahirkan “insinyur dan pakar-pakar di bidang ilmu yang keras”, sebab sistem pendidikan kita sudah terlalu banyak menelorkan sarjana-sarjana ilmu sosial dan kemanusiaan, seolah-olah misi sistem pendidikan Indonesia masih sama seperti zaman kolonial, di mana lulusan universitas dimaksudkan mengisi lowongan-lowongan untuk spesialis-spesialis birokrasi.
Meskipun begitu, Soedjatmoko juga menekankan pentingnya ilmu-ilmu humaniora dan pendidikan agama. Dalam Menjelajah Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko (1994), ia mengatakan:
“Pendidikan ilmu humaniora (sejarah, sastra, bahasa, dan lain-lain) memberikan sumbangan dalam pembentukan kesadaran akan identitas nasional. Identitas itu terus berkembang melalui berbagai tanggapan terhadap kondisi yang berubah-ubah dan terhadap tantangan-tantangan baru. Kajian yang bebas, evaluasi diri yang kritis, dan perdebatan yang ramai dapat menjadi sarana bagi suatu bangsa untuk mengenali diri mereka sendiri dan untuk hidup bersama secara kooperatif.”
Selain meningkatkan jumlah insinyur dan pakar di bidang ilmu murni, Soedjatmoko juga mengungkapkan bahwa keanekaragaman di bidang ilmu dan teknologi perlu dikembangkan—seperti telah disarankan pada makalahnya Manusia Indonesia Menjelang Abad ke 21 dan Pendidikannya pada tahun 1989.
Universitas, sekali lagi, perlu mengembangkan disiplin-disiplin ilmiah yang melandasi ketiga bidang teknologi: solid state physics dan matematika untuk bidang mikroelektronika dan biologi mikro serta genetika untuk bioteknologi. Pandangan ini menempatkan pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pembangunan.
Dalam jurnal Pemikiran Soedjatmoko tentang Pendidikan dan Relevansinya pada Abad Ke-21 di Indonesia, Chandra Saputra Purnama mengungkapkan ada beberapa hal penting dalam pemikiran Soedjatmoko mengenai pendidikan yang relevan bagi upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui pendidikan di abad ke-21 ini, yaitu tekanan proses pendidikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan belajar, baik secara individual maupun kolektif sebagai suatu bangsa; konsep belajar sepanjang hayat; pendidikan yang dimaknai sebagai upaya penyemaian seluruh bakat dan potensi peserta didik; proses pembelajaran yang menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik; pentingnya mengembangkan nilai-nilai solidaritas dan pembentukan kesadaran atas identitas nasional melalui pendidikan humaniora; serta perlunya meningkatkan moral reasoning melalui pendidikan agama.
Dengan menerapkan sistem pendidikan yang digagas oleh Soedjatmoko di atas, maka pendidikan Indonesia yang akan datang diharapkan, mengutip Butet Manurung dalam Sokola Rimba (2013), “harus operasional terhadap kehidupan sehari-hari (membumi); harus menguntungkan; harus diorganisasikan secara lokal; harus membantu menumbuhkan kesadaran dan kesiapan terhadap perubahan/proses perkembangan kebudayaan suatu masyarakat; dan tujuan sederhana dari pendidikan adalah harus mampu membuat siswa/mahasiswa menyadari siapa dirinya, posisinya dan akan seperti apa dia kelak.”
Pilihan Teknologi
Semakin kemari inovasi-inovasi teknologi semakin berkembang pesat, khususnya teknologi kabel optik, jaringan internet (international network), dan peramban web (web browser), media sosial serta AI yang menyebabkan arus informasi dengan cepat tersebar di seluruh dunia—dan semakin tidak terkendali—yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya “ledakan informasi digital.”
Untuk menyongsong pembangunan masa depan Indonesia, maka mulai sekarang bangsa ini harus pandai dalam memilih teknologi apa yang akan digunakan. Dalam hal ini Soedjatmoko dengan jelas memberikan panduannya kepada kita.
Ia berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan memilih teknologi yang tepat, bangsa ini tidak boleh menyerahkannya hanya kepada teknolog dan ekonom saja, melainkan dari berbagai “perwakilan masyarakat, termasuk pemuka-pemuka atau golongan-golongan agama, para cendekiawan dan budayawan.”
Hal tersebut dilakukan supaya para teknolog dan ilmuan-ilmuan mengerti implikasi-implikasi sosial dan etis yang melekat pada cara penggunaan teknologi tertentu. Sedangkan golongan agaman dan budaya menjadi melek huruf mengenai teknologi.
Maka penting bahwa, menurut Soedjatmoko, “pada tingkat pertama universitas, mahasiswa harus berkecimpung di tiga bidang, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu manusia.” Setelahnya baru memulai studi jurusan pilihannya.
Tugas Pendidikan
Pada 23 Juli 1984, saat sidang pleno pertama Konferensi Nasional Pembinaan dan Pengembangan Anak, Soedjatmoko dengan tegas mengatakan bahwa masa depan yang akan datang adalah masa depan anak-anak, bukan masa depan generasi tua.
Dalam esainya Pendidikan Anak dan Optimisme Soedjatmoko, Esha Tegar Putra menuliskan “kualitas sumber daya manusia merupakan modal yang paling menentukan suatu bangsa, lebih dari pemilikan sumber-sumber daya alam. Kualitas sumber daya manusia kedepan ditentukan oleh kemampuan negara untuk mengembangkan potensi yang terdapat pada anak-anak.”
Akhirnya, Soedjatmoko mengungkapkan bahwa tugas pendidikan ialah mempersiapkan sebaik-baiknya generasi baru untuk hidup di dalam suatu situasi baru, yang belum pernah dialami umat manusia manapun. “Usaha mempersiapkan generasi baru itu barangkali dapat dipandu oleh satu atau dua graduate school yang multidisipliner dan bertingkat internasional,” kata Soedjatmoko.
Universitas harus menyadari betapa pentingnya kemampuan research dan harus berorientasi pada pengembangan pengetahuan baru agar bangsa ini bisa menghadapi tantangan baru abad 21 dan masa yang akan datang.
Menjadikan pemikiran Soedjatmoko tentang pendidikan dan teknologi sebagai referensi sistem pendidikan abad ke-21 dan masa yang akan datang artinya kita telah merawat pemikiran guru bangsa.[T]