MANUSIA dilahirkan bagai kertas kosong, yang pada perjalanannya akan diisi oleh pengalaman hidup. Pengalaman tersebut tentu akan sangat berbeda antara satu manusia dengan manusia lainnya.
Tidak ada yang identik. Pengalaman adalah proses belajar—dengan pendekatan teori perkembangan kognitif oleh Piaget—di mana manusia pada awalnya melogikakan segala sesuatu yang ditemuinya dengan cara induktif dan berkembang menjadi deduktif seiring berjalannya waktu.
Induktif adalah cara mempelajari sesuatu dengan mengamati fenomena yang ditemui tanpa ada penghakiman yang mendahului fenomena tersebut. Lambat laun, pengalaman yang ditemui akan semakin banyak: pengalaman yang bersifat positif atau negatif bagi diri manusia itu sendiri.
Kemudian, sesuai dengan insting dasar untuk bertahan hidup, maka manusia akan memperkirakan besaran kemungkinan atas kejadian di masa depan untuk memeroleh hal-hal menguntungkan serta menghindari berbagai kondisi yang merugikan. Dari sini, cara berpikir deduktif muncul.
Akibat keuntungan dari berpikir deduktif, cara ini pada akhirnya diwariskan ke generasi selanjutnya agar kelestarian manusia secara kolektif lebih mudah terjaga. Contoh dari warisan tersebut adalah norma dan tradisi yang pada perjalanannya menghasilkan konstruksi superego–yang kadang mengekang kebebasan manusia sebagai individu.
Cara berpikir ini akan sangat berguna bagi manusia sebagai kesatuan kelompok. Tetapi, bagaimana jika cara berpikir deduktif tetap diterapkan secara mutlak dalam memandang tiap manusia sebagai individu—yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri—dan bebas dari kesepakatan umum? Apakah akan berdampak baik?
Masalah akan timbul jika penilaian deduktif digunakan secara mutlak untuk memandang tiap manusia sebagai individu dalam menjalani hidupnya yang subjektif. Apa sebab? Ya, karena, tiap manusia pastinya memiliki pengalaman dan cara pandang masing-masing dalam menjalani hidupnya dan tidak bisa disamakan dengan manusia lainnya.
Setiap manusia memiliki coretan yang berbeda pada kertas putihnya; manusia berbeda dengan mesin keluaran pabrik; manusia tidak ada yang indentik.
Keunikan dan kedalaman hakikat manusia sebagai subjek unik yang berenang mengarungi semesta pun sudah banyak ditelaah sejak lama. Hingga saat ini, tidak terhitung banyaknya teori yang mempelajari manusia sebagai subjek unik yang berhak menciptakan fenomenanya sendiri.
Walaupun demikian, sering kali berbagai teori tersebut berakhir menjadi antitesis saat digunakan sebagai standar baku dan generalisasi untuk memandang tiap manusia secara mutlak karena pada hakikatnya–kembali lagi–manusia adalah individu yang bebas.
Cara ini, pada akhirnya akan memunculkan kembali pola deduktif yang kaku dan mengikis hakikat manusia sebagai subjek yang merdeka.
***
Perkembangan teori mengenai manusia adalah senjata yang perlu digunakan dengan bijak. Senada dengan konsep hermeneutik metodologis oleh Dilthey, perlu disadari bahwa teori hanya berperan sebatas perkiraan dan tesis untuk diujikan ulang dengan tiap manusia sebagai standar emas.
Teori diperlukan sebatas peta buta yang berfungsi sebagai perkiraan jalan, di mana kebenaran atas jalan tersebut perlu diuji dengan menapakinya secara langsung.
Terjebak dan terfiksasi dalam teori serta menolak kebenaran sejati yang berpusat pada tiap kepala manusia yang unik, hanya akan membawa kemunduran serupa dengan era perbudakan yang sudah ketinggalan zaman: merampas hak manusia atas dirinya sendiri.
Serupa dengan perbudakan, berlagak sebagai filsuf bagi kehidupan pribadi orang lain, dengan meyakini kemungkinan di alam pikir diri sendiri sebagai kepastian akan fenomena yang dialami orang lain, hanya akan mencederai hakikat orang lain sebagai manusia seutuhnya.
Sejatinya setiap manusia tidak memerlukan orang lain untuk menggurui kehidupan pribadinya. Sebab–seperti yang dikatakan Epicourus–setiap manusia adalah filsuf bagi kehidupannya masing-masing. Filsuf yang berhak atas dirinya sendiri dalam menciptakan dan menanggapi fenomena yang subjektif.[T]