MATAHARI MASIH belum bangun saat saya berada di desa Munduk, percabangan jalan menuju Danau Tamblingan. Udara dingin seketika menyelimuti tubuh saat kaca mobil diturunkan. Masih gelap. Dingin dan gelap mengaburkan fenomena waktu yang faktanya sudah pukul 05.10 pagi saat saya sudah benar-benar memarkirkan mobil di pinggir danau itu.
Banyak hal yang sama tetapi ada juga yang berbeda di Tamblingan jika dibandingkan enam tahun yang lalu di saat saya terakhir kali mengambil gambar di tempat itu: tenda-tenda perkemahan yang sangat ramai.
Saya berjalan ke titik yang sama. Titik di mana ritual bulanan rutin pernah saya lakukan selama tiga tahun, untuk mengambil gambar yang sama dari titik yang sama. Tidak seperti sekarang, titik itu dulu agak tersembunyi.
Saya mempersiapkan semuanya dari memasang tripod, menyeting kamera, dan menggelar matras untuk ikut menikmati matahari pagi yang beberapa menit lagi akan muncul. Sambil membayangkan lanskap masa lalu yang indah, harapannya, semburat matahari pagi yang menyinari danau kali ini akan menghadiahkan lanskap yang juga indah.
Lanskap yang muncul akibat komposisi sudut cahaya, awan, gerakan air danau dipengaruhi oleh angin. Harapannya, kalau bisa, jauh lebih indah dari yang pernah dirasakan. Tetapi, itu hanyalah sebatas imajinasi.
Lanskap Danau Tamblingan / Foto: Dok. Krisna Aji
Imajinasi manusia memang liar. Imajinasi sering kali terlampau angkuh dengan mencoba mengontrol keindahan alam yang sejatinya tidak bisa dikontrol. Bahkan, jika pada akhirnya realita tidak sesuai dengan imajinasi, masih ada alat bantu untuk membuat realita baru di atas bidang dua dimensi bernama photoshop.
Alat bantu untuk mereproduksi realita tersebut sudah dikembangkan dengan kecerdasan buatan yang mampu mengubah bentuk visual dengan algoritma yang disesuaikan dengan data-data mengenai standar keindahan.
Walaupun belum canggih betul, suatu saat nanti, teknologi seperti ini akan berkembang dengan kemajuan eksponensial sehingga produk dari kecerdasan buatan tidak bisa dibedakan dengan ciptaan manusia.
Hal tersebut tentu menarik karena kecerdasan buatan dapat menggantikan peran subjek utama dalam penciptaan produk yang awalnya dipegang oleh manusia. Lalu, bagaimana dengan seni yang memerlukan manusia sebagai subjek utama dalam menghasilkan karya?
Bagaimana kita bisa tahu bahwa produk di depan kita adalah sebuah karya seni atau tidak jika produk kecerdasan buatan dan karya manusia pada akhirnya tidak bisa dibedakan?
***
Di sela kesibukan pikiran yang berkecamuk, cahaya pagi tiba-tiba muncul bersamaan dengan matahari yang sudah berada di sudut lebih tinggi dari yang dibayangkan. Harapan tidak sesuai dengan realita.
Warna-warna ekstrem tidak timbul di waktu kritis, karena kemolekan warna hanya bisa hadir saat cahaya datang dari sudut yang rendah. Tiba-tiba saja, cahaya putih kuning biasa-biasa saja yang muncul. Tidak ada realita yang istimewa.
Lanskap Danau Tamblingan / Foto: Dok. Krisna Aji
Keistimewaan ternyata hanya ada di dalam diri yang memandangi realita yang muncul sesukanya. Atas dasar tersebut, setingan dasar kamera—agar menghasilkan foto mentah yang bisa dengan bebas diedit di layar laptop—tidak lagi digunakan.
Kamera hanya menggunakan mode hitam putih sehingga proses foto akan terhenti seketika tombol shutter ditekan. Tidak ada lagi koreksi di layar laptop. Fenomena terhenti saat pengamat memutuskannya di lokasi.
Danau Tamblingan, 11 Juni 2023.[T]