DI BALI, tak banyak ada demonstrasi pekerja setiap May Day tiba. Tahun 2023 ini di Jembrana, wilayah ujung barat Bali. Hari Buruh Sedunia bahkan benar-benar menjadi sebuah perayaan. Ada konser musik, ribuan warga menonton. Teman penyair saya baca puisi. Juga anak dari guru sastra saya juga membaca puisi. Tak ada suasana “panas” seperti yang terlihat di berita-berita televisi.
Perayaan itu tentu disertai dengan perbaikan sistem perburuhan termasuk di dalamnya soal kerjasama yang baik antara perusahaan dan pemerintah lokal. Juga, tentang kebijakan yang berpihak pada pekerja di kabupaten yang terkenal dengan atraksi Makepung, pacuan kerbau yang mirip dengan karapan sapi di pulau Madura, Jawa Timur.
Orang Bali dikenal pendiam, juga dalam hal bekerja. Di masa lalu (kini masih tersisa), mereka lebih banyak bekerja dalam diam, dalam “keheningan”. Tak banyak menuntut, termasuk soal hak. Mereka malu jika setelah upah dibayar, hasil pekerjaan tidak sesuai harapan pemberi pekerjaan. Malu, apalagi menuntuk hak lebih. Hal tersebut bagi orang Bali adalah tabu.
“Diam”-nya orang Bali bukan karena bodoh. Sedari dini, mereka diajarkan untuk mengutamakan kewajiban. Proses yang oleh Bhagawad-Gita menjadi fokus utama ketimbang hasil dari setiap tindakan, dalam hal ini sebuah pekerjaan. Jika proses kerja baik, hasil juga seturut. Hukum aksi-reaksi. Hukum Tabur-Tuai. Phala Karma, dalam terminologi peradaban Sindhu (Hindu).
Mereka malu “mengaku bisa” tapi ternyata di belakang hari “tidak bisa”. Belog-polos, kosakata Bali yang bisa diartikan sebagai karakter lugu, apa adanya, polos bahkan mungkin bisa dianggap “bodoh”. Padahal belum tentu itu yang ada dan terjadi. Orang Bali pandai menyembunyikan “kuku” mereka. Kecerdasan, bukan hanya soal intelektualitas, namun karakter secara utuh.
Kini, pada era industri modern dimana tidak banyak lagi orang Bali yang seperti dulu menjadi petani; anak-anak muda lebih banyak bekerja di sektor pariwisata, persaingan antara pekerja lokal dan “non-lokal” mulai terasa.
Saya belum melakukan wawancara dengan pengusaha perihal pengalaman mereka memperkerjakan pekerja dari suku berbeda di Bali. Hal yang pasti, semua punya kelebihan—juga kekurangan. Tulisan ini hanya kajian kecil keilmuan yang pernah saya geluti.
“Keheningan” Bali termasuk dalam budaya kerja tentu lahir dari peradaban yang ada sejak lama. Itu perlu juga dipelajari—syukur-syukur bisa diambil hikmahnya. Di tengah keriuhan, tong kosong memang berbunyi nyaring. Ia tetaplah kosong. Dalam diam, banyak hal bisa dibuktikan. Tidak sekadar “pintar bicara” namun ternyata hampa tanpa isi. ‘Kaleng-kaleng’, meminjam bahasa gaul anak muda Indonesia saat ini. Salam.
Denpasar, 20 Mei 2023
Hari Raya Saraswati
- BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA