KEINDAHAN TUBUH PEREMPUAN tidak diragukan lagi. Bagi pemuja perempuan, lekuk tubuh perempuan dapat dijadikan karya seni yang sangat menakjubkan. Semua laki-laki yang “normal” tentu suka melihat tubuh perempuan yang terbalut ketat dalam busana yang sangat modis.
Ketika zaman kerajaan, perang bisa pecah karena keinginan raja mempersunting putri cantik jelita dari kerajaan lain, ditolak. Kecantikan perempuan begitu dahsyat.
Akan tetapi pada masa media digital saat ini, keindahan dan kecantikan perempuan justru lebih banyak dieksploitasi oleh perempuan itu sendiri. Perempuan dengan gampang mempertontonkan kemolekan tubuhnya di media sosial. Gaya manja sambil meremas daerah sensitif menambah erotis penampilannya.
Mengapa hal ini dilakukan oleh perempuan (tentu saja tidak semua perempuan)? Apakah hal ini dilakukan demi uang? Jawabannya lebih cenderung ya.
Perempuan yang melakukan gerakan erotis dan mengumbar lekuk indah tubuhnya selalu mempunyai follower yang banyak. Sebagai orang dewasa yang “normal” ketika melihat konten tersebut di media sosial tentu laki-laki tersebut juga menyukai. Itu sebuah kodrat. Akan tetapi konten tersebut tidak hanya dinikmati oleh orang dewasa saja. Anak SD dengan mudahnya mengakses konten erotis. Hal ini tentu berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Haruskah anak menjadi korban konten seperti itu?
Dalam dunia seni, pertunjukan ”joged jaruh” banyak terunggah di media sosial. Penari yang memakai kain selutut bergoyang menari erotis. Pengibing (orang yang menemani penari joged menari biasanya laki-laki) ikut menimpali gerakan penari. Penari sambil bergoyang memperlihatkan pakaian dalamnya.
Pengibing juga ikut bergoyang dan bahkan pengibing menyentuh daerah sensitif penari joged. Pengibing tari joged bukan saja orang dewasa tetapi juga anak-anak sekolahan. Tampilan joged seperti itu tentu tidak baik dipertontonkan. Hal itu mencederai nilai seni tarian Bali.
Tarian joged (joged bumbung) ada sejak tahun 1940-an. Tarian ini tercipta untuk hiburan. Petani menciptakan tarian joged untuk mengisi waktu istirahat setelah petani bekerja di sawah. Petani ada yang memainkan rindik (gamelan dari bambu) petani yang lain berjoged bebas. Gaya berjoged itulah selanjutnya dikembangkan menjadi tarian dan mempunyai pakem berbeda dengan tarian yang lain.
Masyarakat menyebut tarian ini sebagai tarian pergaulan. Disebut sebagai tarian pergaulan karena sebelum pengibing menari, penari joged akan membelitkan selendang di pinggang pengibing. Sebelum menari pengibing dan penari berjabat tangan untuk berkenalan.
Tarian erotis penari joged kemungkinan untuk mempertahankan keberlanjutan sekaa joged. Kalau tariannya sesuai dengan pakem, penonton mungkin tidak tertarik menonton tarian joged.
Oleh karena itu, penari mengeksploitasi dirinya dengan goyangan erotis sehingga tariannya membuat riuh penonton. Demi untuk kepopuleran mengapa seni harus ikut tereksploitasi. Demi untuk mendapatkan banyak uang dan follower yang banyak, mengapa ada perempuan mengeksploitasi lekuk tubuhnya.
Banyaknya konten erotis di media sosial tentu meresahkan orang tua. Perlu peran orang tua mendampingi anak dalam bermedia sosial. Orang tua memberikan pemahaman kepada anak mana konten yang baik ditonton dan mana yang tidak cocok ditonton.
Fungsi kontrol pemerintah terhadap unggahan konten yang erotis sangat diharapkan sehingga konten tersebut tidak meracuni kejiwaan anak-anak. Dikhawatirkan, setelah anak beranjak remaja, anak kemungkinan akan melakukan seks bebas. Tentu ini merusak masa depan anak tersebut. [T]