Krtaning Panarajon… Gas… Gass…. Gasss…. pasti bisa!
Adalah sebuah mantra yang kami ulang untuk saling mengingatkan dalam menjaga bara api semangat berkarya dan merawat energi yang sama hangatnya, di tengah dinginnya perbukitan Cintamani Mmal.
SEJAK RIBUAN tahun lalu, seni dikenal sebagai tiruan alam dan ciptaan manusia, beberapa hanya mengambil bagian alam untuk diolah menjadi karya seni, sedangkan beberapa lainnya menggunakan daya pikiran manusia untuk mencipta.
Cara pandang ini sekiranya dipahami betul oleh masyarakat Bali hingga menghasilkan sebuah karya seni melalui proses panjang. Inilah yang menjadikan proses adopsi seni dengan tetap merujuk asal sumber seni itu sendiri.
Ketika berbicara tentang seni, sejauh ini selalu mengingatkan saya tentang nilai estetika luar biasa yang tak pernah lepas dari peranan sastra. Bukankah tujuan ditulisnya catatan untuk mengingatkan kita pada warisan semesta untuk segala yang hidup?
Gurat tutur leluhur dalam lepitan pustaka berdebu itu kami persembahkan kepada yang senantiasa menjaga jernih alir peradaban, dari hulu masa lalu hingga hilir masa kini, yang dikemas secara apik dalam sebuah karya Sendratari Kolosal yang berjudul Krtaning Panarajon.
Dasar Krtaning Panarajon
Mengambil konsep dari Pegunungan Kintamani, yang merupakan kawasan strategis sebagai hulu geografis Bali, dikarenakan hutan yang ada di sepanjang kawasan perbukitan Cintamani Mmal (Ladang Permata Pikiran) menjadi sumber terpenting bagi Bali.
Melihat catatan sejarah masa silam, ditemukanlah catatan purba yang masih terjaga hingga kini di lereng utara perbukitan Cintamani Mmal, yaitu di daerah Sukawana yang dikenal sebagai Prasasti Sukawana AI.
Dalam catatan tersebut menyebutkan salah satu tokoh yang dikenal sebagai Senapati Danda Kumpi Mardaya, yang diutus oleh otoritas kuasa kala itu untuk membangun pertapaan dan pesanggrahan di daerah perburuan—karena tidak ada tempat bagi orang yang hilir mudik pada kawasan itu—dengan dibantu oleh Biksu Siwakangsita, Biksu Siwanirmala dan Biksu Siwaprajna, namun dihadang oleh Raksasa berkepala kerbau yang menghuni puncak Panarajon.
Akan tetapi, atas anugrah Ratu Daha Tua yang berstana di Luhur Tegeh Koripan, Senapati Danda Kumpi Mardaya berhasil mengalahkan kerbau itu dan disomya serta dipersembahkan kepada Hyang Siwa Sakti—yang sekarang berstana di Pura Puncak Panarajon/Pura Penulisan.
Ratu Daha Tua pun bersabda: “Bahwa tujuan dari segala pembangunan pesanggrahan ini untuk membuat wilayah Pegunungan Kintamani menjadi makmur (krta) masyarakatnya dan hening jiwanya”.
Pemuliaan dan pemujaan terhadap Ratu Daha Tua cukup popular dan fenomenal di kawasan Gebog Domas-Kintamani, mulai dari pusat Gebog Domas yang ada di situs Pura Puncak Penulisan—yang ada di Sukawana hingga ke desa-desa yang ada pada banua Gebog Satak.
Terkait dengan pemujaan Ratu Daha Tua, wujud benda kepurbakalaanya berupa palinggih bebaturan yang bersifat megalitik, dan beberapa bangunan suci (palinggih) yang sudah dimodifikasi sejalan dengan menguatnya pengaruh agama Hindu.
Pemujaan terhadap tokoh wanita Ratu Daha Tua dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi masyarakat, kesuburan pertanian dan perternakan, perdagangan, kemakmuran, kesehatan masyarakat juga lingkungan.
Penting diketahui setelah berhasil dibangunnya pesanggrahan ini, raja pada masa itu juga membebaskan kewajiban kerja kasar, bahkan hingga membebaskan pajak jual-beli bagi para biksu dan orang-orang berkeluarga yang datang ke tempat tersebut.
Hal ini semakin membuktikan Kintamani memiliki potensi yang besar di bidang politik.
Sementara itu, I K S Wira Darma, seorang arkeolog muda lulusan Universitas Udayana, yang juga sering melakukan penelitian di daerah Sukawana mengatakan, bahwa sebenarnya Kbo Parud merupakan Raja Patih dalam catatan Prasasti Sukawana D—Raja patih Kbo Parud pada tahun 1222 Saka menganugrahkan prasasti kepada masyarakat Sukawana.
Isi penting dalam prasasti tersebut adalah penetapan batas-batas wilayah Desa Sukawana. Selain itu, diatur pula masalah hak dan kewajiban masyarakat Sukawana seperti pungutan yang berkenaan dengan pekerjaan mereka, baik yang harus dibayar maupun dibebaskan. Masyarakat Sukawana juga dibebaskan untuk bejualan kapas, kerbau dan komoditi lainnya.
Inilah yang menjadi dasar dalam penggarapan sebuah karya seni yang secara khusus dipersembahkan oleh anak muda asli Kintamani dalam rangka memeriahkan serangkaian HUT Kota Bangli yang ke- 819 dan dipentaskan pada tanggal 21 Mei 2023.
Proses penggarapan
Garapan ini sudah dikerjakan hampir dua bulan lamanya dan sekitar lima belas kali latihan yang diawali dengan membentuk tim dan membahas konsep garap. Ada sekitar 10 tim penggarap, 150 orang penari dan penabuh, 3 gerong serta 20 tim properti.
Kemampuan menyandur, merancang, dan mengolah naskah yang sangat cemerlang ini tidak terlepas dari peran anak muda Kintamani yang gigih dan tekun melakukan riset dan latihan.
I Putu Ardiyasa, S.Sn. M.Sn, adalah seorang dalang juga Dosen STAHN Mpu Kuturan yang menjadi sutradara dan berperan penting dalam penulisan cerita serta pencipta teks naskah gerong pada garapan ini.
Adapun pimpinan produksi, Krtaning Panarajon, yang selalu memberikan semangat pada kami yang dikenal dengan sebutan Jhon Babe.
Selain itu, pemuda asal Batur bernama I G S Bagas Karayana, S.Sn, menjadi artistik direktur pada garapan kali ini mengatakan, peranan ini sangat penting untuk mewujudkan terciptanya visual yang baik dari nuansa garapan perbabak hingga menjadi nuansa yang benar-benar nyata sehingga menghasilkan suatu pertunjukan yang spektakuler.
“Kesulitannya terletak pada cara mengarahkan teman-teman menjadi satu kesatuan baik karakter, idealis, rasa hingga garapan ini menjadi sukses,” ujarnya.
Tidak hanya itu, para penyusun tari telah memikirkan dengan saksama bagaimana langkah dan gerakan yang akan dibawakan oleh penari hingga menjadi sebuah karya tari yang indah, tentu saja hal ini dilakukan oleh penata tari yang berbakat asal kintamani, yaitu I Komang Adhi Suryaga Pratama, S.SN, I Kadek Apridana, S.Pd, dkk.
Sebuah tarian tidaklah lengkap tanpa iringan tabuh, ini menjadi suatu hal yang unik, karena penggarap ingin menampilkan sisi maskulin dari karya seni ini dengan menggunakan tabuh Adi Mredangga—yang merupakan pengembangan dari Baleganjur, gamelan pengiring tradisional yang biasa dimainkan sambil berjalan.
Beberapa alat musiknya dimasalkan dan beberapa tenik pukulannya diperkaya dengan motif drum band modern. Perpaduan inilah yang menjadikan tabuh Adi Mredangga juga disebut drum band tradisional. Gamelan yang baru muncul sekitar tahun 1984.
“Dalam barungan ini bisa menggunakan puluhan kendang, yang tidak pernah terjadi pada gamelan Bali manpun,” kata I Ketut Widia Rama, S.Sn, pemuda asal Desa Songan yang sekaligus menjadi penata tabuh.
Semangat terus mengalir hingga menyatukan generasi muda dari 48 Desa Kintamani sebagai penari, penabuh juga gerong untuk mengeskpresikan kreativitas, ekspresi emosional yang di dukung secara menyeluruh hingga terbentuk keharmonisan.
Sedikit bercerita, kami yang bertugas sebagai gerong (sinden), berlatih kurang dari satu minggu, sama sekali tidak menyurutkan semangat, justru memacu kami agar bisa menampilkan yang terbaik.
Tidak ada perjuangan yang sia-sia, apapun yang dilakukan dengan sungguh maka hasilnya akan tetap baik. Akhirnya kami telah menyelesaikan tugas kami menampilkan sebuah garapan dengan ketulusan hati, semoga pesan yang kami sampaikan dapat dipahami secara mendalam.
Setiap perjalanan pasti menemui ujung, terimakasih kawan-kawan. Terimakasih kepada penari dan penabuh, tim produksi, media partner, pegiat seni dan para penonton yang bersedia hadir dan memberi apresiasi terhadap pementasan Krtaning Panarajon.
Saran dan masukan telah kami catat sebagai bekal di hari depan nanti. Kelak, semakin banyak ruang untuk kita saling berbagi cerita, mengasah diri, dan menentukan hidup kita.
Salam hangat dari Perbukitan Cintamani Mmal.[T]