LEMBAGA PERS MAHASISWA (LPM) memiliki sejarah panjang sebagai bagian penting dalam perjuangan bangsa Indonesia. Pers Mahasiswa, bila kita definisikan secara luas, merupakan sekelompok mahasiswa yang melakukan praktik jurnalistik. Praktik ini sudah hadir puluhan tahun sebelum universitas di Indonesia berdiri.
Tirto Adi Soerjo, sang pelopor jurnalistik di Indonesia, menerbitkan Medan Prijaji dengan membahas kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin dan membedah peraturan hukum Hindia Belanda—sehingga kalangan pribumi tidak gampang dijerat dan dibodohi—hingga pemuatan karya sastra yang menyuarakan kepentingan rakyat (tidak jarang diadaptasi dari sebuah kisah nyata).
Sementara itu, pers mahasiswa yang lahir bertahun-tahun setelah itu, membawa sebuah semangat anti penindasan kolonialis dan menyeru perjuangan demi kemerdekaan. Lantas, apa kabar pers mahasiswa hari ini?
Pada Sabtu, 13 Mei 2023, dalam rangka perayaan hari ulang tahun ke-7 Tatkala.co—Tatkala May May May 2023 sesi kedua—mengadakan diskusi yang bertajuk “Cerita Tentang Pers Kampus Hari Ini”.
Diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber dari kampus STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Ketiga narasumber tersebut, yakni Komang Agus Widiantara (Kepala Prodi Ilmu Komunikasi), Putu Mardika (Pembina UKM Pers Kampus) dan Made Argawa (Wartawan Tempo).
Diskusi dihadiri oleh beberapa wartawan dan mahasiswa yang ada di Singaraja—walaupun tampak didominasi mahasiswa dari UKM Persma STAHN Mpu Kuturan Singaraja dan Persma Visi Undiksha.
Diskusi yang berlangsung di Rumah Belajar Komunitas Mahima Jl. Pantai Indah III No.46, Singaraja, tersebut, banyak melahirkan wacana tentang pers mahasiswa. Mulai dari pentingnya pers mahasiswa di universitas, persma sebagai wadah berpikir kritis, sampai pembahasan soal Indonesia darurat perlindungan terhadap pers mahasiswa.
Persma hari ini
Menurut Agus Widiantara, pers kampus hari ini hampir memiliki wajah yang sama dengan industri media pers saat ini. Dari segi idelismenya yang sangat pramatis dan cenderung ikut-ikutan. “Berita yang ditayangkan hampir semuanya memiliki kemiripan dari segi strukturnya. Arah pemberitaannya juga sama dengan media yang lain,” ujarnya.
Komang Agus Widiantara / Foto: Dok. Tatkala.co
Kemudian, sama halnya seperti media massa yang terkendala dengan anggaran untuk membangun sebuah idealisme, pers kampus juga kerap kekurangan sumber modal untuk mengembangkan program-program organisasi. Maka dari itu, tak sedikit LPM yang memilih “menjilat” lembaga alih-alih mengkritisi.
Tak hanya soal idealisme, SDM-nya juga mengalami degradasi yang serius. Tak banyak anggota persma mampu mengembangkan tupoksi sesuai dengan bidangnya. Tak banyak SDM yang memiliki potensi dan minat untuk menulis, serta tak banyak yang mempunyai sikap kritis, malah cenderung apatis terhadap kondisi dan situasi di dalam kampus saja maupun di luar kampus.
“Berbeda dengan sekarang, pada awal masa Orde Baru, tentu mahasiswa zaman itu lebih kritis. Karena resistensi pada saat itu yang mengharuskan mereka untuk terus berpikir kritis. Oleh karena itu, pers mahasiswa saat ini tidak segalak pada masa Orde Baru, karena tekanan zamannya memang berbeda,” terang Putu Mardika.
Putu Mardika / Foto: Dok. Tatkala.co
Pers mahasiswa saat ini dirasa sudah kurang kritis daripada tahun-tahun sebelumnya. Rasa ingin tahu untuk mengulik lebih dalam fenomena-fenomena yang terjadi masih sangat perlu untuk diasah kembali. Sikap skeptis jarang ditemui saat ini, terlebih lagi terhadap masalah politik atau kebijakan-kebijakan pemerintah yang kerap terjadi. Mereka terkesan bersikap bodo amat terhadap hal-hal tersebut.
Saat ini pers mahasiswa terkesan lebih condong ke promosi kegiatan kampus. Kebanyakan tulisan yang dibuat semata-mata merupakan release berita yang bertujuan mempromosikan citra kampus. Padahal, idealnya, pers kampus harus paham dan mengkritisi isu-isu yang sedang terjadi, sehingga para mahasiswa mampu memberikan sudut pandang dan menyuarakan pemikirannya.
Wadah berpikir kritis
LPM, jika didudukkan dengan benar, merupakan wadah belajar berpikir kritis yang bagus. Mengingat, proses jurnalistik adalah proses panjang yang banyak melibatkan disiplin ilmu. Mana mungkin seorang yang hendak melahirkan karya jurnalistik tak melakukan proses-proses jurnalistik?
Berpikir kritis merupakan hal fundamental yang harus dimiliki oleh anggota pers mahasiswa. Kemampuan berpikir kritis menjadi modal bagi pers mahasiswa untuk merespons berbagai isu dan dinamika khususnya di lingkungan kampus. Artinya, sekali lagi, LPM sangat cocok menjadi wadah untuk meningkatkan kemampuan dan juga sebagai sarana diskusi antarmahasiswa.
Komang Agus, Kaprodi Ilmu Komunikasi, mengatakan, bahwa pers mahasiswa itu sangat penting. Mengingat, LPM memiliki fungsi kontrol sosial, khususnya di lingkungan kampus. Bukan hanya itu, ia juga mengatakan bahwa LPM merupakan wadah yang bisa dimanfaatkan mahasiswa sebagai tempat belajar di luar ruang kelas. “Jadi, kadang pikiran kritis itu justru lahir dari luar kampus,” katanya.
Sedangkan menurut Putu Mardika, pembinan pers mahasiswa, dari dulu LPM memang telah terbukti melahirkan banyak tokoh dengan pikiran kritis. “Ya termasuk Pak Agus ini (maksudnya Komang Agus Widiantara),” jelasnya.
Made Adnyana Ole / Foto: Dok. Tatkala.co
Sementara itu, Made Adnyana Ole, Pimred Tatkala.co, saat merespon diskusi mengatakan, pers mahasiswa adalah wadah yang cocok untuk belajar berpikir kritis.
Wartawan senior yang akrab dipanggil Ole itu menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan berpikir kritis itu tidak hanya sekadar menyalah-nyalahkan, mempersoalkan segalanya, atau perbuatan yang lebih dekat dengan anarkis.
“Berpikir kritis itu begini, kalau UKT naik, tapi pelayanan dan infrastruktur kampus tidak lebih baik dari yang lalu, terus mahasiswa protes, itu berpikir kritis. Artinya sangat rasional—dan tentu harus didukung dengan data dan fakta di lapangan. Berpikir kritis itu bukan serampangan,” terangnya.
Darurat perlindungan
Meskipun dikatakan sebagai wadah yang cocok untuk belajar berpikir kritis, nyatanya, beberapa tahun terakhir, tekanan terhadap lembaga pers mahasiswa kerap mewarnai pemberitaan media nasional. Dalam kurun waktu 2019-2022, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers menangani setidaknya 22 kasus terkait lembaga pers kampus.
Sementara itu, dari sumber-sumber pemberitahuan tim kolaborasi, Tirto dan Deduktif menemukan 25 kasus kekerasan yang menimpa persma dalam kurun waktu 2015-2022.
Adapun Perhimpuna Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dalam kurun waktu 2020-2021 menemukan total 185 kasus represi dengan 12 jenis represi, terhadap persma di Indonesia. Diantara bentuk represi itu, antara lain adalah teguran, pencabutan berita, makian, hingga ancaman. Kasusnya sendiri terjadi di 22 wilayah PPMI Kota/Dewan Kota.
Salah satu yang menjadi faktor perlakuan tidak mengenakkan kepada pers kampus adalah tidak adanya payung hukum yang jelas. Dan tentu, faktor lainnya berasal dari ketakutan mahasiswa terhadap instansi.
“Kami, sebagai mahasiswa, memiliki ketakutan terhadap instansi. Walau bagaimanapun, kami berada di bawah naungan lembaga. Akibatnya, pers mahasiswa seolah jadi ‘humas kampus’,” jelas Anik Mahaswari, anggota pers mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Ia mengatakan, pihaknya pernah mengkritisi kampus melalui postingan karikatur di media sosial. “Dan kami sempat mendapat teguran,” terangnya.
Menurut Made Argawa, salah satu faktor yang menyebabkan “kekerasan” terhadap LPM kampus adalah tidak adanya payung hukum yang jelas. “Dengan adanya undang-undang tentang persma, tentu akan meminimalisir adanya tindak kriminalisasi,” kata Made Argawa.
Made Argawa / Foto: Dok. Tatkala.co
Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 Tentang Pers memang tidak menyebut secara spesifik pers kampus. Pasal 1 beleid tersebut menyebut “perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.”
Persoalannya: di dalam pasal yang lain di dalam UU Pers No 40, disebutkan bahwa pers nasional atau pers Indonesia itu adalah pers yang berbadan hukum. Sebaliknya, Argawa mengatakan pers kampus tidak dikategorikan seperti yang disebut dalam beleid tentang pers.
“Hal ini lah yang membuat pers kampus rentan ketika mereka tersangkut masalah,” jelas Argawa.
Sementara itu, hingga kini setidaknya baru AJI, sebagai organisasi profesi yang membolehkan anggota pers kampus masuk menjadi anggota. Dengan ini awak pers kampus yang terdaftar di AJI pun mendapat perlindungan layaknya jurnalis profesional.[T]
*Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.