SETELAH HAMPIR dua bulan tinggal di desa yang sunyi, pagi ini saya mengendarai mobil untuk pertama kali.
Saya mengantar tetangga (rumahnya sekira 100 meter dari rumah yang saya tinggali) ke rumah sakit di Tulungagung. Dia seorang kepala sekolah salah satu SMP negeri di Kademangan.
Tetangga saya itu baru saja menjalani pemasangan ring di pembuluh darah jantung. Dan hari ini adalah jadwal kontrol pertamanya.
Di rumah, dia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Dua anaknya sudah “jadi orang” di kota-kota yang jauh dari rumah.
Situasi rumah tangga seperti itu jamak terjadi di desa sunyi tersebut. Mungkin juga di desa-desa lain di Indonesia. Apalagi keluarga dengan anak dua atau tiga, dan semuanya sudah keluar rumah, entah kuliah atau bekerja di berbagai kota.
Bahkan saya perhatikan ada beberapa rumah tua yang suwung selama bertahun-tahun. Kemungkinan besar pemiliknya sudah meninggal dan anak-anak mereka sudah tidak tinggal di desa lagi.
Saya jadi teringat novel “Burung-Burung Rantau” karya YB Mangunwijaya. Bisa jadi mereka adalah anak-anak yang menjadi burung rantau. Mereka yang terbang jauh keluar sarang untuk mencari nafkah dan membangun keluarga.
Kembali ke tetangga saya, suami-istri yang sudah lansia itu. Umur mereka beberapa bulan lagi genap di angka 60, hidup jauh dari jangkauan dua anaknya.
Ketika pertama kali saya tinggal di desa itu, saya mencoba bertandang ke tetangga kiri-kanan, yang jaraknya memang berjauhan. Sanja. Saya berusaha untuk membangun keakraban.
Ketika bertandang ke rumah pasangan tersebut, saya tahu bahwa kondisi suaminya kurang sehat. Saat itu dia baru saja menjalani rawat inap di rumah sakit karena hipertensi.
Saya menawarkan diri, jika butuh teman untuk mengantarkan ke rumah sakit, jika terjadi sesuatu.
“Saya masih bisa nyetir dan SIM saya masih berlaku. Jangan sungkan jika butuh bantuan. Tapi di rumah saya tidak ada mobil.”
“Baik, terima kasih sebelumnya. Nanti bisa menggunakan mobil kami.”
Ketika mengalami serangan jantung seminggu lalu, dia diantar anak sulung dan menantunya, yang kebetulan sedang pulang kampung.
Anak sulungnya menjadi dokter kandungan dan suaminya pengusaha yang sukses. Mereka tinggal di Surabaya.
Sepulang dari rawat inap, saya sempatkan untuk mengunjunginya. Saya kembali menawarkan bantuan untuk mengantarkan jika kontrol ke dokter.
Semalam saya mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Setelah saya angkat, ternyata dari tetangga lainnya.
“Maaf, apakah bisa mengantar Pak Guru kontrol ke dokter besok pagi?”
“Tentu saja bisa. Kok Pak Guru tidak langsung menghubungi saya?
“Mungkin dia segan. Atau tidak tahu nomor telepon Anda.”
Saya menyesal karena lupa untuk memberikan nomor telepon.
Tadi pagi saya berjalan pagi menuju rumahnya. Garasinya terbuka penuh. Saya lihat istrinya berjalan menuju pintu mobil, disusul suaminya berjalan tertatih di belakang.
“Katanya mau kontrol ke dokter.”
“Iya, Om. Ini mau berangkat.”
“Lho! Saya antar saja. Sebentar saya ganti baju dulu.”
Saya bergegas pulang dan 5 menit kemudian, kami sudah keluar dari rumah mereka, menuju arah barat.
Di dalam mobil, mereka saya ajak bercanda agar tidak merasa sungkan.
“Jika kontrol lagi, saya dikabari. Tolong direkam nomor telepon saya. Agar sewaktu-waktu butuh bantuan.”
“Nggih.”
Mereka saya turunkan tepat di depan lobi. Sebelum menginjak pedal gas untuk mencari tempat parkir, saya sempat melihat mereka berjalan pelan menuju rumah sakit yang megah itu.
Cepat atau lambat, saya akan seperti mereka. Hidup berjauhan dengan anak-anak yang menjelma burung rantau.[T]