PEMUDA DENGAN nama lengkap I Gede Agus Yoga Pratama tampak berbinar seusai memutar beberapa piringan hitam yang memuat lagu-lagu lawas dalam acara pembukaan Tatkala May May May 2023—perayaan hari ulang tahun ke-7 Media Tatkala.co—di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, pada Sabtu (6/5/2023).
Pemuda lulusan S2 Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada itu tersenyum lebar setelah apa yang dilakukannya mendapat sambutan meriah dari pengunjung.
Yoga, begitu ia akrab dipanggil. Pria kelahiran 29 Juni 1994 itu menghabiskan masa kecilnya di Kota Singaraja, Bali. Dan pada 2012, ia memutuskan untuk merantau ke Bandung, Jawa Barat, menempuh pendidikan di Institut Teknologi Nasional Bandung dengan mengambil jurusan S1 Perencanaan Wilayah dan Kota.
Tak puas sampai di situ, pada 2018, setahun setelah merampungkan kuliah di ITN Bandung, ia berangkat ke Yogyakarta. Yoga melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada Program Pasca Sarjna Perencanaan Wilayah dan Kota (Konsentrasi Perkotaan)—dan ia lulus pada 2020 dengan IPK 3.75.
Yoga Pratama saat berbicara tentang piringan hitam dalam acara Tatkala May May May 2023 / Foto: Dok. Tatkala.co
Yoga kembali ke kampung halamannya di Singaraja setelah mendapat banyak ilmu dan pengalaman. Ia pernah menjadi Asisten Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota di beberapa perusahaan, mengerjakan project Pemerintahan Daerah dan Kementrian, di antaranya Rencana Detail Tata Ruang Kota, Real Estate, Zoning Plan, Zoning Regulation dan Site Plan.
Tapi, dari semua hal yang telah dilakukannya, ada satu hal yang memiliki tempat khusus di lubuk hatinya, satu hal tersebut tak lain ialah: lagu lawas yang termuat dalam piringan hitam atau kaset pita.
Ia mengaku, kegemarannya mendengarkan lagu-lagu lawas didapatkan dari orang tuanya. “Kebiasaan orang tua kami, dulu, memutar lagu-lagu era 80-90an dipagi hari, sebelum kami berangkat sekolah. Kenangan itu seakan melekat di telinga,” ujarnya kepada Tatakala.co, Senin (8/5/2023).
Musik, khususnya musik lawas, menurut Yoga, melalui sentuhan sederhananya, sebenarnya membuat setiap orang lebih mudah untuk terhubung. Tetapi, dengan nada sedikit putus asa, Yoga menyesali generasi hari ini yang tak banyak menghargai karya dengan menikmati rekaman fisik.
“Cara yang sudah usang, memang, tapi seakan membawa sepirit baru bagi saya untuk bersenang-senang,” akunya.
Jika ditarik ke belakang, Yoga menambahkan, semangat ini terinspirasi dari album “Kesepakatan dalam Kepekatan” oleh Guruh Gipsy. Dari sana, ia seolah mendengar masa lalu yang bermacam-macam. Ia menjelaskan, cover album tersebut terdapat kaligrafi Dasa Bayu berupa rangkaian 10 aksara Bali.
“Kaligrafi itu—i-a, a-ka-sa, ma-ra, la-wa dan ya-ung—berarti suatu keadaan hampa atau kosong yang kelak akan berubah menjadi kebenaran,” jelas pemuda yang sekarang bekerja di perusahaan asing yang bergerak di bidang 3d modeling arsitektur dari Swiss itu.
Mencoba menekuninya
Di tengah kesibukannya bekerja, Yoga tetap meluangkan waktu untuk memikirkan nasib koleksi piringan hitam dan kaset-kaset pitanya.
Hingga pada 2018, berawal dari Yuda, adiknya, yang sangat gemar dan cinta terhadap rilisan fisik yang bergenre jazz, groove, pop classic, tribe, psychedelic dan funk era 80an, ia memiliki ide untuk mewadahi teman-temannya yang cinta terhadap rilisan fisik.
Kesempatan itu akhirnya muncul pada tahun 2022, saat ia dan kawan-kawannya melihat banyaknya arsip rilisan fisik koleksi RRI Singaraja. Dari sana mereka memutuskan untuk membentuk grup selekta dengan nama Irama Utara.
Irama Utara merupakan group selekta dari kota kecil di Bali Utara yang masih bagian dari Komunitas Hulutara. Grup ini piawai membawakan setlist dengan piringan hitam dan controller digital.
“Jadi, kolektif Hulutara merupakan cikal bakal terbentuknya grup selekta Irama Utara dengan empat anggota: saya, Yuda, Yauk, dan Angga,” jelasnya.
Hulutara dibentuk pada awal tahun 2020 silam, secara tiba-tiba, atas dasar keinginan yang sama, yakni menjelajah Bali Utara. Dengan adanya kolektif budaya semacam ini, mereka berharap bisa mengenal lebih dalam akar mereka dari hulu sampai hilir. Bersama Komunitas Hulutara, Yoga mulai tertarik untuk menekuni piringan hitam dan segala hal tentangnya.
“Hulutara mempunyai visi ke depan untuk mengenal hulu dan hilir di Bali Utara. Maka dari itu, kolektif budaya ini kami namakan Hulutara, hulu Bali Utara. Jadi, Hulutara itu seperti stasiun. Kami punya kereta yang mempunyai tujuan macam-macam, seperti kuliner, berkunjung, dan musik terutama rilisan fisik,” terang Made Aryawan dilansir dari rri.co.id.
Bersama teman-temannya di Hulutara, pada Kamis (10/11/2022), di Museum Sunda Kecil di Pelabuhan Tua Buleleng, impian Yoga untuk mengenalkan lagu-lagu lawas akhirnya terwujud. Sekitar 50 buah piringan hitam dan 100 buah kaset pita ia pamerkan di beberapa titik di dalam museum.
Puluhan piringan hitam mereka “selamatkan” dari arsip RRI Singaraja. Begitu juga dengan ratusan kaset pita yang kini sudah jarang digunakan. Beberapa kaset pita juga ada yang diselamatkan dari perorangan yang memiliki koleksi di rumahnya. Secara sukarela benda-benda tersebut diserahkan kepada komunitas Hulutara berikut dengan alat pemutarnya.
Di sana, Yoga dan kawan-kawannya juga memutar beberapa piringan hitam dengan turntable layaknya menikmati musik Dj masa kini. Mereka kembali memperkenalkan artis-artis lawas dengan lagu-lagunya yang populer pada zaman dulu. Saat itu, Yoga merasa heran, kendati yang diputar adalah musik-musik lawas, justru yang banyak hadir adalah kaum milenial.
Yoga bersama kawannya di Irama Utara sedang memutar piringan hitam dalam acara Tatkala May May May 2023 / Dok. Tatkala.co
Yoga menjelaskan bahwa kegiatan yang diberi tajuk “Senandung Padu Irama” itu sedikit banyak terpengaruh oleh I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem, pendiri Arsip Bali 1928, yang dengan teguh melakukan repatriasi sekaligus restorasi dokumen bersejarah Bali era 1930-an.
“Tokoh yang membuat kami terpantik untuk menggelar acara ini adalah Marlowe Bandem. Banyak dari rilisan fisik yang terkait dengan Bali sudah beliau selamatkan. Penyelamatan rilisan fisik yang beliau lakukan tak terbatas di dalam negeri saja,” ungkap Yoga.
Keinginannya untuk merawat Irama Utara tak lain adalah agar generasi muda yang ada di Bali, khususnya di Singaraja, menikmati buah pikir para musisi atau seniman zaman dulu.
Sebuah tantangan
Kerja-kerja yang dilakukan Yoga tentu bukan sesuatu yang ringan, butuh usaha keras untuk bisa konsisten mempelajari dan mengembangkannya.
Benda semacam piringan hitam dan kaset-kaset pita merupakan produk masa lalu yang harus mendapat perhatian khusus, bukan saja dalam hal perawatan, tapi juga perjuangan dalam mendapatkannya.
“Kami sering mendapatkan piringan hitam dalam kondisi sudah rusak. Covernya sobek, dimakan rayap, dll. Tapi, selama platnya masih bagus, biasanya kami akan membikin cover baru,” terang Yoga.
Dalam hal perawatan piringan hitam, Yoga mengatakan, yang penting disimpan di ruangan yang tidak lembab, sebab itu dapat mengakibatkan plat menjadi jamuran, dan itu bisa berakibat fatal.
“Plat yang sudah rusak parah, misal jamuran parah atau patah, tentu sudah dapat digunakan. Tapi kalau hanya ada goresan-goresan kecil masih bisa diselamatkan,” jelasnya.
Plat piringan hitam / Dok. Tatkala.co
Di tengah maraknya platform musik digital macam Spotify, YouTube Music, JooX, Shazam, Deezer, dan semacamnya, yang mudah didapat, menekuni dan mendengar musik melalui rilisan fisik (piringan hitam dan kaset pita) tentu sebuah tantangan yang berat.
Namun, saat ini, Irama Utara, menurut Yoga, mencoba mengesampingkan faktor-faktor dari luar dahulu. Ia mengatakan, untuk saat ini, ia dan kawan-kawannya mencoba, sebisa mungkin, untuk tetap menjaga energi kolektif terlebih dahulu. Artinya, ia tak terlalu peduli terhadap apakah peminat musik rilisan fisik banyak atau sedikit. Yang jelas, pihaknya akan terus berusaha, tak berhenti berproses.
“Itu tantangan yang harus kami hadapi. Tapi, meskipun begitu, kami juga tak mau pasrah begitu saja. Kami akan terus berjuang atas apa yang telah kami mulai. Sebab, saya menyadari bahwa band atau musisi Indonesia zaman dulu itu tak kalah keren dengan band atau musisi zaman kiwari,” tuturnya.
Semangat Yoga dalam mempelajari, merawat, mengarsipkan, dan mencoba menjadi “berbeda” tampaknya membuat kita sadar bahwa orang memang perlu menerima gelora-geloranya yang kuat, dan tidak kehilangan semangatnya untuk menaklukkan. Ini bagian dari hidup, dan membawa suka cita pada mereka yang ikut berpartisipasi di dalamnya.
Mari mendengar masa lalu dari piringan hitam bersama Yoga.[T]