KOALISI INDONESIA BERSATU (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP terancam bubar. Itulah topik yang tengah hangat diperbincangkan, setelah PPP mengumumkan dukungannya kepada calon presiden (capres) Ganjar Pranowo. Artinya, kini PPP berkoalisi dengan PDIP. Artinya, dengan sendirinya KIB telah bubar, karena PPP sebagai anggota koalisi berjalan sendiri tanpa PAN dan Golkar, dengan agendanya sendiri.
Kenapa saya katakan “Koalisi Indonesia Bersatu” bubar setelah manuver PPP itu? Sebab, kata “Bersatu” di dalam koalisi ini memiliki filosofi “Beringin, Surya Alam, dan Baitullah” yang mana ketiganya merupakan simbol dari masing-masing parpol tersebut. Filosofi itu pernah disampaikan oleh ketum Golkar, Airlangga Hartarto, saat pendirian KIB. Dengan kondisi sekarang, maka KIB tampak telah kehilangan makna. Malahan menjadi koalisi yang tidak bersatu.
Sejak awal KIB didirikan pertengahan 2022, saya pesimis koalisi ini mampu benar-benar menjadi kekuatan menyongsong pemilihan presiden (pilpres) 2024. Sebab, KIB tidak jelas mau mencapreskan siapa. Padahal dengan jumlah kursi parlemen yang dimiliki, seharusnya koalisi ini bisa mengumumkan capres sejak awal. Kalau tidak begitu, untuk apa koalisi dibentuk sejak jauh-jauh hari?
Sepuluh bulan sejak dideklarasikan, ternyata KIB gagal menelurkan nama capres. KIB seperti menunggu arahan dari Istana untuk mendukung siapa. Sekitar Januari lalu, beberapa kali ada pernyataan anggota koalisi ini ingin mencapreskan Ganjar Pranowo. Jelas bahwa Ganjar adalah kader PDIP. Tentu tidak segampang itu mencapreskan kader partai lain, terkecuali Ganjar hengkang dulu dari PDIP atau KIB yang mendahului merapat ke PDIP. Akan tetapi, upaya itu tidak dilakukan oleh KIB. Tidak ada komunikasi intens antara KIB dengan PDIP.
Selanjutnya KIB juga sempat mewacanakan koalisi besar, dengan harapan bisa menggandeng PDIP dan Partai Gerindra dalam satu koalisi bersama. Tapi, lagi-lagi tidak jelas mau mengusung siapa sebagai capres dan siapa sebagai cawapres, sehingga wacana itu pun menguap begitu saja.
Sampai akhirnya Ganjar ditunjuk menjadi capres oleh ketum PDIP sendiri. Alhasil, KIB pun tidak jelas juntrungannya. Justru PPP akhirnya bermanuver sendiri dengan mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar dan bergabung dengan PDIP. PPP juga menawarkan Sandiaga Uno sebagai cawapres pendamping Ganjar.
Lalu bagaimana nasib PAN dan Partai Golkar? Besar kemungkinan PAN juga akan mengikuti jejak PPP, bergabung ke koalisi PDIP untuk mengusung Ganjar. Jika itu terjadi, maka akan tersisa Golkar sendirian di KIB.
Apakah Golkar akan gabung dengan PDIP? Hal ini mesti dikaji betul oleh Airlangga, bagaimana untung-rugi bagi partainya sendiri. Mengingat, Golkar partai besar, yang mestinya bisa mengendalikan dinamika politik yang ada. Jika memang dengan gabung ke Ganjar, Golkar mendapat jatah cawapres, barangkali masih cukup relevan untuk berkoalisi dengan PDIP. Jika tidak, sebaiknya ambil sikap yang lebih memberi ruang untuk menghadirkan capres-cawapres alternatif bagi rakyat (pemilih).
Pascaditinggal PPP yang merapat ke Ganjar, ada baiknya Partai Golkar merapat ke Prabowo Subianto. Bisa saja Golkar menawarkan Airlangga sebagai cawapres. Akan lebih bagus lagi jika Golkar bisa membuka ruang bagi tokoh lain, baik kader maupun nonkader, yang kiranya potensial untuk mendampingi Prabowo. Mengingat, nama Muhaimin Iskandar, ketum PKB yang sebelumnya digadang-gadang jadi cawapres Prabowo, elektabilitasnya rendah.
Ada dua petimbangan penting bagi Golkar dalam menghadapi situasi saat ini. Pertama, bagaimana supaya kader Golkar solid dalam menghadapi pemilu. Kedua, bagaimana supaya capres-cawapres yang diusungnya memberi efek domino terhadap elektabilitas partai. Dalam sisa waktu yang ada,
Golkar perlu lebih serius untuk mendiskusikannya. Dengan mampu menghadirkan calon alternatif yang diinginkan rakyat, maka partai akan mampu merebut simpati para pemilih. Bagaimana pun, capres-cawapres yang diusung akan sangat berpengaruh terhadap suara partai. [T]