PELUH MENETES di wajah saya. 20 Juni 2022, malam itu, sedang berlangsung piodalan wayonan di Pura Dalem Desa Adat Sangket dan aku, sebagai teruni pesaren, melaksanakan kegiatan ngayah di pura.
Sibuk! Ya, memang kata itu yang paling tepat karena saat itu kondisinya super hectic. Dari pagi memasang wastra pelinggih di pura, lanjut merias penari Rejang Dewa yang akan ngayah di pura juga, terakhir ngayah teruni pesaren. Bisa dibayangkan sibuknya bagimana?
Dering telepon berbunyi, setelah kuangkat terdengar suara dari seberang telepon. “Dyah, lusa kamu bisa nggak ikut pengabdian kampus ke Nusa Penida bersama Pak Ardi dan Pak Abdhi?” kata temanku yang bernama Jhojon di seberang sana. “Bisa, pasti bisa. Lumayan dapet pengalaman ke Nusa Penida!” lanjutnya.
Benar. Tanpa berpikir panjang aku langsung menjawab dan mengiyakan ajakan dari temanku itu. Karena jika dipikir, benar juga katanya, jika kami ikut, tentu akan mendapatkan pengalaman yang orang lain belum tentu mendapatkannya—dan Nusa Penida memang salah satu tempat yang ada di wishlistku.
Di tengah sibuk ngayah, telponku berdering lagi, “Nanti kita di sana akan ngayah, Dyah dan Jhojon nanti make up-in adik-adik penari di sana. Sebelum berangkat nanti kumpul di kampus ya, Dyah,” kali ini suara Pak Ardi yang terdengar.
Waktu terasa cepat. Saatnya kami berangkat ke Nusa Penida. Waktu itu, yang ikut berangkat ke sana ada 4 orang: aku, Jhojon, Pak Ardi, dan Pak Abdhi. Fyi, Pak Ardi dan Pak Abdhi itu dosen di kampusku—mereka berdua memang aktif dalam berkesenian.
Kami berangkat dari kampus menuju Karangasem—kami harus menjemput Pak Abdhi yang sedang di kampungnya sebelum ke pelabuhan.
Setelah menjemput Pak Abdhi, kami melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Kusamba, Klungkung. Sesampainya di sana, kami berjalan dari parkiran ke loket, dan harus menunggu kapal sekitar 1-1/2 jam. Tak apa, toh kami juga sambil menunggu teman Pak Ardi yang bernama Pak Made itu (Pak Made yang mengajak kami untuk ngayah dan juga menjadi tuan rumah di sana).
Tak lama menunggu, Pak Made dan keluarga sudah datang dan kapal juga sudah siap. Adegan selanjutnya, yup, kami naik kapal dan berangkat ke Nusa Penida. Gas!
***
Aku sangat menikmati sepanjang perjalanan menuju Nusa Penida—walau ada beberap hal yang membuatku was-was. Ya! Aku baru tahu, jika duduk di bagian depan kapal itu ombak akan terasa sangat keras. Memang, saat itu aku dan Jhojon duduk di bagian depan. Huft! Bisa dibayangkan bagaimana rasanya… hemm… kami hanya bisa berdoa agar cepat sampai dan selamat sampai tujuan.
30 menit perjalanan, setengah jam, dengan dada agak berdebar, akhirnya sampai di Pelabuhan Buyuk, Nusa Penida. Kami bergegas untuk turun dan mengambil barang bawaan, lalu berjalan mencari mobil bemo yang akan mengantar kami ke tempat tujuan.
(Aku kasih tahu, bemo di sana adalah mobil pick up hasil modifikasi dengan atap yang terbuat dari terpal dan tempat duduk yang dirancang sedemikian rupa.)
Pintu gerbang Pelabuhan Buyuk, Nusa Penida / Dok. Penulis
Dan setelah kami mendapat bemo, aku tercengang saat mengetahui kondisi lalu lintas di Nusa Penida sangatlah kacau. Ya! Di sana ramai sekali. Orang-orang keluar-masuk pelabuhan, turis yang berwisata, dan mereka yang hanya sekadar lewat, semua tidak ada yang mau mengalah, tidak sedikit insiden kecelakaan lalu lintas terjadi di sana.
“Kalau di sini salah ambil jalur sedikt saja, akan susah putar balik. Bisa jadi kita harus berjalan jauh dulu baru bisa berputar. Itu karena kurang tertibnya pengendara sepeda motor,” ujar Pak Made, saat kami terheran melihat situasi saat itu.
Dari pelabuhan menuju lokasi rumah Pak Made itu sekitar 30 menit. Menuju rumah Pak Made banyak kami jumpai villa, restoran, dan bar di sepanjang jalan. Tak sedikit juga kami jumpai tempat-tempat yang sudah ditutup karena wabah virus covid-19 kemarin.
Sampai di rumah Pak Made kami tidak langsung diajak turun, karena nanti kami akan diajak beristirahat di villa milik Pak Made. Ha? Yang benar saja, pengabdian nginep di villa? Wah, aku dan Jhojon terlihat sumringah mendengar hal itu. Dan benar, kami langsung menuju villa tempat beristirahat kami nanti.
Nama villanya Bukit Keker Cottage, terletak di Banjar Nyuh, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida.
Villa Bukit Keker Cottage / Dok. Penulis
Perjalanan menuju villa tidak begitu jauh, tetapi kami harus melewati kebun-kebun warga yang lumayan jauh dari permukiman warga, jadi sepi. Jalannya seperti naik ke bukit, ya tempatnya memang di bukit.
Di villa kami disarankan Pak Made untuk bersih-bersih dan istirahat terlebih dahulu, karena waktu sudah menjelang malam dan kami lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Tapi, setelah selesai bersih-bersih, aku tidak langsung istirahat, aku sembahyang terlebih dulu di padmasana yang ada di villa dan menghaturkan canang di pelinggih-pelinggih yang ada di villa.
***
Malam telah tiba, kami berempat—Jhojon, Pak Ardi, dan Pak Abdhi—makan malam bersama di villa. Walau hanya dengan nasi bungkus, itu sudah terasa nikmat—karena dimakan bersama-sama.
Pukul 8 malam terasa sudah sangat sepi, tetapi kami belum ada yang beranjak untuk tidur. Aku dan Jhojon merasa gabut, bagaimana tidak, biasanya, sampai pukul 11 malam, kami masih keluyuran, sedangkan waktu itu, jam 8 sudah harus terdiam di villa. Eittss, maksudnya bukan keluyuran sembarangan ya, kami memang sering latihan atau mendapatkan job menari yang selesainya jam segitu. Mohon dijaga pikirannya. Hehe
Akhirnya, karena gabutnya sudah sampai ke ubun-ubun, kami berdua meminta izin kepada Pak Ardi dan Pak Abdhi untuk ke mini market sebentar, sembari melihat suasana Banjar Nyuh di malam hari.
Kami izinkan, dan langsung berangkat turun dengan mengendarai motor yang sudah disediakan di villa. Dengan melewati kebun-kebun warga di malam hari, rasa semangat untuk turun pun berubah menjadi ketakutan semata.
“Jhon, aku mau tutup mata ya, takuttt!” kataku kepada Jhojon
“Aku juga sedikit takut dan merasa aneh,” jawabnya, sembari tetap mengendarai motor dengan kecepatan lumayan laju.
Lega. Kami sampai di bawah, di kawasan yang ramai akan turisnya. Wah, sungguh ramai, sampai dapat kuperhatikan sepanjang restoran dan bar pasti ada saja pengunjungnya, entah itu turis maupun warga lokal. Kami memutuskan untuk fokus ke tujuan awal, mini market.
Setelah belanja, kami berdua memutuskan untuk nongki tipis-tipis di depan mini market, yang memang sudah disediakan kursi di sana. Tentu tak lupa sambil membuat postingan cerita di media sosial agar teman medsos tahu kami sedang di Nusa Penida. Hehe—sombong kami sesederhana itu.
Dan ternyata, setelah membuat postingan cerita, aku baru tahu kalau mini market tempatku nongki ini adalah tempat nongkrong favorit anak-anak muda di Desa Ped. Aku tahu dari teman onlineku hehehe.
Tak lama kami melanjutkan perjalanan, menelusuri sepanjang jalan Banjar Nyuh sambil melihat-lihat stand kuliner yang ada. Di sana ada banyak stand yang menawarkan jajanan yang mungkin tak kalah enak dengan makanan yang ada di restoran dan bar di sana, dan kami tertuju ke stand martabak.
Kami sedikit cemas, takut kedua bapak-bapak yang kami tinggal di villa khawatir atas kepergian kami, dan untuk itu kamii memutuskan untuk balik ke villa, naik lagi dengan rasa takut yang sama dengan waktu berangkat turun tadi. Hemmm… kami memikirkan yang tidak-tidak.
Sampai di villa kami makan martabak bersama dan setelah itu pergi ke kamar masing-masing untuk istirahat, karena agenda esok hari lumayan padat.
***
Setelah ayam berkokok untuk terakhir kalinya, pukul setengah 7 pagi kami sudah siap menuju Pura Dalem Ped dan Pura Dalem Bias Muntig untuk melaksanakan persembahyangan. (Fyi, Pura Dalem Bias Muntig adalah tempat adik-adik nanti ngayah, menari.)
Usai sembahyang kami balik ke villa, siap-siap melaksanakan kegiatan selanjutnya. Pukul 1 siang aku dan Jhon diarahkan ke tempat berias adik-adik, tempatnya tak jauh dari villa, mungkin 100 meter lah. Dan waw, 35 penari, saudara-saudara sekalian. Ya, Anda tak salah membaca dan aku tak salah ketik. Benar, 35 penari dengan 2 orang perias, kami berdua, aku dan Jhon.
Penulis saat foto di Pura Dalem Ped / Dok. Penulis
Usai merias aku dan jhon diberikan waktu untuk bersiap sebelum nanti ikut ke pura. Sedikit terkejut, sampai di pura ternyata pemedek sangat antusias dengan persembahan pada malam itu. Bagaimana tak tertarik, pemetasan malam itu kolaborasi antara 2 kampus yang memang sangat gencar dalam branding—malam itu kampus ISI Denpasar sebagai pengiring tari-tarian adik-adik dan kampus STAHN Mpu Kuturan menampilkan wayangnya.
Pementasan selesai tepat pukul 11 malam, kami balik ke villa beramai-ramai sembari bersiap untuk istirahat. “Sebelum tidur, masuk-masukan barang bawaan ke dalam tas ya, karena besok kita berangkat ke pelabuhan pagi-pagi agar tidak kehabisan tiket,” pesan Pak Ardi kepada kami.
Pagi-pagi kami sudah siap berangkat ke pelabuhan dengan mobil pick up bersama teman-teman dari ISI. Dari Pelabuhan Buyuk menuju Pelabuhan Kusamba. Di Pelabuhan Kusamba kami berpisah dengan teman-teman ISI Denpasar dan melanjutkan perjalanan msing-masing.
Perjalanan kali ini sangat berkesan, karena bukan semata tentang pengabdian masyarakat saja, dan bukan tentang ngayah saja, tapi kali ini komplit, pengabdian dapat, ngayah dapat, holiday pun dapat. Pokoknya, bisa dibilang, ini ngayah rasa liburan. Hehe. Rasa lelah tak terasa, semua sudah dibayar oleh keindahan Nusa Penida, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Keluar dari pelabuhan kami mencari tempat makan, karena memang dari pagi belum dapat makan, hanya sarapan dengan roti.
Setelah makan kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, untuk melaksanakan pengabdian masyarakat lagi, dan rombongan kampus sudah sampai di sana. Semoga kembali menyenangkan, pikirku saat itu.[T]
*Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.