KASUS MELUKAI diri (self harm) yang marak terjadi belakangan ini cukup menyedot perhatian masyarakat. Sebanyak 52 pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, secara massal melukai tangan mereka sendiri. Kasus serupa juga terjadi di Bali.
Kasus ini tidak saja terjadi di sekolah-sekolah di perkotaan saja tetapi juga terjadi di sekolah yang letaknya di perdesaan. Beberapa sumber menyebutkan siswa melukai diri karena pengaruh media sosial. Siswa bisa saja ikut-ikutan melukai diri agar dikatakan mengikuti trendi.
Self harm dapat diibaratkan seperti fenomena gunung es. Untuk menggali lebih jauh penyebab siswa melakukan self harm perlu ditelusuri secara tuntas.
Peran orang tua sangat penting untuk mengawasi perilaku anaknya. Orang tua hendaknya jangan menyerahkan tanggung jawab kepada guru untuk melakukan pengawasan terhadap anaknya. Orang tua tetap berkoordinasi dengan guru untuk melakukan pengawasan.
Self harm umumnya terjadi karena siswa mempunyai permasalahan. Mereka tidak mendapatkan jalan untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini terjadi, umumnya pada anak-anak yang mempunyai kepribadian tertutup (introvert). Mereka sangat sulit untuk berbagi berbagi cerita berkaitan dengan permasalahannya.
Orang tua yang mereka anggap sebagai orang terdekat tidak memberikan perhatian terhadap dirinya. Mungkin orang tuanya sibuk bekerja sehingga orang tua mempunyai waktu sedikit untuk bercengkrama dengan anaknya.
Di sekolah, mereka sulit berbaur dengan teman-temannya. Seolah-olah mereka tersisih dari pergaluan dengan temannya tetapi kenyataannya mereka yang menarik diri dari lingkungan kelasnya.
Guru hendaknya cepat tanggap apabila menemukan siswa dengan gejala seperti ini. Guru berkoordinasi dengan guru bimbingan konseling untuk mencarikan solusi terhadap permasalahan yang dialami siswa.
Self harm juga dilakukan oleh siswa karena siswa mengalami gangguan mental. Mungkin saja siswa merasa stres karena tidak mampu mengikuti pembelajaran. Hal ini banyak dialami siswa karena siswa terlalu banyak dijejali dengan PR dan dalam menyelesaikan PR tidak mendapat bimbingan dari orang tuanya. Siswa merasa frustrasi. Sebagai bentuk pelarian mereka melukai dirinya karena mereka merasa bersalah.
Self harm tampaknya tidak selalu diakibatkan oleh permasalahan-permasalahan yang dialami siswa, tetapi self harm dilakukan oleh siswa untuk menunjukkan identitas dirinya. Kasus self harm banyak terjadi pada siswa yang duduk di SMP dan ada kecenderungan dilakukan oleh siswa perempuan.
Masa-masa di SMP, perkembangan psikologis siswa sangat labil. Mereka mencari identitas diri dengan menunjukkan egonya. Pencarian identitas diri bukan dilakukan dengan cara yang positif, tetapi siswa terjebak pada perilaku yang membahayakan dirinya. Mereka meniru perilaku negatif yang dilakukan oleh remaja di media sosial. Mereka meniru perilaku tersebut agar dikatakan gaul dan mengikuti trendi. Ini dilakukan siswa untuk mencari perhatian dari lingkungannya.
Orang tua dan guru hendaknya bersinergi dalam mengawasi perkembangan perilaku siswa. Komunikasi tidak saja dilakukan ketika siswa mempunyai permasalahan tetapi sinergi dilakukan setiap saat.
Terakhir, dan ini penting, ada beberapa gejala siswa yang melakukan self injury yang perlu diketahui oleh orang tua dan siswa seperti: 1) Memiliki luka bekas sayatan, memar, luka benturan, dan luka bakar pada beberapa bagian tubuh. Umumnya, luka terlihat pada area pergelangan tangan, lengan, paha, dan badan; 2) Anak senang menyendiri dan menjauh dari keramaian; 3) Anak sulit bercerita dan lebih senang menyembunyikan masalah yang sedang dihadapi; 4) Sering membicarakan selfinjuryyang dilakukan teman-temannya bisa menjadi tanda bahwaanakrentan alami kondisi serupa; dan 5) Senang mengumpulkan benda-benda tajam.