Ndul, kemarin dapat kabar, ada yang meninggal dunia. Kalau kebanyakan orang akan bilang “Turut Berduka Cita”, ada makna kedukaan dari kalimat tersebut.
Tapi, keluarga yang ditinggalkan, malah bilang, “Nak, Ayah dan Ibu sayang kamu, tapi Tuhan lebih sayang kamu”.
Meskipun mereka sedih, tapi berani mengungkapkan kalimat demikian. Kita sama-sama tahu, Ndul, semua yang ada di dunia ini adalah titipan Tuhan. Kalau udah titipan, ya berarti kapan saja bisa diambil oleh pemiliknya.
Aku masih bingung lhoo,Ndul. Kok bisa ya, orang tuanya kuat bilang begitu. Sebagai manusia dan berperan sebagai orang tua, berat lhoo, Ndul. Berusaha mengambil sisi terbaik dari sebuah ketetapan Tuhan, mencoba menguatkan diri dan keluarga, untuk belajar sabar, tegar, dan mengikhlaskan.
Saat bingung dengan sikapku, aku coba bertanya pada orang pintar, Ndul. “Kalau bayi yang meninggal dunia, bagaimana ya, pak?” tanyaku.
Orang pintar tersebut, menjawab, “bersedihlah secukupnya, bayi yang meninggal belum ada dosa, Tuhan akan menempatkannya di surga”. Kata orang pintarnya begitu, Ndul.
Akhirnya aku mengerti, owh pantas saja, orang tuanya merespon ‘kehilangan’ dengan cara seperti itu, ternyata anaknya sudah dijanjikan surga, Ndul.
Aku belajar banyak, dari kejadian itu. Termasuk menemukan kata yang tepat dalam memaknai kehilangan. Bukan menggunakan “turut berduka cita”. Tetapi aku akan menggunakan, “selamat jalan, dan hutang rasa”. Kalimat itu, disampaikan oleh Mbah Sudjiwo Tedjo dalam memaknai kehilangan.
Dan benar saja, menurutku, sebenarnya orang yang telah meninggal dunia, tidak benar-benar meninggal, tapi tetap hidup di dalam hati orang-orang yang menantikan kehadirannya pada dimensi yang berbeda.
Kalau kata eyang Sapardi Djoko Damono, manusia abadi, yang fana itu waktu. Begitu Ndul, kira-kira beberapa orang memaknai kehilangan. Kalau dirimu, bagaimana Ndul, memaknai kehilangan? [T]