DUA PULUH SATU TAHUN berlalu, saat saya pertama kali bertemu Tan Lioe Ie, seorang penyair Indonesia terkenal asal Bali. Wikipedia menulis, Tan Lioe Ie (lahir 1 Juni 1958) merupakan penyair pertama Indonesia yang melakukan eksplorasi atas ritual dan mitologi Tionghoa dalam puisi bahasa Indonesia. Walaupun bernuansa etnik kental, puisi-puisinya tetap mempunyai daya pikat bagi kalangan luas.
Pertemuan dengannya sewaktu saya masih SMA, sedang bersemangat belajar menulis puisi saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan Nanoq da Kansas—penyair, wartawan, pegiat teater, mentor, dan inspirator anak-anak muda.
Malam itu, di Gedung Kesenian Negara, Jembrana-Bali, Tan Lioe dan kawan-kawan membawakan musikalisasi puisi yang kala itu masih asing dan baru di Bali. Dengan gitar akustik dan iringan biola, Tan Lioe Ie, dengan suara khasnya berhasil membuat kami—penikmat seni di kota yang jauh dari gegap-gempita kesenian—terhipnotis.
Selain instrumen tersebut, dalam interlude ada yang memakai siulan, ada pula aliterasi, musik berupa bunyi yang berasal dari mulut–bukan kata.
“Dalam sastra, aliterasi bisa berupa metafora, jadi berupa kata. Sengaja dibuat seperti itu instrumennya, sehingga jika ada gitar saja pertunjukan bisa ditampilkan. Ada lebih banyak instrumen juga bisa. Saya membayangkan, dengan cara ini, puisi bisa dinyanyikan kapan dan di mana saja, saat berkemah misalnya,” tulis Tan Lioe Ie dalam kolom komentar ketika tulisan ini saya unggah di Facebook, Sabtu (11/2/2023) malam.
Pagelaran musik tersebut adalah tur keliling di beberapa kota di Bali, setelah album “Kuda Putih” diluncurkan. Berbentuk kaset, waktu itu CD, VCD dan DVD seingat saya belum ada. Malam itu saya membeli kaset itu, mendekati Tan Lioe Ie seusai pentas untuk meminta tanda tangannya. Dia menulis di sampul kaset: “Pro Angga: Semoga sukses meniti hidup. 30 Oktober 2001, Tan Lioe Ie.”
Album “Kuda Putih” berisi sepuluh lagu. Delapan lagu berasal dari puisi-puisi Umbu Landu Paranggi (1943-2021), penyair dan guru bagi banyak penulis dan seniman di Bali. Dua lagu lainnya berasal dari puisi Tan Lioe Ie.
Dalam amatan saya, ia berhasil mengintepretasikan “jiwa puisi” ULP dalam musik puisi. Puisi-puisi yang dilagukan begitu hidup, tidak mengurangi atau menghilangkan ruh sastra, bahkan memberinya warna dan semangat baru. Puisi-puisi ULP, menjadi bisa dinikmati semua kalangan, tidak hanya mereka yang paham dan mengerti puisi.
Setelah menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana, beberapa kali saya sempat bertemu Tan Lioe Ie. Dia tetap sama; hangat dan bersahabat bahkan kepada orang yang dia baru kenal. Saat berbincang, ia selalu bersemangat, mirip pengajar di depan kelas. Pengetahuannya luas. Jika tidak mengerti apa yang ia bicarakan, kita pasti akan merasa bosan lalu undur diri dari perbincangan.
Membaca puisi-puisinya, saya melihat Tan Lioe Ie “lain” dengan penulis puisi dan penyair Bali kebanyakan. Ia punya ciri khas. Belakangan, pada masa di mana hampir kebanyakan orang menggunakan media sosial, Tan Lioe Ie sering menulis dan memposting puisi-puisinya. Saya beberapa kali berkomentar perihal puisi-puisinya kini yang lebih bergaya realis.
Bukan berarti dulu tidak realis, hanya saja puisi-puisi barunya lebih “langsung” dan bahkan tidak banyak menggunakan metafora. Eksplorasi gaya? Bisa jadi begitu. Hal yang sangat wajar bagi penulis, yang telah sejak lama bersetia dan konsisten pada pilihan hidupnya.
Tan Lioe Ie masih terus bergerak, tidak berdiam atau berhenti di tempat. Kegelisahan yang ia rasakan sangat penting; melahirkan karya-karya baru yang bisa jadi “mengejutkan”. Ibarat kuda putih, ia terus berlari dan meringkik, seperti lagu-lagunya yang bergelora dan penuh semangat.
Salam hormat, Bung Tan. Semoga kita semua sehat dan bisa terus berkarya dengan riang. [T]