GURU BAHASA BALI, menulis buku berbahasa Bali. Kiranya hal itu menjadi capaian ideal bagi seorang guru bahasa Bali. Memang tidak banyak guru dapat meraihnya. Tapi, seorang I Nyoman Sutarjana, guru bahasa Bali di SMAN Bali Mandara ini berhasil meraih capaian tersebut.
Lewat pupulan satua cutet “Introvert” ia menunjukkan bahwa guru memang harus dekat dengan aktivitas menulis, dan tentu saja, mempublikasikannya. Namun, sebelum jauh berbicara soal isinya, saya mau sedikit menceritakan perkenalan saya dengan penulis buku ini.
I Nyoman Sutarjana adalah guru bahasa Bali yang pernah mengajar di SMKN 1 Denpasar, sekolah tempat saya menempuh pendidikan sekitar tahun 2010 s.d 2013. Sudah cukup lama memang, tapi tentu kenangannya tidak mudah dilupakan. Hahaha.
Seingat saya, bapak satu ini lebih akrab disapa dengan “Pak Bintang Laut”—sapaan itu datang dari nama akun Facebooknya pada masa itu. Tidak hanya sebagai guru bahasa Bali, ia juga sempat dipercaya menjadi Pembina Pramuka, dan kebetulan, saya pun aktif di Pramuka. Meski berada dalam ruang lingkup serupa, tidak jamak komunikasi yang terbangun antara saya dan Pak Bintang Laut. Sekadar tahu saja, tidak lebih.
Setelah sekian lama, saya kembali bertemu Pak Bintang Laut di Universitas Udayana. Tepatnya pada saat saya menjadi panitia di salah satu kegiatan lomba cerdas cermat, dan saat itu Pak Bintang Laut mendampingi siswanya yang berlomba—saat itu ia sudah menjadi guru di SMAN Bali Mandara, mungkin sekitar tahun 2015.
Sejak saat itu, komunikasi pun mulai terjalin kembali, meski hanya lewat sosial media.
“Introvert” Karya Berbahasa Bali yang Ngepop
Lama tak berjumpa, pada akhirnya saya kembali berjumpa dengan Pak Bintang Laut melalui karyanya. Kumpulan cerita pendek berbahasa Bali berjudul “Introvert” menjadi karya pertamanya. Tentu ini menjadi sebuah kabar yang menggembirakan.
Dalam bagian pengantarnya, penulis sudah mengatakan bahwa buku ini mengambil genre komedi dan banyak mengadaptasi gaya tulisan dari Raditya Dika. Sketsa-sketsa komedi banyak ditampilkan oleh penulis di setiap ceritanya. Hal tersebut bisa dilihat di bagian ini:
“Kopi ané ngingetang titian sareng bapa. Bapa ané ngajahin tiang ngaé kopi. Gulané duang séndok, kopiné a séndok apang manisan dik idupé.” (Introvert, hlm. 4)
“Suba léwat tahun baru né Man. Dingeh-dingeh tahunné ené gubernuré ngelah program baru. Nyén ané umur sasur tiban kéwala enu jomblo lakar kasuntik mati,” (Truna Wayah, hlm. 7)
“Cara nebag lampu sign ibuk-ibuk negakin motor. Sign kanan bisa ia méngkol kiri. Woman is always right. Anak luh selalu benar.” (Tresnané Nutur (Tusing) Sadarana di Pasih Purnama, hlm. 13)
Lelucon-lelucon semacam itu kerap kali kita dengar, bahkan kita gunakan dalam percakapan sehari-hari atau menggambarkan situasi hidup yang sedang dihadapi. Tentu lelucon tersebut bertujuan untuk mencairkan suasana dalam percakapan—atau mungkin untuk sekadar menghibur diri saja.
Saya pikir, memberikan bumbu-bumbu komedi dalam sebuah tulisan adalah upaya untuk memudahkan pembaca dalam menerima pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Selain itu komedi juga bermanfaat untuk memangkas jarak antara karya dan pembaca.
Selain ditulis dengan gaya yang ngepop, penulis juga mengangkat tema yang sedang hangat diperbincangkan oleh generasi muda hari ini, yaitu kesehatan mental. Pelbagai istilah kesehatan mental, seperti skizofrenia, bipolar, introvert, dan lainnya. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat dilihat pada bagian:
“Kurenan tiang suba bisa nérima kawéntenan tiang, diastun di kénkéné taén tiang orina pindah ka Koréa Utara di gumi ané terkenal ulian introvert ento.” (Introvert, hlm. 5)
“Luh Puji kocap kena gangguan kepribadian sané mawasta gangguan Bipolar. Gangguan punika makada Luh Puji tusing bisa ngundukang kenehné ané sriat-sriut buka ayunané.” (Luh Puji, hlm. 25)
“Buduhné kasambat és tabia, nyem lalah. Di ngentah pesu buduhné mamunyi uli semeng ngantos sanja. Yén sing ada ajake ngorta, ia mamunyi ajak didiané. Kemak-kemik nuturang keadaan ékonominé jani. Yén istilah médis gelemné kasambat Skizofrenia.” (Skizofrenia, hlm. 49)
Mengikuti perkembangan informasi. Itulah yang tercermin dari setiap tulisan yang hadir dalam buku ini. Setiap fenomena yang dihadirkan terasa begitu nyata. Fenomena Luh Puji, misalnya, tentu jamak kita melihat orang-orang semacam Luh Puji ini.
Luh Panji adalah individu yang memiliki kepribadian ganda—sehingga menyebabkan orang sekitar begitu sulit mengidentifikasi suasana hati seseorang yang menderita bipolar tersebut.
Begitu pula dengan lainnya. Jamak pula kita melihat bagaimana lingkungan sosial si penderita kesehatan mental ini abai. Alih-alih memberi perhatian dan perlakuan khusus, lingkungan sosialnya justru menganggap apa yang diderita hanyalah hal remeh—kemudian berdampak pada semakin buruknya kondisi si penderita.
Luh Puji adalah penggambaran sempurna dari buruknya situasi lingkungan di sekitarnya.
“Introvert” Adalah Potret Fenomena Hari Ini
Saat pertama kali melihat poster buku ini, saya berpikir, “Kenapa penulis memilih untuk menggunakan istilah introvert sebagai judul cerpen sekaligus judul bukunya?” Pikiran tersebut sempat terlintas dan berkelindan cukup lama di kepala saya, karena saya rasa penulis dapat memilih diksi yang kesan “Bali”-nya bisa dirasakan.
Hal ini terbukti, ketika saya mengunggah foto buku ini sebagai cerita di sosial media Instagram, sebagian besar tidak menyangka bahwa buku ini adalah kumpulan cerita berbahasa Bali. Sebagian mengira bahwa buku ini adalah buku bergenre pengembangan diri (self improvement).
Pemilihan diksi apalagi judul menurut saya penting, mengingat judul menjadi pintu gerbang awal dalam memberi kesan awal kepada calon pembaca.
Bagi saya, karya sastra sedikit banyak berangkat dari fenomena masyarakat yang berlangsung. Karya sastra sendiri memiliki fungsi untuk mendokumentasikan laku hidup manusia pada zamannya.
Apabila banyak karya sastra yang menyuguhkan laku manusia Bali seperti yang disampaikan dalam buku Introvert, maka hal ini dapat menjadi refleksi bagi manusia hari ini. Merefleksikan dan mengelola diri, karena hal utama yang harus dilakukan oleh manusia di zaman ini adalah berdamai dengan diri sendiri.[T]