HEY, NDUL, siang itu, aku ditelpon oleh perempuan yang saat ini berperan sebagai seorang ibu. Ia menyampaikan beberapa hal yang menarik terkait perkembangan anaknya. Saat ini anaknya sedang tumbuh berproses melalui kegiatan di sebuah organisasi. Mungkin sama juga dirimu, Ndul, ikut organisasi.
Ada yang menarik, Ndul. Ibu itu menceritakan, bahwa sebelumnya, anaknya bercerita hendak mengadakan kegiatan. Mendapatkan kabar tersebut, ibunya tidak mau intervensi lebih dalam, ia ingin anaknya berproses.
Kata dia, Ndul, anaknya melaporkan hasil kegiatan yang dilaksanakan, salah satu yang menjadi evaluasi anaknya adalah jumlah peserta yang tidak melampaui target. Anaknya dan tim sadar kemampuan mereka masih kurang dalam menyelenggarakan kegiatan. Hal tersebut membuat anaknya kurang bersemangat dan sedih.
Tak ingin melihat anaknya patah semangat dan bersedih, ibu itu merespon di tengah kesibukannya bekerja, Ndul. Ia berharap anaknya tetap berproses melalui wadah organisasi. Ibaratnya sebagai tempat ‘kawah candradimuka’ untuk anaknya. Tanpa menganggap remeh proses anaknya, ia mengajak anaknya mengambil sudut pandang lain dari proses yang telah berjalan.
Misalnya begini Ndul, ternyata ibu itu bangga dan menjadi pelajaran penting bagi anaknya, jika anaknya mampu menyadari kesalahan dan titik lemah yang perlu dievaluasi, dengan catatan tanpa perlu mencari kambing hitam dari rapuhnya tim. Karena, bagaimanapun jalannya kegiatan tersebut hasil dari kesepakatan bersama, “lantas untuk apa mencari kambing hitam”, kata ibu tersebut menegaskan kepadaku, Ndul.
Kemudian ia membuat analogi kepada anaknya. Begini, Ndul, jika sudah bersepakat ke suatu tempat, ternyata tempat tersebut tidak sesuai harapan, apakah harus memaki orang yang mengajak ke sana bersama dan menyesal telah sampai di sana? Seolah merasa tidak ada manfaat di sana? Lalu kesepakatan sebelumnya untuk apa? Formalitas semata? Ayolah, Nak, hargailah sebuah kesepakatan bersama, tanpa perlu mencari kambing hitam. Malah sebaiknya digunakan untuk mengeksplorasi hal lain yang ada di sana kan? Kata Ibu itu, menirukan yang disampaikan kepada anaknya.
Dia, memberikan beberapa sudut pandang dalam menikmati proses, Ndul. Misalnya, ia menegaskan, jangan sampai anaknya melakukan sesuatu karena orang tuanya. Ia menginginkan anaknya tumbuh melakukan berbagai proses atas kemauan dan kesadaran yang dibangun anaknya sendiri. Bukan atas dasar tuntutan orang tua atau bahkan orang lain. Tegas, Ndul, dia menyampaikan itu padaku.
Nah, menariknya di sini, Ndul, sekadar tambahan dariku, kedekatan hubungan ibu dengan anak membuat suasana cair untuk sharing and caring. Keterbukaan informasi yang disampaikan anaknya, membuka ruang orang tua untuk mengawal tumbuh kembang anaknya. Orang tua baiknya memposisikan diri sebagai ‘rumah’ untuk anaknya berkeluh kesah.
Namun, perlu diingat, Ndul, ada orang tua yang ‘jauh’ dari anaknya, ya mungkin faktor pekerjaan atau satu dua lain hal, waktu orang tua bersama dengan anak seringkali tergadaikan. Sehingga anak bingung mencari tempat berkeluh kesah, saat ‘dunia’ tidak menerimanya dengan mudah. Ya tentu tidak semuanya, Ndul. Tapi ada.
Siang itu hampir setengah jam ngobrol via telepon, Ndul. Telepon ditutup dengan rencana pertemuan. Kami akan bertemu, berbincang dan menertawakan sisi menarik dari proses kehidupan. Nantinya, Marugame Udon menjadi teman favorit obrolan kami. O Iya, Ndul, barangkali dirimu mau ikutan. Kalau mau aja sih, kalau dirimu menemukan sisi manfaat untukmu. Ya takutnya dirimu marah lagi. Dikiranya, nanti aku memaksa. [T]