PADA MALAM yang dingin, ditelpon oleh seseorang untuk segera merapat ke Jakarta. Melanjutkan pertemuan yang belum selesai, kata si penelepon.
Tanpa pikir panjang, dengan uang seadanya, hanya cukup untuk tiket dan kebutuhan sampai tiga hari saja, diputuskan berangkat ke Jakarta. Urusan tiket aman, perjalanan aman, lanjut kebimbangan saat tiba di Jakarta, berhenti di mana. Patokannya, Terminal Grogol. Tapi entah itu di mana.
Pengalaman ke Jakarta sebelumnya, tertidur di bis, Terminal Grogol terlewati, turun di Kali Deres. Tak ingin mengulangi hal yang sama, untuk menghemat anggaran dan waktu, diputuskan untuk mencoba cari informasi lebih lanjut.
Bertemulah dengan seseorang yang sama-sama turun di Terminal Grogol. Alhasil, perjalanan untuk sampai tempat tujuan yakni Kecamatan Menteng, lancar nyaman dan sentosa, tanpa drama yang begitu menyita perhatian.
Tanpa ada arahan dari seseorang yang menelpon. Hingga saat ditanyai orang-orang mengenai keberadaan di Jakarta akan dijawab, “Menemani monas yang berdiri sendirian”.
Mereka hanya tertawa, seolah heran. Jakarta bos! Perjalanan dari Surakarta ke Jakarta. Tanpa ada kejelasan soal tujuan dan aktifitas di Jakarta. Tapi memang betul, tidak ada gambaran jelas di Jakarta akan melakukan apa dan bagaimana. Jelasnya, sampai di Jakarta dulu.
Jakarta, menjadi rimba untuk orang-orang mengadu nasib dengan iming-iming gaji besar dan pasar yang menggiurkan serta banyak hal yang bisa diakses. Informasi berjalan cepat, kendaraan lalu lalang tidak ada habisnya.
Kota sekitar Jakarta menjadi penyokong ramainya ibu kota. Jakarta menjadi tempat ‘perang’ bagi sebagian orang untuk mewujudkan mimpinya. Sebagian orang yang lain beranggapan Jakarta bukan tempat tinggal yang nyaman. Dari sekian banyak testimoni tentang Jakarta, belum ada hal yang menarik untuk menentukan sikap. Mau apa nih di Jakarta?
Sementara ini yang terbesit dalam pikiran adalah menciptakan kenyamanan baru. Bukan lantas meninggalkan kenyamanan yang lama. Manusia sebagai makhluk sosial tentu butuh kenyamanan di mana pun. Kenyamanan apapun itu. Baik pikiran, jiwa dan raga.
Meskipun di Surakarta belum sepenuhnya. Setidaknya memutuskan beranjak dari Surakarta ke Ibukota memberikan tantangan tersendiri. Memberanikan untuk membentuk kenyamanan dari nol dan akan membutuhkan waktu yang lama.
Membandingkan Surakarta dan Jakarta tentu keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Surakarta sudah menjadi rumah, rumah dengan segala tipe keluarga, berbagai macam karakter manusia ada di dalamnya. Aneka makanan dan minuman dengan harga yang ramah. Tempat wisatanya. Tata kota yang sudah terus berbenah. Ruang sunyi untuk kembali reorientasi. Menikmati sunrise dan sunset banyak tempat dan singgasana mudah didapat. Serta banyak hal tentang Surakarta yang dimulai sejak mengenalnya.
Pada kesempatan kali ini, menjadi awal babak membuka ruang baru memulai banyak hal. Pintu rimba Jakarta sudah menyapa. Menyambut untuk menjadi petaruh dan petarung selanjutnya. Hingga kini cahaya terang belum terlihat. Mungkin karena ini adalah langkah awal memasuki rimbanya Jakarta yang entah bagaimana ujungnya. Indah atau malah sebaliknya.
Tinggal menentukan bagaimana langkah selanjutnya. Menghimpun amunisi untuk bertahan dan bertarung ke depannya. Ingat ya, ini Jakarta. Tempat bertarung para kelana mempertahankan eksistensinya. Selamat datang di Jakarta. Ibukota dengan segala aneka rasa yang akan datang menyapa.
Sembari mengingat pesan seseorang, “Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling adaptif dengan segala kondisi, maka setidaknya akan hidup di tempat mana pun dengan segala doa dan ikhtiar yang dijalankan”.
Menanamkan dogma dalam hati, semua akan berjalan baik-baik saja. Dan jika sebaliknya, semoga Tuhan memberikan kemampuan mengambil hikmahnya. Toh, pada akhirnya jika tidak ada seorang pun yang membersamai, setidaknya ada Tuhan yang selalu bersama makhluknya. Dan tidak akan membiarkan makhluknya berjalan sendirian.
Pada akhirnya, memilih di Jakarta adalah bagian perjalanan hidup yang harus dilaksanakan dengan menyenangkan. [T]