JALAN DHARMA sedang bangkit dan teruji dalam dinamika kehidupan sosial dan horisontal untuk mencapai kemenangan.
Gerakan dharma yang tiada henti dari jaman ke jaman dalam putaran Sang Waktu (treta), bagi orang-orang yang berbekal kekuatan dharma dari karmawasananya lalu bersinergi dalam gelombang yang sama dalam kehidupan kini, melayani “Sang Penegak” dharma.
Itu artinya ketika menemukan kesulitan dalam gerakan dharma, orang-orang tergerak membantu dengan sendirinya.
Siapa yang memerintahnya? Tiada lain adalah energi semesta dharma, yang terjadi akibat pekanya hati nurani yang bervibrasi tanpa disadari. Kepekaan hati nurani nan tulus, mudah digerakkan dan dialiri energi suci oleh alam semesta menjadi energi dharma yang berguna dan siap menjadi pelayan menggerakan aktifitasnya.
Kebenaran ini terjadi bagi pelaku-pelaku dan penggerak-penggerak dharma di manapun berada. Oleh karena itu dharma adalah esensi kehidupan yang bajik merupakan sifat kemahakuasaan Tuhan itu sendiri. Esensi dan geraknya meresapi jiwa-jiwa orang yang selalu hadir menjadi abdi-abdi-Nya.
Pergerakan esensi dharma ini, untuk kesejahtraan dan kedamaian umat manusia dan seluruh ciptaan-Nya. Itu artinya gerak dharma adalah gerak semesta dewata, yaitu gerak alam dan Pelindungnya.
Tantangan demi tantangan mesti dilewati, dengan kecerdasan pengetahuan dan kelembutan metodologis, merupakan salah satu upaya menyelamatkan orang-orang gelap terkontaminasi adharma asura yang semakin meluas di jaman Kaliyuga ini. Realitasnya lebih suntuk dalam perhelatan kemeriahan material duniawi, berdasar kekuatan strategi politik “asal menang”.
Merujuk kebenaran kasih-Nya Mahadewa yang mengajarkan kepada Dewi Parwathi (Mahakali) dalam menuntaskan penyakit mematikan bagi anak-anak yang disebarkan oleh Jualasura.
Jualasura bertapa sangat ketat memperoleh anugerah dari Dewa Brahma. Kekuatannya yang tidak bisa dibunuh oleh siapapun, kecuali anak kecil, yang bisa memasuki goa pertapaannya. Saat itu Dewa Brahma perpesan waspadalah pada “kekuatan anak”.
Anugerah kekuatan ini justru disalah gunakan untuk menghancurkan alam semesta, mulai dari upayanya menyebarkan penyakit bagi anak-anak. Maksudnya ketika generasi anak-anak hancur, manusia akan habis di dunia.
Saat anak-anak sedang kesakitan dan lemah, termasuk Ganesha pun juga kena penyakit itu. Akibat dari semua itu, Dewi Parwathi berubah menjadi Mahakali ingin menghabisi Jualasura. Dia tertawa terbahak-bahak karena Mahakali tidak bisa membunuhnya, karena harus menghormati anugrah Dewa Brahma.
Akhirnya Dewi Parwathi memohon kepada Mahadewa agar berkenan mengubah wujud menjadi anak kecil untuk menghancurkan Jualasura.
Realitasnya saat ini isu penculikan anak yang cukup mengkhawatirkan. Mudah-mudahan realitas ini segera sirna.
Jualasura tidak bisa dibunuh begitu saja, karena penyakitnya telah menyebar kepada anak-anak di alam semesta ini, demikian wejangan Mahadewa kepada Dewi Parwathi.
Melalui senjata sakti Tri Sula kekuatan penyakit itu ditarik oleh anak kecil jelmaan Mahadewa. Saat itulah Jualasura lemas habis kekuatannya, lalu mohon ampun kepada Dewi Mahakali dan Mahadewa serta mempersilahkan untuk menghabisi nyawanya.
Dewi Mahakali tidak membunuhnya, tetapi membebaskan dari segala dosa akibat ingin balas dendam dan menghancurkan dunia.
Jualasura sadar pada kesalahannya dan mohon tuntunan agar bisa kembali “pada jalan dharma”. Lalu dia menyerahkan diri berubah wujud menjadi Kuda, siap menjadi kendaraan Dewi Mahakali.
Akibat anugerah itu, Dewi Parwathi (Dewi Mahakali) disebut (diberi gelar kehormatan) sebagai Dewi Sinthala yaitu Dewi yang mengatasi masalah besar dan menyembuhkan penyakit dengan kelembutan metodologis.
Oleh karena itu betapa penting menyadari kesalahan dan dosa, lalu bertobat menyerahkan diri menjadi pelayan dharma, agar hidup selamat dan damai,
Semoga menjadi renungan dan refleksi. [T]
Sabtu, 11 Februari 2023