DENPASAR | TATKALA.CO – Ni Putu Renaisan Andari Teja, Siswi SMPN 1 Denpasar, berhasil meraih jayanti (juara) satu pada Wimbakara (Lomba) Ngewacen (Membaca) Puisi Bali Anyar serangkaian Bulan Bahasa Bali ke-5 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa, 7 februari 2023.
Sementara juara dua diraih I Made Suartama Yasa, siswa SMPN 14 Denpasar, dan juara ketiga diraih I Gusti Ayu Andhini Iswari dari SMPN 6 Denpasar.
Ekspresi Ni Putu Renaisan tampak sedikit kaget ketika mendengar namanya disebut sebagai juara satu oleh dewan juri. Ia kaget dan tentu saja gembira.
“Sedikit ragu karena ada beberapa kurang pas saat saya tampil tadi,” kata Renaisan yang putri dari Ketut Ari Teja ini usai mendengar pengumuman dari dewan juri.
Renaisan yang sejak SD sering mengikuti lomba baca puisi mengaku senang, dengan hadirnya lomba puisi Bali ini digelar oleh pemerintah Provinsi Bali. “ Terimakasih pemerintah provinsi Bali telah menyelenggarakan lomba baca puisi Bali ini,” ucapnya.
Dewan juri dalam lomba itu adalah Ketut Sudewa (akademisi), Putu Supartika (sastrawan) dan I Made Sugianto (sastrawan).
Ketut Sudewa mengaku bangga setelah melihat penampilan peserta lomba membaca puisi Bali itu. Menurutnya, minat anak-anak dalam melakukan kegiatan membaca puisi sangat tinggi.
Seluruh peserta tampil sangat baik, khususnya dalam pengembangan aksara, bahasa dan sastra Bali, sesuai dengan kebijakan Gubernur Bali.
“Hanya saja, ini mestinya diikuti oleh daerah dari kabupaten dan kota madya. Bila perlu ini dilakukan dari tingkat desa, dan kecamatan,” ucapnya.
Sebut saja, seperti Pesta Kesenian Bali yang dilakukan dari tingkat bawah. Kalau hanya dilakukan dari atas, terkadang tidak menjangkau semua yang dibawah. Sebab, yang tahu keadaan di bawah kan pemerintah di tingkat bawah. Apalagi, kedepanya di jaman serba cepat ini, bahasa Bali harus dijaga agar jangan tersisih dengan budaya lain.
Bahasa Bali adalah salah satu sumber budaya Bali. “Teman-teman sastrawan, harusnya dilibatkan di tingkat bawah. Jangan hanya membina yang sudah di atas. Teman-teman sastra Bali kan banyak sekali, mulai dari kabupaten lalu direkrut di tingkat provinsi,” papar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unud ini.
Lomba ngewacen puisi Bali anyar ini merupakan ruang yang diberikan oleh Gubernur Bali, maka itu teman-teman sastra Bali modern kembali membina pada anak-anak khususnya bagi anak SD dan SMP. Terutama dalam penguasaan bahasa Bali, sehingga mengerti pemakaian bahasa alus, dan bahasa kasar.
Kegiatan ini sangat baik untuk mengasah otak dan pikiran. Terkadang mengasah pikiran itu kurang dilakukan karena harus mengejar teknologi. “Saat ini banyak anak-anak yang jurusan IPA menekuni sastra, teater dan kegiatan seni lainya. Itu kan untuk mengasah otak, menyeimbangkan otak kanan dan kiri,” katanya.
Walau secara umum seluruh peserta tampil bagus, lanjut Sudewa, namun beberapa dari peserta ada yang tidak tahu arti dari bahasa itu. Penyair-penyair daerah, dari kabupaten sering membuat puisi yang menyertakan dialek darahnya masing-masing.
Dan ini memang sangat menarik. “Sayangnya beberapa anak-anak pembaca puisi tadi itu tidak memahami arti. Harusnya mereka mulai dari arti kata, baru menafsirkan lalu mengekspresikan. Ada juga yang salah baca kata-katanya. Itu menandakan bahasa Bali kurang dipahami. Tapi, dari keinginan mereka untuk ikut lomba sangat bagus dan patut diacungi jempol,” katanya..
Namanya juga baca puisi, maka harus membaca. Walaupun sudah hafal, tetapi tetap saja membaca. Pada lomba kali ini, ada yang tak membaca puisi tetapi menghafal. Dalam membaca puisi itu, juga terkadang bergerak bagai seorang pemain drama di panggung.
“Itu boleh saja, tetapi jangan lebay, sehingga menjadi kurang menarik. Bergerak itu bagus, namun porsinya harus pas, karena ini ajang membaca puisi, bukan bermain drama,” paparnya.
Ada pula peserta yang meniru-niru gaya penyair Samar Gantang. Padahal, harusnya mereka menjadi dirinya sendiri, jangan melihat orang. Kalau membaca puisi itu harus menjadi dirinya sendiri. Artinya, sesuai dengan ekspresi sendiri. Ada pula peserta yang salah mengartikan kata. Sebut saja mulutnya berkata manah, namun tangannya meninjukan kepala.
“Manah itukan ada di dalam dada, sedangkan di kepala itu ada pikiran. Ini agak keliru. Mungkin karena gugup. Itu memang penyakit di atas pangung. Yang jelas, saya mengapreasiasi kepada anak-anak, terutama kemampuannya. Saya yakin kedepan bahasa Bali tak akan hilang, yang panting mau melakukan kegiatan seperti ini. Bahasa itu kan alat untuk budaya kita,” katanya.[T][Pan]