“Democracy grows into its being, Democracy has no ends” – Robert Mac Iver
Begitulah yang dikatakan oleh Robert Mac Iver, bahwa perjuangan untuk mewujudkan cita-cita demokrasi bahkan demokrasi itu sendiri tidak akan pernah mencapai bentuk final. Pernyataan tersebut tampak relevan dengan persoalan yang dihadapi oleh Indonesia hari ini.
Jelang Pemilu 2024, diskursus tentang sistem pemilu yang akan diterapkan pun hangat diperbincangkan. Berawal dari permohonan uji materi sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan kemudian berlanjut dengan pernyataan Ketua KPU RI, “Jadi barangkali bagi calon peserta pemilu bisa bersiap-siap dan mengikuti perkembangan jika gugatan tersebut dikabulkan MK”, dan perdebatan soal sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup pun menyeruak ke permukaan.
Kilas Balik Pemilu di Indonesia
Pertama kali Indonesia melaksanakan Pemilu adalah pada tahun 1951 yang masih bersifat daerah di Yogyakarta, Sangir-Talaud, dan Minahasa. Kemudian pada Februari 1952 dilanjutkan di Makassar. Pemilu ini sangat penting untuk mengukur kesiapan pelaksanaan pemilu nasional yang akan dilaksanakan tahun 1955.
Pemilu tahun 1955 menjadi salah satu peristiwa besar yang baru pertama kali diikuti secara langsung oleh seluruh lapisan penduduk Indonesia pasca kemerdekaan. Tidak hanya sebagai pemilu nasional pertama yang terselenggara di Indonesia, Pemilu 1955 juga menjadi pemilu dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi—sebanyak 87,65 persen atau dengan kehadiran 39 juta orang ke tempat pemilihan dari total daftar pemilih sebanyak 43.104.464 orang[1].
Pemilu tahun 1955 menjadi satu-satunya pemilu nasional yang terselenggara di masa Orde Lama setelah diterbitkannya Dekrit Presiden tahun 1959 yang menutup kemungkinan dilaksanakannya pemilu kedua yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun 1959-1960. Dekrit Presiden tersebut juga memulai era Demokrasi Terpimpin ala Sukarno.
Kemudian memasuki Orde Baru, pemilu nasional kurang lebih dilaksanakan sebanyak lima kali dengan tingkat partisipasi selalu di atas 90 persen. Hal ini tidak terlepas dari campur tangan penguasa dalam penyelenggaraannya—mobilisasi pegawai negeri sipil untuk memilih Golongan Karya (Golkar), membatasi akses kampanye partai selain Golkar, dan memberi ancaman kepada pihak-pihak yang mencoba untuk tidak memilih Golkar. Lewat cara-cara tersebut kemudian Presiden Soeharto mempertahankan kekuasaannya di eksekutif dan juga menguasai kursi-kursi di legislatif.
Pemilu di era Reformasi pertama kali dilaksanakan pada tahun 1999. Pemilu ini dapat terlaksana karena paket undang-undang politik yang disahkan di masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Produk undang-undang tersebut diantaranya, UU tentang Partai Politik, UU tentang Pemilu, dan UU tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR.
Pemilu pertama di era Reformasi ini pun memenangkan PDI-P dengan 35.689.073 suara atau 153 kursi parlemen. Kemudian dilanjutkan dengan pemilu di tahun 2004, 2009, 2014, 2019, dan nanti pada tahun 2024.
Sistem Pemilu di Indonesia Bergerak Maju
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemilu di Indonesia telah bergerak maju. Bahkan pada pemilu di tahun 2004 telah melibatkan rakyat untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presiden yang akan memimpin negara selama lima tahun mendatang. Kemudian disusul dengan sistem yang memungkinkan rakyat memilih wakil rakyatnya sendiri. Artinya rakyat telah memiliki kedaulatannya untuk memilih pemimpinnya sendiri. Kedaulatan tersebutlah yang disuguhkan oleh sistem pemilu proporsional terbuka yang sedang diterapkan Indonesia hari ini.
Sistem proporsional terbuka merupakan sebuah sistem yang memungkinkan pemilih untuk memilih individu yang dicalonkan oleh partai politik, dalam hal ini adalah calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sistem ini mengharuskan calon legislatif bertemu dan bersosialisasi ke pemilihnya, dan rakyat pun dapat mengenal siapa saja calon legislatif yang akan menyuarakan aspirasinya di gedung parlemen.
Sistem ini juga membuka ruang-ruang diskusi secara langsung antara calon legislatif dan pemilih. Meski demikian, sistem pemilu proporsional juga membuka ruang praktik transaksi suara di dalamnya. Bagi calon legislatif yang nihil gagasan, maka jalan pintas ini menjadi cara terbaik bagi mereka—rakyat yang dalam urusan perut belum tuntas pun akan terhanyut dalam praktik ini. Kemudian, apakah sistem pemilu proporsional tertutup lebih baik tinimbang sistem pemilu proporsional terbuka?
Para politisi yang sering lewat di layar kaca maupun di platform youtube kerap kali menyebut sistem pemilu proporsional tertutup dengan “akar jenggot”. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana—karena jamak terjadi dalam sistem ini para calon legislatif lebih mendekatkan diri kepada pemimpin partai untuk memperoleh nomor urut pertama atau kedua. Hal ini penting untuk memperbesar peluang keterpilihan mereka.
Sistem pemilu proporsional tertutup tidak memberikan kedaulatan penuh pada pemilih untuk memilih wakil rakyatnya. Pemilih hanya dipersilakan untuk memilih partai, kemudian untuk memilih siapa yang berhak duduk di kursi parlemen adalah partai politik itu sendiri. Hal ini tentu sama saja dengan rakyat “membeli kucing dalam karung”.
Lantas apakah praktik transaksional tidak ada dalam sistem ini? Tentu jawabannya adalah ada. Transaksi berlangsung antara calon legislatif dengan partainya sendiri. Kalau boleh secara kasar saya menyebutkan lebih baik praktik transaksional melibatkan rakyat, setidak-tidaknya rakyat menerima sedikit dampaknya—tapi bukan berarti saya memaklumi adanya praktik transaksional yang lebih akrab kita sebut dengan istilah “politik uang”.
Menjamin Kedaulatan Rakyat Lewat Sistem Proporsional Terbuka
Hari ini adalah eranya keterbukaan—termasuk di dalamnya keterbukaan dalam memilih wakil rakyat yang akan duduk di kursi parlemen dengan segala kewenangannya. Sudah tidak zamannya dan tidak ada yang perlu ditutupi, apalagi hal tersebut menyangkut kepentingan bersama.
Untuk menyempurnakan sistem yang sudah berjalan, maka sudah tentu itu adalah tugas anak-anak muda seperti saya dan anda. Memberikan edukasi secara massive kepada pemilih terkait dengan pemilu, menjadi mitra kritis pemerintah terhadap segala kebijakan yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat, dan tentu saja memetakan berbagai persoalan yang bisa saja terjadi jelang Pemilu 2024.
Lalu, apa yang sudah saya dan anda lakukan untuk kemajuan demokrasi di Indonesia? Coba sebutkan! [T]
[1] Faishal Hilmy Maulida, Sejarah Pemilu yang Dihilangkan: Pemilihan Umum dalam Kemelut Politik Indonesia Tahun 1950-an (Yogyakarta: Media Pressindo, 2020), hlm. 15.