MENARI, MENARILAH KAU
ada cerita, tentang penari
gadis jelita bertubuh langsat
pantang berkeluh, senantiasa
hembuskan aroma mendebarkan
biar hujan tak lepas peluh
biar ia menetes hingga perut bulanmu
meski malam itu
hanya beralas sekulit nafsu
terpejam ragu di masa nanti
“kapan tarian ini akan sampai?”
tanya itu lagi
sambil memandang denah surga
pada permukaan telaga tubuhmu
TEMBOK BERWARNA PUCAT
malam berwujud bulat
bak kepompong yang siap
melepas kupu-kupunya
di sekelilingku, tembok berwarna pucat
memanjang dengan renda-renda noda
bisa jadi itu percikan doa
yang saban hari aku baca
kepalaku, berbisik pelan
“Masihkah kau mengira jodoh di tangan Tuhan?”
aku menggoyangkan kepala
memandang malam
yang terlampau puitik
“Bukankah Tangan Tuhan yang membuatku
kehilangan segalanya?”
kepalaku, kembali berbisik
lebih pelan
SOROT REDUP LAMPU KAMAR
kita menahan napas,
peganglah, mari nikmati
di bawah selimut ini
bercinta diterangi purnama
merangsek dari jendela yang
sengaja kita buka
ia jadi saksi, aku memilikimu
aku, kau bawa pada
kepulangan sejati
memelukmu melewati ruas-ruas
gundah, yang menyebar pada
sendi-sendi dan darah
meski matamu, menahan
air mata saat kita memulainya
: jalan kecil untuk langkah kecil,
untuk dosa besar
yang telah dihitung degup
jantung kita
kecup aku dengan ketenangan
agar kelak tiada luka menganga
cinta secukup-cukupnya adalah
kerajaan untuk buah-buah
yang kupetik setelah menuntaskan
ranum bibirmu
AKU MENUJU BULAN PURNAMA
dulu, bulan purnama
tampak elok
sinarnya sederhana
sinarnya tenang
semula hanya pungguk
merindukannya
kini, mimpi pun memimpikannya
aku kadang bermimpi dalam mimpi
lalu waktu berdiam
purnama, parasnya tiada lagi sempurna
karena cinta
karena cinta
jalan menuju bulan cahayanya padam
namun ada kelap-kelip ramai di kepala
sebelum aku memulai langkah pertama,
kau melepas perdu di bibirku
PAGI KASTURI, AKU TERBANGUN
di atas tikar rajutan
ada mimpi berserakan
bergulita
haru pilu satu irama
dalam napas pelan kesepian
kecup rindu, dekap kelu
seperti pengakuan, kesetiaan
padanya;
janji perlahan menepi
jala waktu koyak,
bak ditendang kaki badai
rejam, rejam keping itu
adalah: kamu
Tuhan bungkam pada tanyaku
baiklah, ini kali harus kutuai
buah bagianku yang subur
masa lalu
[][][]