BUKU KUMPULAN cerpen “Petarung Jambul” ditulis oleh Gde Artawan. Ia sastrawan yang lahir di Klungkung, 20 Februari 1959. Buku cerpen ini merupakan salah satu jenis karya sastra, di mana karya sastra bisa menjadi tempat penuangan-penuangan gagasan tentang hakikat kehidupan si pengarang, atau pembahasannya tentang kehidupan manusia sehari-hari. Pengarang pun berusaha untuk menuangkan apa yang dirasakan dan dilihat dalam hidupnya.
Terdapat 11 judul dalam buku cerpen ini, yakni “Petarung Jambul” karya Gde Artawan yakni: Mual, Takut, Sedih, Luka, Sepi, Westri, Berkibarlah Benderaku, Petarung Biing Kedas Jambul, Penguburan,Kulkul Tak Berbunyi Di Bale Banjar, dan Selendang Bidadari Dan Sayap – Sayap.
Gde Artawan menceritakan tokoh Aku sebagai tokoh utama laki-laki. “Aku” yang ceroboh dan perlu pengendalian diri agar bisa memposisikan dirinya ke jalan lebih baik. Ini salah satu contoh perenungan diri, atau perenungan terhadap factor eksternal, yang berarti juga sebuah penyadaran diri si pengarang tentang arti pembelajaran pengendalian diri agar bisa terlepas dari kecerobohan maupun hal-hal yang buruk.
Dari 11 judul, dapatlah pembaca memahami isi cerita “Petarung Jambul”, seperti nilai-nilai apa saja yang tertuang dalam cerita-cerita itu, sehingga harus menganalisisnya dengan sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan suatu jenis pendekatan terhadap sastra yang memiliki paradigma yang memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya. Atau hubungan dengan masyarakat sebagai pembaca, pencipta, dan sebagai obyek terhadap suatu karya sastra. Pembaca harus dapat juga memahami isi dan tujuan dari cerpen ini.
Cerpen yang berjudul “Sedih” dan “Sepi” memiliki isi dan tujuan yang sama. Dimana si pengarang (tokoh aku) sebagai tokoh aku laki-laki memiliki rasa kehilangan yang sungguh mendalam. Dapat digambarkan pada cerpen ini bahwa di suatu sore hari Minggu bulan Desember langit mendung,angin sepoi-sepoi basah, hujan rintik-rintik turun, membasahi daun-daun pepohonan serta membasahi atap-atap rumah penduduk.
Walaupun hujan tidak begitu deras tetapi tokoh aku enggan untuk bangkit dari tempat duduk karena pikiran dan perasaan melayang-layang ke mana-mana lantaran ada sesuatu yang tidak dapat dilupakan. Seolah-olah ada yang hilang. Sehingga sulit untuk konsentrasi pikiran selalu melayang layang kesana-kemari.
Tokoh aku yang didera rasa sedih lantaran BJ anjing kesayangannya mati ditabrak mobil. Maka tokoh aku merasa sedih yang mendalam karena tidak ada yang menemani dan tidak ada teman yang mendengarkan keluh-kesahnya dan tidak ada yang menemani di saat tokoh aku merasa kesepian atau menyendiri. BJ sebagai anjingnya tulus sekali jika mendengarkan keluh kesah tanpa banyak tanya tanpa pretensi apapun. Selanjutnya tokoh aku juga merasa kesedihan karena rumahnya tergenang air.
Perihal tokoh BJ sebagai anjing memiliki rasa setia kepada majikannya tidak hanya di dalam cerpen saja, tetapi terdapat di kehidupan lingkungan sosial yang dapat ditemui. Seperti misalnya saya sebagai pemerhati cerpen ini, banyak di kalangan masyarakat yang memelihara dan menyayangi anjing sebagai binatang kesayangannya seperti judul cerpen “Sedih” ini dimana tokoh aku, tokoh utama laki-laki memelihara anjing, karena binantang kesayangannya dan memperlakukan binatang tersebut dengan manusiawi.
Artinya manusia atau majikannya tidak boleh melakukan perbuatan keji atau menyiksa hewan tersebut. Karena anjing juga makhluk hidup yang membutuhkan teman dan kasih sayang. Maka dari itu, pasti anjing merasa disayang majikannya. Di situlah anjing akan memiliki sikap penghibur, rasa kesetiakawanan yang tinggi terhadap majikannya atau manusia.
Hubungan komunikasi dan kedekatan antara manusia dengan binatang terdapat dalam cerpen ini sebuah gambaran tentang kondisi masyarakat yang ada di dalamnya, bisa terlihat dari kutipan berikut:
“Aku terlalu bodoh dan teramat biadab karena tidak menempatkan cinta dan pengabdian seorang yang tulus kepadaku.”
“Bola mata BJ seakan bergerak liar semacam kearifan luar biasa direfleksikan BJ sebagai respon penuturanku.”
Suasana di atas menggambarkan rasa sedih dan sesak dada. Walaupun anjingnya BJ telah tiada namun dapat terlihat tokoh aku selalu meningat anjingnya itu. Dikala itu memang sudah menjadi takdirnya dan tidak bisa menghindar dari kesedihannya.
Selain itu, di satu sisi rumah Pak Gde Suara disebutkan sebagai tokoh aku juga merasakan kesedihan begitu di suatu pagi yang masih remang-remang terdengar hirup pikuk di depan rumah kontrakannya tokoh aku terkejut para tetangga bergerombol di depan rumah. “Begitu pagar rumah dibuka gerombolan tetangga berhamburan masuk halaman rumahku, spontan mereka berusaha melakukan berbagai upaya agar air yang tergenang bisa keluar dari rumah kontrakanku salah satu membuat saluran air darurat”.
Sebagai gambaran terdapat di kutipan berikut:
“Barangkali ada pipa saluran air yang bocor, Pak Suara.?”
“Ya,mungkin bocor pipanya” yang lain menimpali.
“Pipa air sekarang memang gampang bocor biar kita terus beli, dasar.!”
“Keuangan negara saja sering bocor,apalagi pipa.”
Dapat digambarkan bahwa Pak Gde Suara berwatak agak egois rumahnya yang tergenang banjir tetapi tetangga-tetangganya tidak juga menemukan sumber kebocoran itu. Tetangga pun yang terus mencari sumber kebocoran, mungkin pipa yang tertanam. Tetapi pada akhirnya, Pak Gde Suara menyudahkan tetangga-tetangga yang ada di rumahnya untuk pulang karena ia pun akan memperbaikinya dan tidak lupa Pak Gde Suara mengucapkan terima kasih kepada tetangganya.
Di sana para tetangga akhirnya merasa puas oleh Pak Gde Suara. Dengan peristiwa ini masyarakat di sekitar tokoh aku tinggal, mempunyai rasa kebersamaan, rasa gotong royong, rasa empati yang sangat tinggi, dan rasa memiliki, toleransi yang sangat tebal.
“Sepi” yang mengisahkan tokoh yang sama seperti judul cerpen “Sedih” yaitu Gde Suara yang mempunyai seorang istri bernama Leny. Masing-masing ditemukan sebuah gambaran prilaku tokoh yang memiliki pendapat yang berbeda. Pilihan yang sangat dilematis karena tokoh Gde Suara sangat menyayangi dan mencintai binatang peliharaannya seperti burung, ikan, anjing yang disuruh oleh istrinya Leny untuk melepaskan semua binatang kesayangannya ke habitatnya masing-masing. Di satu sisi juga mencintai Leny sebagai istrinya. Maka dari itu, dari hari ke hari pengarang menceritakan tokoh Gde Suara mencoba melupakan semua binatang peliharaannya yang telah dilepaskan ke habitatnya dengan melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan yang positif tetapi rasa kehilangan sangat terasa dalam dadanya. Terdapat di dalam kutipan:
“Aku tak akan kembali ke rumah jika Bli masih memelihara hewan-hewan itu.” Sesegukan Leny sang istri menyatakan itu ketika Gde Suara menemuinya di Sudaji.
“Bli mengurungnya karena Bli menyayanginya; tidak menyiksanya dan mereka diperlakukan dengan penuh kasih sayang.”
“Bli sayang hewan atau sayang pada kemungkinan kita punya anak?”
“Duh! Mengapa keinginan punya anak harus dipertentangkan dengan memelihara hewan.” Hal yang dilematis menggempur dan menguncang hati Gde Suara.
“Keduanya.” Gde Suara mencoba menentukan pilihan dengan suara lirih.
“Tidak bisa, Bli. Pilih salah satu”Leny masuk kamar dan mengunci kamar dari dalam.
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa Leny yang ngambek pulang ke rumahnya di Sudaji karena tingkah suaminya Gde Suara yang masih dilema untuk melepaskan binatangnya karena permintaan sang istri ingin mempunyai anak. Maka siapa pun yang berada di posisi Gde Suara akan kebingungan untuk memilih. Di saat terdapat dua pilihan tetapi sangat sulit untuk memilihnya. Di satu sisi kedua-duanya sangat disayangi dan di satu sisinya juga harus bisa merelakan salah satunya. Membuat diri maupun pikiran menjadi kurangnya pengendalian diri. Dalam respon masyarakat yang ditimbulkan oleh sikap Gde Suara dapat menjadi kesimpulan bahwa atas keadaan yang mendesak diantara memilih atau merelakan itu bisa saja terjadi di kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang cenderung dilema.
Adapun juga di dalam cerpen ini berkaitan dengan budaya masyarakat yaitu berjudul “Westri” dan “Petarung Biing Kedas Jambul”. Dimana tokoh Westri yang berperan utama sebagai penari joged. Tarian joged merupakan salah satu tarian yang termasuk seni budaya. Selain itu, pengarang menjelaskan tokoh Made Chandra, tarian yang ditampilkan oleh Westri oleh kalangan masyarakat menyimpang dari pakem joged bumbung. Kondisi masyarakat yang berkaitan dengan penampilan joged bumbung yang menarikan dengan tarian yang sangat erotis dan porno.
Di sini masyarakat cendrung agar bisa memperlihatkan budaya tarian joged ini dibilang sangat elok memposisikan tarian joged sesuai dengan pakemnya bukan goyangannya yang hot terkesan porno. Jadi,agar tidak menjadi perbincangan hangat oleh masyarakat luar. Kadang-kadang masyarakat juga cenderung mencari kesalahan-kesalahan pengibingnya yang porno padahal akibat penari joged menari tidak sesuai pakemnya.Kurangnya rasa simpatik, menimbulnya keresahan, melanggar norma – norma di masyarakat.
“Petarung Biing Kedas Jambul” cerpen ini pengarang mencoba untuk menjelaskan bagaimana tokoh Bosor yang dikenal sebagai tokoh tajen. Karena bisa melaksanakan tajen secara aman dengan beralasan tabuh rah. Si pengarang pun menceritakan bahwa tokoh Bosor terkenal sebagai pekembar ulung dan bagaimana cara mengadu ayam. Sering melihat di dalam masyarakat apabila ada upacara di pura-pura dan di rumah-rumah dengan alasan tabuh rah tetapi kenyataannya diselenggarakan sambungan ayam. Si pengarang juga memperkenalkan budaya Bali di setiap desa bahwa adanya tajen.
Kelebihan cerpen “Petarung Jambul” karya Gde Artawanialah kumpulan cerpen yang sangat bagus dan menarik untuk dibaca. Selain itu cerpen ini sangat famous atau terkenal di kalangan masyarakat, mahasiswa. Cerpen ini juga bisa menginspirasi masyarakat luar Bali yang tidak tahu budaya tarian joged dan tajen agar bisa lebih tahu. Kebahasaannya menggunakan bahasa sehari – hari dan tidak baku. Dari semua judul, menggambarkan perlu adanya pengendalian diri dan tidak boleh ceroboh dalam hal apapun.
Selain itu, ada juga beberapa kelemahan cerpen ini yaitu adanya tulisan-tulisan bahasa Bali alus seperti tabuh rah ,tajen dll yang sulit dimengerti oleh pembaca dan tidak adanya garis bawah arti di dalam Bahasa Indonesia. Pastinya yang membaca cerpen masyarakat luar Bali menjadi kurang paham dan kebingungan.
Dari semua cerita-cerita cerpen di atas banyak yang dapat kita ambil nilai yang terkandung di dalamnya salah satunya nilai seni budaya, dan nilai sosial agar dapat mengetahui tradisi budaya Bali dan menjalin hubungan sesama makhluk hidup yaitu menjunjung kesetiakawanan dan kita perlu bergotong royong sesama manusia. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.
Setiap makhluk hidup baik anjing, burung, ikan dan manusia saling ketergantungan satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh bertindak diluar aturan misalnya ceroboh, egois atau mementingkan diri sendiri, dan bertindak sewenang-wenangnya. Meskipun setiap langkah atau perbuatan itu kita harus mampu mengontrol diri agar perbuatan kita tidak merugikan orang lain.
“Pikirlah dulu sebelum berbuat,karena pikiran itu sebagai pelita hati” [T]