SEBAGAI manusia Indonesia, ingatan kita akan sejarah bangsa ini telah dipecah-belah, dikotak-kotakkan, dan dijauhkan dari pelaku sejarah yang dalam hal ini adalah masyarakat kita sendiri. Dengan dalih objektivitas, sejarah yang dikonstruksi bangsa ini ditulis oleh para pemenang (baca: negara).
Yang terjadi, ingatan-ingatan masyarakat kita bersifat terlalu akademistik. Seakan produksi sejarah yang memiliki muatan subjektif, tak mendapatkan tempat dalam konstruksi yang dibangun oleh para pemenang itu. Adapun jika mendapatkan tempat, maka mereka menyebutnya sebagai sejarah alternatif. Sejarah yang tak ditulis di menara gading ingatan bangsa Indonesia.
Contohnya adalah kita mengenal Munir sebagai aktivis hak asasi manusia dengan keberaniannya menangani berbagai macam kasus pelanggaran dan kekerasan HAM berat di Indonesia, kasus-kasus seperti: pembantaian Talang Sari 1989, penghilangan paksa dan penculikan aktivis 1998, penembakan Tragedi Semanggi 1998, referendrum Timor Timur, dan masih banyak lagi kasus-kasus HAM yang dikawal oleh Munir.
Tentu, kita tidak akan menemukan nama Munir Said Thalib, beserta sederet kasus-kasus HAM berat dalam sejarah bangsa ini di bangku sekolah. Banyak terjadi pemburaman sejarah yang gencar dilakukan sejak dini, dan menekan generasi agar tercerabut dari tradisi sejarah yang diproduksi oleh masyarakat.
Munir dari kacamata Suciwati
Dengan menghadirkan ingatan yang paling intim tentang Munir, dan sebagai usaha untuk memberikan sejarah yang berupa fakta sosial, Titimangsa menggelar pertunjukan monolog yang bertajuk “Aku, Istri Munir”.
Pertunjukan ini memberikan penawaran sejarah tentang Munir Said Thalib, melalui kacamata Suciwati yang diperankan oleh Happy Salma, sebuah usaha untuk menciptakan sosok Munir yang dekat dan humanis. Yang rapuh sekaligus kuat; sebagai aktivis HAM dan seorang suami juga bapak.
Sumber foto: Instagram @infotitimangsa
Monolog yang berdurasi sekitar tiga puluh menit itu, pertama kali dipentaskan secara daring pada tanggal 10 Oktober 2020. Naskah pertunjukan ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma yang dalam prolog Marhsa Timoty, semula naskah itu dikhususkan dalam acara peringatan 11 tahun Munir (tahun 2015).
Kini, sudah 18 tahun sejak kematian Munir dan hingga saat masih belum menunjukan titik terang atas keadilan kasus ini. Dalam momentum hari HAM sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember, Titimangsa kembali menampilkan pertunjukan monolog itu melalui akun YouTube mereka.
Di awal pertunjukan, dalam keadaan lampu yang remang, penonton dapat melihat dengan samar bagaimana Suciwati tengah duduk merenungi sesuatu, mungkin penyesalan, mungkin pula perasaan berat melepaskan. Ketermenungan itu didukung dengan latar bunyi yang liris dari biola dan piano. Sebelum pada akhirnya Suciwati memecah ketermenungan itu, dengan monolog pertanyaan tentang burung malam yang masih terdengar suaranya.
Penonton kini dapat melihat Suciwati dengan lebih jelas, ia mengenakan jaket dan baju abu-abu dengan rambut pendeknya. Di belakang ia, terdapat sebuah rak dengan foto Munir, foto Alif dan Diva, anak-anak mereka. Serta beberapa buku yang tersusun rapih. Suciwati mengalusikan peristiwa para pembunuh Munir selaku burung malam yang memangsa ia dan keluarganya sebagai korban buruan.
Setelah selesai bergumam, keresahan Suciwati tampak menghilang. Ia bernostalgia dengan bahagia, di saat dahulu mereka bertemu di Lembaga Bantuan Hukum, di kota Malang. Suciwati dan Munir sama-sama menjadi aktivis HAM yang tengah mengadvokasi masyarakat.
Mereka berdua seakan tak dapat menolak takdir untuk menikah. Meski ketakutan tetap berdasar pada hati mereka, apa yang dapat terjadi ketika dua aktivis HAM tinggal dalam satu rumah tangga yang sama?
Namun, cintalah yang menguatkan mereka berdua, bertambah tegar dengan hadirnya Alif dan Diva, anak-anak mereka. Sepanjang pertunjukan ini, Suciwati menarik-ulur ingatan personalnya akan peristiwa sebelum dan sesudah terbunuhnya Munir, bagaimana ia begitu gigih memperjuangkan dan membela hak-hak asasi manusia, betapa tubuhnya menjadi ringkih dan letih sehabis bekerja, tetapi tetap pulang ke rumah sebagai seorang suami dan bapak yang hangat bagi keluarga.
Di dalam hati Suciwati, ia telah memberikan ruang untuk Munir; ruang untuk terus mengingat kenangan-kenangan indah saat mereka bersama, dan ruang di mana Suciwati dapat mengomeli Munir selayaknya seorang istri kepada suaminya.
Sososk Munir tak hanya menjadi sebatas inspirasi, simbol dan lambang perjuangan hak asasi manusia di Indonesia, yang terwujud melalui lagu, mural, buku hingga pertunjukan teater. Munir telah tumbuh menjadi ingatan kolektif bangsa Indonesia, ia menjadi pemersatu lingkaran yang berlipat ganda untuk terus melawan ketidakadilan hak asasi manusia di negeri ini.
Di titik inilah teater, di samping sebagai seni pertunjukan, ia menjadi medium pembentuk ingatan kolektif bangsa itu. Yang terus menggugat arus deras sejarah utama, dengan hal yang tak dimiliki oleh negara: ingatan dari sebuah keluarga yang berjalin menjadi ingatan kolektif bangsa. [T]
13 Desember, Yogyakarta, 2022