GAJAH MATI meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Itu pribahasa klise. Begitu sering diucapkan orang. Namun orang percaya peribahasa itu ampuh untuk mengingatkan manusia agar meninggalkan kesan yang baik setelah kematian menimpa.
Itu berlaku untuk semua manusia. Yang dikenang setelah manuisa tiada, hanya nama. Nama itulah yang menjadi sampul dari perilaku manuisa, semasa hidup, baik dan buruknya.
Begitu pula profesi yang digeluti manusia selama hidup. Setelah nama diingat, maka akan muncul ingatan tentang profesi manusia itu. Namun tak jarang, ketika manusia masih aktif dalam profesi itu, ia tidak memiliki nama besar. Namun ketika sudah mati, baru namanya dikenang dan nama itu menjadi besar.
Seniman, salah satunya. Menjadi seniman memang cukup sulit untuk membesarkan nama. Banyak seniman lukis yang namanya melambung tinggi ketika sudah mati dan meninggalkan karya-karyanya. Di saat itulah karya-karyanya diburu dan ditawar dengan harga yang tinggi oleh kolektor dan penikmat seni.
Apalagi ketika mengetahui proses pembuatan sebuah karya itu selama hidup sang seniman, dan pesan yang ingin disampaikannya dalam karya itu.
Disaat sang seniman telah tiada, kenapa kemudian muncul banyak orang yang ingin menggali hasil karya yang ditinggalkan? Kenapa tidak semasih hidupnya ditanya-tanya konsepnya, dilihat prosesnya, kemudian tawar karyanya dengan harga yang tinggi?
Jika mendapat perhatian semasa hidupnya, mungkin sang seniman dapat merasakan hasil dari ide yang dituangkan dalam karya itu.Namun, perhatian terhadap karya kadang memang tak terduga.
Banyak seniman besar dengan sejarah kelam di masa lalu membuat nama dan karyanya melambung ketika sang seniman sudah meninggal dunia. Nama Van Gogh, pelukis terkenal asal Belanda yang membuat 900 lukisan dalam 10 tahun juga memiliki cerita hidup yang kelam. Dari semua karyanya ini hanya terjual 1 lukisan saja selama hidupnya.
Van Gogh mengalami depresi dan memotong telinganya serta mengabadikannya dalam sebuah karya lukisan kemudian mati bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. Namun kini, namanya melambung dan karyanya diburu kolektor dan bahkan didirikan sebuah museum untuk menyimpan karya-karyanya dan mengenang kisah hidupnya.
Hasil karya satu lukisan mencapai harga triliunan rupiah. Dan bahkan pistol yang digunakan untuk bunuh diri pun memiliki harga yang tinggi dan kini dimuseumkan.
Ada banyak seniman lukis yang terkenal ketika sudah meninggal dan karyanya melambung tinggi karena perjalanan hidupnya yang kelam. Seperti Johannes Varmeer dari belanda, Henry David Thoreau dan masih banyak lagi.
Dapat dibayangkan, bagaimana jerih payah mereka berkarya, menghasilkan karya-karya dari ide yang muncul, namun semua itu dihargai setelah mereka tiada. Aplagi kemudian banyak cerita menarik muncul dan digali untuk menaikkan nama seniman dan harga karya di pasaran. Istilahnya “digoreng” untuk suatu kepentingan, kalau tidak ada yang bisa “digoreng”, tetap tidak dilirik oleh kolektor dan penikmat seni.
Miris memang jalan hidup seorang seniman, profesi yang cukup sulit mendapatkan nama di tengah persaingan yang semakin ketat. Bahkan muncul teknologi seakan menambah saingan untuk seniman.
Dulu, seniman kecil bisa menjual karya sket wajah yang dibuat dengan pensil, kini muncul aplikasi yang mengubah foto menjadi gambar sket wajah dengan cepat. Seakan seniman sudah tidak ada tempat lagi untuk mengais rejeki.
Namun masih banyak pula seniman yang tetap berhasil dan suskses menggeluti profesinya. Iabisa bersaing dengan canggihnya teknologi. Karena teknik dan konsep yang dituangkan ke dalam sebuah karya tetap berbeda dan menarik. Tentu dengan usaha yang tak ringan dan membutuhkan kerja keras.
Jadi, tetap cintai profesimu, apapun itu. Ketika dikerjakan dengan hati, maka akan menghasilkan karya yang mengharumkan namamu. Entah sekarang, atau nanti setelah mati. [T]