PUTU WIJAYA, sastrawan dan dramawan besar Indonesia. Ia bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir 11 April 1944 di Puri Anom, Tabanan, Bali. Meski lahir di Bali, ia besar dengan karya-karya besarnya ketika berada di luar Bali.
Yang menarik, ketika berada di Bali, ia tak tertarik dengan tardisi Bali. Barangkali karena ia hidup terlalu dekat dengan tradisi leluhurnya itu. Justru ketika di luar Bali, tradisi itu hidup dalam karya-karya.
“Sewaktu tinggal di Bali hingga bangku SMA, saya kurang tertarik pada tradisi karena mungkin terlalu dekat hal biasa,” kata Putu Wjaya suatu kali.
Beda ketika ia berada jauh dari tanah kelahiranya, justru tanpa disadari nilai-nilai tradisi tumbuh subur di bawah alam sadarnya sehingga menjadi spirit penting dalam karya-karyanya.
“Setelah jauh, berada di Yogya, Jakarta, AS, Jepang Biograd, justru kearifan lokal Bali seperti desa kala patra, ana tan ana, puyung maisi, rwa bhineda, menyeruak dari bawah sadar saya dan melumuri seluruh karya tulis maupun tontonan teater, film, sinetron karya saya sampai sekarang,” ujar Putu Wijaya, putra dari I Gusti Ngurah Raka ini.
Putu Wijaya mengakui, dulu ia menelusuri tradisi Bali dari sudut kasat mata sehingga yang terurai adalah penampakannya atau tampilannya.
“Kini lewat jiwa kearifan lokal Bali serta reinterprerasi, reposisi dan revitalisasinya, saya menemukan nilai-nilai universal. yang bisa difungsikan untuk converter desa kala patra agar segala sesuatu tetap bisa aktual,” ujar Putu.
Banyak karya-karya tulis berupa cerpen, novel maupun naskah drama dengan mengandung spitir Bali, di antaranya, karya berjudul ‘Bila Malam Bertambah Malam’, ‘Tiba Tiba Malam’, ‘Aus’, ‘Putri’, ‘Jprut’, ‘Goro Goro’, dan ‘Lautan Bernyanyi.
“Belum ada karya saya yang paling berkesan,” katanya.
Karena itulah, ia mengaku tmasih terus penasaran menulis. Dalam kesehariannya hidup bersama istri, Dewi Pramunawati, dan anaknya I Gusti Ngurah Taksu Wijaya, ia terus menulis, hingga kini.
Hingga kini Putu Wijaya dikenal sebagai penulis sastra, penulis drama, sutradara dan produser film. Meski jauh dari kampung halamannya, Putu Wijaya begitu dekat dengan Bali dan senantiasa berpikir terus untuk menulis tentang Bali, bahkan sampai detik ini belum ada yang dirasakan puas untuk menulis soal Bali.
Putu Wijaya memiliki motto kerja, dalam setiap langkah dalam menentukan tema, karya, tulisan yang dituangkan menjadi sebuah garapan, tontonan dan sebagainya. “ Motto kerja saya: BERTOLAK DARI YANG ADA, pun rohnya muncul dari upaya mereinterpretasi kearifan lokal Bali,” tandasnya.
Mengenal kiprah sang sautradara tenar ini, dalam menulis novel, drama dan kolom untuk Bali selama 20 tahun, rutin dilakukan di salah satu media Tokoh (Kelompok Media Bali Post).
Sedangkan tingkat nasional, dramawan kondang ini banyak menulis cerpen, novel, drama, kolom, kritik, scenario, teater , workshop dan film. Sedangkan di tingkat internasional, ada penulisan lakon, cerpen, dan novel yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Bahasa Perancis, Bahasa Arab, Bahasa Jepang, Bahasa Rusia dan Bahasa Belanda.
Putu Wijaya juga sangat dekat dengan dunia kewartawanan, di awal karier Putu Wijaya mengasuh beberapa media besar di Jakarta. Yakni bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah memimpin majalah Ekspres (karena majalah itu mati), ia bekerja sebagai redaktur majalah Tempo. Pada saat itulah Putu Wijaya mendapat dukungan dari beberapa temannya di Tempo untuk mendirikan sebuah teater. Akhirnya, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri.
Kepeloporan dan kontribusi yang kental dilakukan Putu Wijaya baik di tingkat lokal maupun nasional bahkan internasional diantaranya, re-interprestasi terhadap kearifan lokal/tradisi Bali, sedangkan tingkat nasional menemukan konsep kerja “Bertolak dari yang Ada”, menciptakan karya-karya terror mental mengungkap lahirnya tradisi baru. Putu tuangkan baik dalam cerpen, novel, drama, essay dan penulisan scenario maupun sinetron.
Sebagai novelis, cerpenis, dramawan, dan wartawan, dari namanya ini dapat diketahui bahwa ia berasal dari keturunan bangsawan. Putu Wijaya menamatkan sekolah rakyat hingga sekolah menengah atas di Bali, sedangkan melanjutkan perkuliahan di studi di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada dan mendapat gelar sarjana hukum tanggal 28 Juni 1969.
Di samping berkuliah di Fakultas Hukum, Putu juga belajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) selama satu tahun, yaitu tahun 1964. Dalam kehidupan sehari-hari Putu Wijaya tidak pernah memakai gelar “sarjana hukumnya”. Tahun 1968 ia ikut bermain di Bengkel Teater Rendra dan sempat mementaskan “Bip-Bop” dan “Pozzo” dalam drama Menunggu Godot di Jakarta tahun 1969.
Sejak tahun 1959 Putu Wijaya bermain drama dengan Kelompok Sanggar Bambu. Di sanggar itu, ia menyutradarai pementasan Lautan Bernyanyi tahun 1968. Setelah pindah ke Jakarta, Putu Wijaya bergabung dengan kelompok Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer.
Dia juga menggabungkan diri dengan kelompok Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Dia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman. Tahun 1973 Putu Wijaya mendapat beasiswa untuk belajar drama di Jepang selama satu tahun. Dalam mengikuti pelajaran itu, ia ikut hidup dengan kelompok masyarakat komunal di Ittoen, Jepang.
Di sana Putu Wijaya hidup sebagai petani. Putu juga menyertai kelompok itu untuk berkeliling dalam usaha memberikan pertunjukan “sandiwara rakyat keliling” yang bernama “Swaraji”. Dia hanya sanggup memanfaatkan beasiswa itu selama tujuh bulan, lalu kembali ke Indonesia dan aktif kembali sebagai staf redaksi majalah Tempo.
Tahun 1974 Putu Wijaya mendapat kesempatan untuk mengikuti lokakarya penulisan kreatif di Iowa City, Amerika Serikat. Kegiatan itu bernama International Writing Program yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Iowa. Setelah pulang ke Indonesia tahun 1975, ia mendapat kesempatan untuk bermain drama dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, sebelah timur kota Paris, Prancis. Tahun 1985 Putu Wijaya mengikuti kegiatan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman.
Dalam berkarier Putu Wijaya terkenal sebagai penulis naskah drama. Dari tangannya telah muncul beberapa naskah drama modern yang beraliran arus kesadaran. Naskah drama yang ditulisnya tidak sama dengan naskah drama konvensional. Di samping itu, Putu Wijaya juga menulis beberapa novel yang beraliran baru. Novel-novelnya juga bercorak “arus kesadaran”, “absurd”, seperti juga corak-corak novel Iwan Simatupang.
Novel bercorak kejiwaan dan filsafat merupakan ciri tulisan Putu Wijaya. Putu Wijaya juga menulis cerita pendek. Sejumlah cerita pendeknya muncul, baik yang berupa buku maupun yang terbit di berbagai majalah dan surat kabar. Sama seperti drama dan novelnya, cerita pendek Putu Wijaya juga bercorak baru, beraliran kesadaran baru, dan mengungkapkan banyak stream of consciousness.
Banyak kritikus dan pengamat sastra yang memberikan kritik dan komentar terhadap Putu Wijaya. A. Teeuw menyatakan bahwa Putu Wijaya adalah orang yang sangat energetik dan serbabisa. Dia bukan hanya wartawan dan anggota tetap staf redaksi majalah Tempo, melainkan juga sutradara dan penulis drama. Unsur keterasingan (sebagai ciri khas manusia modern) makin jelas dalam novel-novelnya. Di sinilah ia menunjukkan bakatnya sebagai novelis sepenuh-penuhnya.
Putu Wijaya mendapat beberapa penghargaan dan hadiah atas karya-karyanya. Tahun 1967 naskah Putu Wijaya “Lautan Bernyanyi” mendapat hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon. Tahun 1980 ia memperoleh Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand atas karyanya Telegram dan tahun 2008 ia menerima Penghargaan Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki.
Atas pengabdian, kegigihan dan keteguhan I Gusti Ngurah Putu Wijaya, dalam membina, melestarikan, dan mengembangkan seni sastra/ drama tanpa mengenal lelah dan putus asa , Pemerintah Provinsi Bali mengapresiasi dengan memberikan penghargaan Bali Jani Nugraha tahun 2022. [T][Ole/*]