Hari ini, 25 November, adalah momen bahagia para guru. Sebenarnya peringatan PGRI, organisasi guru tertua dan terbesar di Indonesia. Organisasi ini lahir untuk menjalankan amanat UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejak media sosial semarak, perayaan Hari Guru lebih beragam. Tak cuma upacara, apel di halaman sekolah, sepotong ode “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang mendayu; tetapi dari siswa datang persembahan buket bunga segar, beberapa potongan cokelat, kue ulang tahun, dan puisi.
I Putu Gede Geo Anugerah adalah salah seorang dari jutaan siswa di Indonesia yang menyiapkan tiga potong silver queen dan ia merangkai kata jadi persembahan kepada gurunya, “Puisi untuk Bu Sukma”.
Pada hari ini, secara khusus Geo mengekspresikan rasa hormat kepada gurunya. Lantas, media sosial pasti luber oleh perayaan dan ucapan “tribute to guru”. Wajah-wajah jemawa memenuhi layar HP. Di sana ada kebahagiaan yang mendalam dan juga ruang bagi para guru untuk merenung.
Geo tidak tahu, apakah guru-gurunya sayang pada dirinya? Atau mereka mengajar karena tugas dan honor atau gaji dari yayasan sekolah.
Tapi Geo tahu, salah seorang gurunya galak. Geo sering mengalami kalau gurunya bicara terlalu cepat. Gurunya yang satu ini tidak pernah peduli. Ia mengajar dengan bahasa orang dewasa. Dikiranya Geo sebaya diri gurunya.
Padahal Geo masih butuh dongeng. Tapi tak banyak yang Geo bisa lakukan. Guru ini rupanya berprinsip “The show mast be go on”. Materi habis lebih penting ketimbang Geo paham dan bisa sedikit bicara dalam pelajaran bahasa Inggris.
Begitupun guru lain di sekolahnya, yang mengajar bahasa Bali. Geo dibuat bingung. Kok belajar bahasa Bali bagi Geo jadi pelajaran bahasa asing. Geo diceramahi dengan teori-teori linguistik. Geo sebenarnya ingin dalam pelajaran bahasa Bali bisa berbahasa Bali.
Geo ingin dongeng-dongeng indah yang dituturkan Ni Diah Tantri dalam Canda Pinggala atau Tanri Kamndaka. Bagi Geo, pelajaran bahasa Bali ini aneh. Guru bahasa Balinya tidak memberinya satua, permainan rakyat, atau gending rare. Sebaliknya Geo jadi bingung, kok diminta menghafal bahasa kasar dan bahasa alus.
Tapi di kelas gurunya hanya cermah teori bahasa, misalnya tentang berapa jumlah konsonan dan vokal dalam sistem abjad atau alfabet Bali. Gurunya juga berteori mengenai jenis-jenis kata. Tapi Geo tak pernah dilatih untuk menggunakan kata-kata itu. Geo juga tidak pernah dapat pengalaman yang penuh petualangan betapa asiknya metode nulis aksara Bali bagi pemula. Bagi Geo, semuanya formal!
Namun demikian, pada Hari Guru ini, I Putu Gede Geo Anugerah, harus melupakan pengalaman buruknya jadi siswa dalam pelajaran. Geo harus tersenyum dan mempersembahkan rasa hormat terbesarnya kepada semua gurunya di sekolah. Tanpa kecuali; termasuk juga guru agamanya dan guru-gurunya yang galak atau biacara bahasa Inggris yang sulit diikutinya.
Tentu masih ada cerita lain dalam pelajaran agama.
Dalam pelajaran agama, Geo dijejali dengan hafalan filsafat Hindu dan nama dewa-dewa yang diimpor. Epos India yang diajarkan di kelas sama sekali tidak menggunakan bahasa dan dunia anak-anak SD. Epos mestinya dicerna dengan riang dan menarik dalam aneka rupa cerita-cerita bikinan guru agama. Eh, malah jadi teori sastra. Geo harus menyebutkan sifat-sifat buruk Rahwana, misalnya.
Atau pada hari lain, Geo harus menyebutkan silsialah keluarga Rama Dewa. Sementara itu di rumah, Geo menikmati film Herry Potter atau YouTube dongeng-dongeng Nusantara dan Dunia. Terkadang baca buku puisi di perpustakaan bapaknya. Di sini ia tak perlu menghafal dan memojokkan tokoh tokoh cerita mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi hitam dan putih! Belajar sastra dalam pelajaran agama bagi Geo hanyalah teori dan hafalan. Tapi Geo tak dapat tahu, mengapa itu terjadi.
Dalam pelajaran matematika, Geo juga sakit hati. Tapi Geo cuek. Tidak memasalahkan perasaan ini. Geo tidak tahu, untuk apa belajar matematika. Gurunya tidak pernah menjelaskan aspek aksiologisnya. Geo juga tidak mendapat bimbingan dari gurunya.
Pelajaran-pelajaran yang diterima Geo sama sekali tak memberi dirinya kemerdekaan belajar. Guru masih jadi pusat. Tapi Geo tak tahu kalau guru-gurunya adalah bemper baja perubahan dan inovasi pendidikan. Namun apapun itu, Geo hanya harus mempersembahkan dua potong silver queen-nya kepada guru-guru di sekolahnya hari ini. Mereka terlalu jemawa untuk bahagia dan merasa terhormat. Tapi, bagi Geo mungkin, masih ada banyak hal yang diabaikan. Hal-hal kecil, tapi sarat makna dan penting bagi Geo!
Geo tetap saja menerima gaya mengajar dengan pendekatan berpusat pada guru. Ia belum sepenuhnya merdeka karena masih menjadi objek. Guru-gurunya tetap sibuk pada perkara instruksional. Tapi Geo tak paham karena ia siswa belaka. Guru-gurunya mengira bahwa inovasi pembelajaran hanya soal metode. Sejatinya tidak. Inovasi menyangkut banyak hal dan harusnya holistik bukan parsial.
Lantas apa yang bisa disumbangkan atau dibentuk oleh guru-guru; ketika Geo masih harus ikut les di kelompok-kelompok privat yang diselenggarakan oleh gurunya sendiri? Geo masih harus bikin PR di rumah. Kok sepertinya guru-guru Geo hanya bisa kasi tugas tanpa harus membimbing agar dapat melakukan sesuatu sendiri.
Geo sebenarnya ingin sekali minta bimbingan khusus di kelas. Tapi guru-gurunya tak pernah ada waktu. Yang jadi target hanya materi cepat habis. Ini target guru! Tapi penguasaan esensial Geo, bisa dipastikan diabaikan.
Geo memang menikmati pendidikan yang tidak mengasikkan. Namun di rumah ia melakukan banyak hal untuk pengembangan dirinya sesuai dengan dunia anak-anaknya. Ia melukis di kanvas dengan cat poster. Ia menggunakan arang sisa bakar ikan untuk menggabar “grafity” di tembok kamar mandinya.
Ia membeli aneka ikan cupang dan “beternak” dengan mengikuti video-video pemijahan di YouTube. Geo memelihara ibu anjing (Lisa) dan seekor anaknya (Niko). Geo juga pelihara ayam. Tidak lupa Geo menikmati tiktok atau anime Jepang. Sampai-sampai membeli kostumnya. Di samping itu, sekali waktu juga diajak bapaknya ke kebun kopinya di kaki Gunung Batukaru. Ia menemukan beberapa jenis jamur liar atau sehelai bulu yang lepas dari sayap ketengkek atau tengkek (king fisher atau raja udang), yang berwarna biru toska.
Tentu pengalaman di rumah beda jurngkir balik dengan di sekolah. Setiap pagi tasnya penuh buku harus digendong naik tangga sekolahnya di lantai dua. Kenapa tidak ada rak di sekolah dan siswa aman menyimpan barang-barangnya di kelas?
Geo datang selalu pagi ketika petugas sekolah dan apalagi guru belum tiba. Tak sekalipun Geo disambut dan disapa gurunya. Ketika guru dan petugas sekolah tahu, anak-anak datang sangat pagi, mestinya ada ikhtiar baik sekolah agar ada guru yang datang jauh lebih pagi dari siswa. Tidak mendidik jua kiranya kalau hormat itu datang dari siswa atas nama pembiasaan. Hormat itu juga harus datang dari guru kepada para siswa.
Apapun itu, inilah cokelat dan selembar puisi untuk gurunya! [T]