Di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, ada seorang anak muda, I Gede Guntur Juniarta. Usianya masih tergolong muda, 23 tahun.
Anak muda itu lulusan teknik sipil dari Universitas Brawijaya. Tapi pekerjaanya kini menganyam bambu. Tentu saja bukan sekadar menganyam. Ia ngotot membangun branding dengan tujuan besar untuk memperkenalkan anyaman bambu Tigawasa ke dunia modern, ke dunia internasional.
Maka, ia pun membuat sebuah merk dagang sekaligus mengembangkan filosofi yang menjadi dasar segala upayanya untuk membangun semangat “menganyam”, sekaligus memperkenalkan anyaman itu sebagai produk yang setara dengan brand-brand besar di dunia aksesoris, fashion dan desain.
Brand itu adalah “Mai Kubu”. Kata itu kedengarannya masih tradisional, tapi visi-misi dan cita-cita besar yang dikandungnya sungguh mutakhir.
Makna etimologi dari Mai Kubu memang menarik. Dari bahasa lokal, “Mai” berarti “Mari”. “Kubu” artinya “Rumah”. Jadi, Mai Kubu bisa berarti “Mari ke rumah” atau “Mari pulang ke rumah”.
Mai Kubu punya makna mulia mengajak warga desa, terutama anak-anak muda, untuk pulang ke desanya dalam upaya menjaga dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh desa.
Mai Kubu, jika dilapalkan sesuai pengucapannya, kata itu terdengar seperti Bahasa Inggris. My Kubu. Artinya, rumah saya.
“Jadi, maknanya bisa diluaskan, bahwa setiap warga harus menjaga rumah atau desanya,” kata Gede Guntur dalam sebuah percakapan pada hari yang cerah di Tigawasa.
Anak-anak muda dari esa Tigawasa, Buleleng, yang siap melestarikan sekaligus mengembangkan anyaman bambu di desa itu
Jadi, sekali lagi, kata Gede Guntur, Mai Kubu tidak hanya sebuah nama, melainkan juga adalah ajakan, semangat, dan motivasi, untuk kembali menjaga rumah ,untuk kembali menanam dan mengayam bambu untuk hidup dan pelestarian tradisi dan budaya di Desa Tigawasa.
Bicara soal menanam bambu dan menganyam bambu, Desa Tigawasa memang jadi sentra sejak dulu. Jika berkunjung ke desa tua itu, mata disuguhi pemandangan vegetasi bambu sepanjang jalan. Di rumah-rumah yang terbuka, akan tampak warga yang asyik menganyam bambu sembari ngobrol atau mendengar radio transistor.
Gede Guntur Juniarta melihat bambu adalah tradisi, adalah budaya, adalah sumber penghasilan di desa tempat ia lahir dan dibesarkan. Secara mandiri ia tetap menganyam dan menghubungkan penganyam satu dengan penganyam lain di desanya.
Menurut Guntur Juniarta, mengnyam bambu adalah sisi kreatif yang hidup secara genetik pada orang-orang di Desa Tigawasa. Namun, jika kreativitas menganyam tak dibarengi dengan sisi usaha untuk peningkatan perekonomian, maka lambat-laun tradisi menganyam bisa hilang begitu saja.
Jadi, Gede Guntur punya keyakinan bahwa kreativitas menganyam bambu akan lestari dan diminati jika sisi ekonominya juga berkembang.
Bambu dianyam bukan hanya menghasilkan produk-produk tardisional yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan rumah tangga semacam sokasi (tempat nasi) atau produk untuk kegiatan upacara agama.
Anyaman bambu kini bisa dikembangkan sebagai produk modern dengan kostum modern sesuai dengan pesanan, seperti produk tas dari bambu, tempat tisu, lemari untuk sudut ruangan di sebuah hotel, dan lain-lain.
Untuk itu, Gede Guntur terus belajar. Ia memang sudah jago menganyam. Tapi untuk pengembangan nilai ekonominya ia rajin menghadiri workshop-workshop pengembangan ekonomi kreatif di Denpasar, bahkan hingga ke kota-kota di Jawa.
Penganyam bambu dari Tegawasa
Pengetahuan yang ia dapat dari sejumlah lembaga pengembangan ekonomi kreatif membantunya membuka pasar untuk kelancaran usaha dari para prajin bambu di Desa Tigawasa.
“Kolaborasi dengan jaringan yang mempunyai visi dalam pengembangan ekonomi sirkular dan pelestarian lingkungan terus saya jalin,” kata Gede Guntur.
Mai Kubu adalah rumah, tempat di mana harapan tumbuh dan berkesinambungan, Mai Kubu akan bicara tentang hidup dan kehidupan, akan bekerja untuk hidup dan kehidupan yang lestari sekaligus selaras dengan arus modernisasi yang serba ditakar dengan materi.
Menanam bambu sekaligus menganyamnya adalah bukti nyata tentang pelestarian alam dan tradisi yang bisa beriringan dengan upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sehingga, dengan upaya-upaya semacam yang dilakukan Gede Guntur, kita harus percaya bahwa “Bambu adalah Nyawa”.[T]