Setiap bulan November, negeri ini akan dibalut dengan hingar bingar wacana kepahlawanan. Heroiknya Bung Tomo beserta para pemuda dari berbagai daerah tanggal 10 Nopember 1945 di hotel Oranye Surabaya menjadi cover depan yang sampai saat ini masih menghiasi buku-buku pelajaran sejarah. Akibatnya, siswa hanya belajar kepahlawanan lebih pada sosok elite, berjenis kelamin laki-laki, berprilaku heroik, dihasilkan dari kancah medan perang.
Kondisi ini berjalan sudah sangat lama tanpa ruang perspektif yang lain. Perang sudah usai, pahlawan sudah ditetapkan bahkan sudah menjadi mitos yang telah sanggup menjadi magnit tentang masa lalu negeri ini untuk membangun spirit dalam menegakkan kemerdekaan bangsa baik dalam hidup masa kiri dan merencanakan masa depan.
Sederetan pahlawan nasional yang dimiliki bangsa ini menjadi pertanda bahwa negeri ini tidak dibangun lewat belas kasihan bangsa lain, namun diraih melalui kucuran keringat dan darah para pejuangnya.
Negeri ini telah berdiri tegak, kisah kepahlawanan telah menjadi kisah monumental yang selalu menyisakan suasana haru biru, sekaligus rasa bangga bagi generasi penerus bangsa ini. Hanya saja, kebutuhan akan jiwa kepahlawanan tidak akan pernah berhenti walaupun kita sudah tidak berhadapan dengan suasana perang fisik.
Dalam konteks ini, pandangan Pierre Bourdieu tentang arena pergulatan memberikan pemahaman bahwa di dalam setiap arena wilayah kehidupan akan terjadi pergulatan yang akan selalu bertarung untuk keluar menjadi pemenang. Setiap orang sesungguhnya senantiasa ada dalam pergulatan untuk menjaga eksistensinya. Setiap orang pula, selalu terdorong untuk bisa eksis.
Hakekat kepahlawanan bagi setiap orang menjadi kebutuhan. Dan, sesungguhnya, filosofis kepahlawann itu bukanlah sesuatu yang tunggal, namun lebih bermakna majemuk. Artinya, sosok kepahlawan tidaklah harus ditemukan pada sosok yang tunggal, namun bisa ditemukan dari keaneka ragaman profesi, status, latar sosial ekonomi, latar etnis maupun agama yang berbeda.
Tolehan karakteristik tentang kepahlawanan selama ini lebih dominan tertuju pada narasi-narasi besar yang diwakili lewat tokoh-tokoh yang telah diakui secara legal formal dan dikukuhkan dengan keluarnya Surat Keputusan Presiden yang memuat tokoh-tokoh pahlawan yang dinilai berjasa menegakkan martabat bangsa ini dari eksploatasi para penjajah.
Di era pasca kemerdekaan sosok kepahlawanan lebih diperluas lagi dengan pemberian penghargaan kepada mereka-mereka yang dinilai berjasa dalam bidang sosial ekonomi, lingkungan, bahkan penghargaan kepada para pejuang seni pun menjadi hal yang biasa saat ini. Kita diperkenalkan tentang para seniman yang mampu memajukan dan mengembangkan kehidupan sastra dan seni. Semakin beragam sosok kepahlawan yang kita kenal, akan semakin memperkaya perspektif dalam menemukan arti dan makna kepahlawanan.
Kisah Perempuan Marginal
Membaca kisah dari seorang perempuan yang selalu berjuang untuk bertahan hidup, merupakan langkah dalam memperkaya perspektif. Adalah seorang perempuan tengah baya bernama Made Suami (60tahun). Sosok perempuan Bali ini sehari-harinya menghabiskan waktu di pasar Banyuasri, Buleleng.
Selintas perempuan ini tampak biasa-biasa saja, sebagaimana halnya perempuan Bali tradisional penghuni pasar. Dengan kain kemben batik, rambut diikat seadanya, wajah tanpa riasan menunjukkan tampilan sebagaimana perempuan Bali pada umumnya di dunia pasar tradisional.
Gambar 01: Made Suami sedang melayani pembeli | Sumber: Sendratari, Nopember 2022
Saat ini Pasar Banyuasri telah menjadi pasar tradisional dengan bangunan kokoh dan megah, yang tampil lewat perpaduan karakter bangunan tradisional dan modern. Pembangunan pasar semacam ini, bukan hanya dimaksudkan untuk mengubah tampilan fisik pasar, namun juga sekaligus dimaksudkan untuk memupus anggapan tentang label pasar yang kumuh, dan tidak beraturan.
Selain membawa perubahan fisik, pembangunan pasar modern sekaligus mengubah pula kultur para pedagang tentang arti kebersihan dan kerapian. Konsep pasar semacam ini dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan dan keamanan kepada para pengunjung pasar.
Gambar 02: Tampilan Depan Pasar Banyuasri, Buleleng | Sumber: https://bali.antaranews.com/berita/230446/pasar-banyuasri-di-buleleng-dibuka-18-maret
Gagasan cemerlang pembangunan pasar tradisional tidak secara otomatis akan menciptakan stimulus munculnya antusias para pedagang untuk mengisi blok maupun kios-kios yang ada di dalam bangunan pasar. Banyak di antara pedagang saat wajah pasar masih belum megah, hanya dengan meja kecil, membayar karcis sekedarnya sudah bisa mengais rejeki di dalam pasar, namun ketika pasar dikelola dengan manajemen modern, banyak pula yang tumbang. Inilah konsekuensi pembangunan berdasarkan analisis socio depelopment.
Made Suami adalah sosok yang memilih berdagang di luar kemegahan Pasar Banyuasri. Di tengah-tengah kenyamanan kios maupun blok yang ada di dalam pasar, dia lebih memilih menyudut di pinggiran jalan pasar tempat orang-orang melintas. Dia sadar tempat yang dipilihnya tidak legal, tidak aman karena sewaktu-waktu sangat dimungkinkan dia akan kena penertiban oleh petugas.
Namun, dia masih bertahan sampai saat ini. Dengan entengnya dia berucap: “yach lamen usire, buin pindah”. Ucapan ini disampaikan dengan nada kepasrahan. Pasrah dan tahan banting itu hal yang menurutnya sudah menjadi bagian dari perjuangan hidupnya selama ini. Kisahnya dimulai dari kehidupan masa kecilnya yang mengantarkan takdirnya ada di dunia pasar.
Dia mulai berkisah saat umur sekitar 6 tahun dia sudah kehilangan bapaknya yang meninggal sebagai korban peristiwa Gerakan 30 September di tahun 1965. Samar-samar dia masih mengingat suasana mencekam di desanya saat itu – Panji Anom, Buleleng. Namun Suami kecil mengaku tidak merasa takut melihat beberapa orang di desanya membawa klewang.
Kehilangan figur bapak baginya adalah awal dari pahitnya hidup bersama ketiga saudaranya yang lain. Rasa kehilangan itu semakin kuat setelah beberapa saat ibu kandungnya menikah lagi dengan lelaki di desanya. Hidup selanjutnya dilakoni bersama ketiga saudaranya di bawah asuhan nenek. Melalui didikan neneknya dia mengenal apa artinya bertahan hidup di tengah himpitan kemiskinan.
Kehilangan sosok tulang punggung keluarga membawa takdir Made Suami dari umur 7 tahun mulai tahu cara mendapat uang dengan berdagang. Dimulai menjual bunga di pasar tenten di sekitar desanya dia mulai mencium nikmatnya aroma uang kertas yang sanggup membuatnya ketagihan untuk terus mencari dan mencarinya.
Uang yang didapat tidak serta merta dibelanjakan, namun setelah disisihkan untuk membeli barang dagangan, sisanya diserahkan kepada neneknya untuk dimasukkan ke celengan.
Saat hari raya tiba, misalnya Galungan sebagai hari sangat ditunggu-tunggu, neneknya akan memasakkan nasi tulen. Sehari-harinya mereka biasa makan nasi cacah karena hanya itu yang bisa mereka nikmati. Lauk baginya adalah barang mahal.
Kedatangan hari raya Galungan menjadi hari istimewa baginya dan saudara-saudaranya yang lain. Nasi tulen, berhenti sejenak mencari uang digantikan dengan bermain dan melali bersama teman sebayanya adalah momen yang mewarnai masa kecil Made Suami di saat hari raya tiba.
Dia mengaku sempat mencicipi dunia sekolah hanya sampai kelas 2 SD/Sekolah Dasar. Keputusannya berhenti sekolah menurut pengakuannya karena tidak punya baju yang dipakai sekolah, satu dua baju yang dimiliki sering kotor dan sudah lusuh yang membuatnya malu datang ke sekolah. Saat itu, tidak ada yang memaksa dia untuk lanjut sekolah. Sambil menunduk dengan nada pelan dia berujar: “kengkenang nagih masuk, be sing ade ane ngeruwuang” (“bagaimana bisa lanjut sekolah, orang tidak ada yang ngurus”).
Seiring dengan bertambahnya usia, di tahun 80-an Suami kecil bertumbuh menjadi perempuan remaja, mulai semakin punya dorongan kuat untuk memiliki lebih banyak uang melalui kegiatan berdagang. Bersama-sama beberapa teman sebayanya dia mulai berani berdagang keluar desa dari Panji Anom menuju pasar Banyuasri.
Pukul 04.00 subuh secara berkelompok mereka menyusuri jalanan kecil menuju ke jalan Raya Anturan, dan sekitar pukul 05.00 mereka sudah sampai di Pasar Banyuasri.
Demikian hal yang dilakukan setiap harinya, sehingga membangun keyakinan Made Suami bahwa pasar adalah denyut nadi kehidupannya. Tidak ada rasa kuatir dan tiada kecemasan saat mereka menelusuri jalan di kegelapan malam. Karena menurutnya: “sing ade anak muani jahil di jalan jamane ento, len ajak jani” (“tidak ada laki-laki yang nakal menggoda kita saat itu di jalan, beda dengan zaman sekarang”)
Dia mulai melirik peluang mendapatkan barang dagangan yang ekonomis, tetapi mendapatkan untung. Satu komuditas yang memberi keuntungan baginya adalah daun jati. Saat itu di sekitar desanya sangat banyak ada kebun-kebun jati yang daunnya bisa dicari secara bebas tanpa larangan dari pemiliknya. Sore hari dia mulai mencari daun jati untuk dibawa keesokan harinya.
Selain daun jati, dia juga membeli barang dagangan untuk dibawa ke pasar yakni daun paku/jukut paku. Walaupun barang dibawa hanya dalam skala kecil, dan untuk sampai di pasar ditempuh dengan jarak yang jauh, Made Suami tidak pernah mengeluh dan selalu bisa merasakan bahwa pasar sudah menyelematkan dirinya dan keluarga dari himpitan kemiskinan.
Memasuki tahun 1982-an, Made Suami bertemu jodohnya, seorang lelaki berasal dari Desa Tukad Mungga, kira-kira berjarak 4 kilometer dari desa asalnya. Setelah berkeluarga, sampai mempunyai anak kesenangannya berdagang tidak pernah luntur. Malah menurutnya, tuntutan hidup setelah berkeluarga, mempunyai anak justru semakin memacu semangatnya untuk mengais rejeki di pasar. Setelah berkeluarga, dia mulai memutuskan untuk menggelar dagangan di tempat yang relatip tetap, sehingga bisa menjual barang dagangan yang lebih banyak.
Dia juga memiliki suami yang selalu siap mengantarnya ke pasar di saat subuh dan menjemputnya saat tengah hari. Demikian terus terpola. Ada saat-saat dia aman tanpa diganggu hiruk pikuk pembongkaran pasar, kepindahan lokasi berjualan, sebaliknya dia merasa tidak aman kalau suatu saat dia digusur dari tempatnya sekarang. Seringkali dia mencoba melupakan bayangan itu dengan tetap menjaga kecintaannya dengan pasar.
Dia selalu yakin pasti ada jalan. Dia selalu berdoa agar di sisi megahnya Pasar Banyuasri, masih selalu tersisa tempat untuk orang-orang seperti dirinya. Secara pribadi dia punya penilaian bahwa berjualan di dalam pasar lebih sering sepi pembeli, dan dia merasa tidak punya modal untuk menyewa blok. Katanya, ada temannya yang mau meminjamkan blok untuknya, namun sampai sekarang dia mengaku tidak tertarik, karena khawatir tidak akan sanggup menebus.
Berjualan di pinggiran pasar baginya sudah cukup memberinya rejeki. Jenis barang dagangannya saat ini tidak berubah dari dulu. Berjualan bunga, daksina, kulit ketupat, pisang, kelapa, beberapa sayur mayur. Dia mendapatkan semua itu dari para pedagang lainnya. Saat pasar dalam kondisi sepi dia mendapatkan keuntungan sekitar Rp.50.000/hari.
Kondisi yang menyenangkan baginya di saat pasar ramai menjelang hari raya kecil maupun besar, karena hasil penjualan yang didapat pun meningkat ketimbang hari-hari biasa. Walaupun akhir-akhir ini dia merasa kondisinya menurun, sering sakit pinggang, kakinya terkadang sakit, namun dia tetap yakin bahwa pasar adalah arena yang tepat baginya untuk berjuang meniti hidup dirinya dan keluarganya.
Cara Memaknai Hidup
Kisah Made Suami bukanlah satu-satunya kisah insan manusia di arena pasar. Kiranya masih banyak kisah serupa yang tidak kalah rumitnya tentang pengalaman hidup seseorang dalam berjuang mempertahankan hidup di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Dia hanyalah salah contoh menarik tentang potret perempuan yang tegar di tengah megah dan kokohnya pasar Banyuasri. Membaca kisah singkat hidup seorang Made Suami sesungguhnya dapat dijadikan bahan rujukan untuk menemukan sisi kepahlawanan dalam diri seseorang. Setidaknya, ada semangat juang, pantang menyerah, tidak mengenal lelah, selalu optimis, itulah hal yang dapat diperoleh dari Made Suami.
Dari sisi inilah dapat ditemukan unsur keteladanan yang hadir dari cara-cara orang kecil memaknai arti hidup. Baginya, menjadi pahlawan keluarga adalah sebuah kemuliaan. Arti pahlawan menurutnya adalah saat – saat seseorang bisa berperang melawan kemalasan.dan bisa mengalahkan kemalasan Baginya, kemalasan adalah musuh besar untuk menjaga kualitas hidup. Berteman dengan kemalasan sama halnya dengan orang bodoh yang tidak mau menangkap peluang.
Keluasan membangun perspektif tentang kepahlawanan akan menghasilkan kekayaan moralitas yang bisa jadi akan bermuara kepada kebajikan, kesederhanaan, ketulusan dan keikhlasan. Karakter semacam inilah yang diperlukan sebagai bentuk keteladanan yang tidak akan pernah lekang dari masa ke masa. [T]
[][][]
BACA artikel opini yang lain dari penulis LUH PUTU SENDRATARI