Di Ubud-lah, untuk pertama kalinya saya mendengar cerita tentang bulan yang jatuh di Pejeng. Bulan itu bersinar terus menerus sehingga membuat desa terang benderang sepanjang hari. Malam tak lagi beda dengan siang, dan itu membuat para maling kesal karena tak bisa menjalankan “pekerjaannya”.
Ketika mendengar cerita tentang bulan, entah kenapa saya terbayang dunia sastra. Bagi saya—seorang penulis pemula yang berasal dari latar belakang non-sastra—dunia sastra terlihat seperti bulan: bercahaya, tetapi jauh dan mustahil teraih.
Namun, kelokan hidup berkata lain. Pada tahun 2019, untuk pertama kalinya saya mengirimkan karya ke media, dan pada tahun yang sama karya saya dimuat. Sejak itu pulalah saya mengirimkan karya ke seleksi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF).
Dan betapa bahagianya saya ketika 23 Mei 2022 lalu mendapat telepon dari Yayasan Mudra Swari Saraswati yang mengabarkan bahwa saya terpilih sebagai salah satu Emerging Writer UWRF, festival sastra terbesar di Asia Tenggara dengan reputasi nasional dan internasional. Saya merasa bulan jatuh di beranda.
Saya tiba di Ubud, Bali, pada tanggal 26 Oktober 2022. Usai membelah kemacetan, saya sampai di penginapan. Sorenya, usai meloloskan diri dari anjing-anjing di sekitar penginapan, saya langsung meluncur ke tempat acara. Saya terbengong-bengong ketika membaca susunan jadwal acara.
UWRFmenawarkan begitu banyak pilihan yang membuat saya kebingungan. Semua tampak menarik. Ada diskusi panel, workshop, pembacaan puisi, bedah buku, pemutaran film dokumenter, pentas musik, peluncuran buku baru, dan masih banyak acara menarik lainnya, yang tak hanya diisi oleh para seniman kawakan Indonesia seperti Putu Oka Sukanta, Kamila Andini, Ahmad Fuadi, Joko Pinurbo, dan lain-lain, tetapi juga seniman-seniman kelas dunia, seperti Carla Power, Tim Baker, Audrey Magee, Sequoia Nagematsu, Kylie Moore-Gilbert, dan Osman Yousefzada.
Sasti Gotama (nomor 4 dari kiri) dalam sebuah sesi diskusi di Ubud Writers and Readers Festival 2022
Saya sendiri, pada tanggal 27 Oktober 2022 pagi, berkesempatan tampil sebagai pembicara bersama dengan Osman Yousefzada, seorang penulis dan desainer yang baru saja merilis buku memoar terbarunya, The Go Between, dan pernah mendapat penghargaan bergengsi British Fashion Council’s New Generation selama tiga musim dan memiliki lini pakaian yang dikenakan oleh Beyoncé, Lady Gaga, Gwen Stefani, dan lainnya.
Dalam program utama yang bertajuk Parallel Lives: Living Between Cultures, kami berdiskusi tentang pengalaman hidup antarbudaya dan bagaimana kami merefleksikannya dalam karya kami.
Walau berasal dari kultur yang berbeda, kami memiliki pengalaman yang hampir serupa, yaitu menyaksikan praktik budaya patriarki (Osman menyaksikan apa yang dihadapi saudara perempuannya, dan saya menyaksikan apa yang dihadapi pasien-pasien saya) yang membelenggu kaum perempuan. Kesamaan lainnya adalah kami menuangkan kegelisahan kami tersebut dalam karya sastra.
Sorenya, pada tanggal yang sama, setelah acara peluncuran buku antologi UWRF 2022, saya berkesempatan berdiskusi dengan Indolitclub dan Toni Pollard, seorang penerjemah dan pengajar dari Universitas Western Sydney, yang telah menerjemahkan cerpen saya ke dalam bahasa Inggris.
Seluruh peserta duduk melingkar dan bebas menyuarakan pendapatnya. Apabila dibandingkan dengan forum diskusi serupa yang pernah saya ikuti, saya merasakan atmosfer yang berbeda. Seluruh peserta tampak begitu antusias.
Tanpa jeda, setiap komentar segera disambung dengan komentar peserta lain. Kemurahan hati mereka dalam melontarkan kupasan yang begitu detail menunjukkan bahwa mereka tak hanya membaca dengan baik cerpen saya tersebut, tetapi juga memahaminya hingga lapisan subteks terdalam. Dan bagi saya, itu adalah apresiasi tertinggi bagi karya.
Esoknya, sesi saya sebagai pembicara telah habis. Namun, bukan berarti saya berdiam diri di penginapan. Masih banyak acara menarik lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Dari pagi, saya sudah bersiap hadir di tempat acara dan bergerilya dari satu acara ke acara lain, terutama acara yang diisi oleh rekan-rekan sesama Emerging Writer, misalnya acara Iin Faliani yang membahas tentang bagaimana menjadikan kenangan sebagai bahan baku cerita.
Dan seperti maling yang telah menyiapkan karung besar untuk mengangkut barang curian, begitulah saya di sepanjang acara: mencuri ilmu. Mungkin, inilah satu-satunya pencurian yang halal dan sangat dianjurkan.
Ilmu yang saya dapat tak hanya saya tambang dari acara-acara resmi UWRF, tetapi juga dari hasil perbincangan di meja makan dengan disaksikan segelas jus jeruk dan seporsi takoyaki isi gurita. Dari rekan-rekan sesama Emerging Writer, saya belajar bagaimana membangun karakter tokoh (oleh Agus Wiratama), bagaimana menyusun kerangka novel (oleh Puspa Seruni), bagaimana menyisipkan pesan tentang pelestarian lingkungan hidup dalam tulisan (oleh Ricky A Manik), dan bagaimana mengawinkan sejarah dengan fiksi (oleh Eko Darmoko dan Nanda Fauzan).
Tak hanya masalah kepenulisan, kami juga bertukar cerita tentang budaya. Saya masih ingat bagaimana Andi Makkaraja menjelaskan tentang 5 gender yang terdapat dalam budaya orang Bugis (yang terdiri atas Orawane, Makkunrai, Calabai, Calalai, dan Bissu) dan Juli Sastrawan yang mengisahkan tentang Kama Tattwa, sebuah kitab yang membahas seksualitas ala Bali.
Selain itu, perbincangan di meja makan juga membuat saya paham perihal hal-hal penting, tetapi jarang dibahas di kalangan penulis (setidaknya dalam lingkaran pertemanan saya). Awalnya, saya pikir, tugas penulis hanyalah menuangkan gagasannya dalam sebentuk tulisan. Namun, ternyata saya salah.
Sepuluh Emerging Writers dalam acara Ubud Writers and Readers Festival 2022
Dari Awi Chin, saya mempelajari bagaimana ajang festival semacam ini perlu kita manfaatkan untuk membangun relasi dan jejaring, baik dengan sesama penulis, maupun dengan media, editor, dan penerbit.
Tak hanya dengan para Emerging Writer, perbincangan di meja makan membawa saya pada banyak diskusi lainnya. Misalnya saat mengudap sepiring gado-gado, saya berkesempatan berbincang dengan Wendy, seorang pengunjung yang berasal dari Sidney. Ia berkata bahwa ia tak hanya telah membaca karya saya dalam bahasa Inggris, tetapi juga menyukai cerita itu.
Menurutnya, cerpen itu membawa pesan universal yang seharusnya dibaca oleh lebih banyak orang, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Sedangkan di kesempatan lain, dengan disaksikan sate ayam lilit Bali, saya berbincang dengan Arin, editor penerbitan dari Singapura tentang bisnis perbukuan di dunia. Dan tentu saja, dengan muka badak, saya tak lupa menunjukkan karya saya, karena saya pikir, bulan mungkin tak dua kali hinggap di beranda, dan saya harus menggunakan setiap kesempatan untuk meninggalkan jejak di mana saja melalui perbincangan.
Tak terasa, pada hari kelima, yaitu 30 Oktober 2022, acara inti telah usai. Bulan yang hinggap di beranda saya sudah kembali ke orbitnya. Sedih sekali ketika saya harus mengucap salam perpisahan dengan Ubud dan UWRF.
Namun, setidaknya saya sudah mengumpulkan banyak ilmu dan pengalaman sekarung besar. Walaupun begitu, ke depannya, saya berharap masih ada kesempatan lain untuk menimba ilmu dan pengalaman di permukaan bulan. Jika bulan tak lagi hinggap di beranda, mungkin kali ini waktunya saya, dengan berbagai bekal di karung, menyiapkan baju astronaut dan merancang roket untuk pergi ke sana.[T]