Oktober ini diwarnai beragam pameran seni rupa di berbagai venue di Bali. Satu di antaranya pameran ‘Erotika’ di Sika Gallery, Ubud pada 9 – 23 Oktober 2022. Pameran diikuti 8 perupa yaitu Linkan A Palenewen, Aswino Aji, Goenawan Mohamad, Kemalezedine, Syakieb Sungkar, Wayan Upadana, Ketut Sumadi dan Wayan Mandiyasa. Pasca pandemi, eforia melanda seni rupa Bali.
Sapuan-sapuan lebar, kasar dan bertenaga selalu meninggalkan jejak ekspresif. Bagi Aswino Aji, erotis jadi stimulus, energi untuk mencapai yang diidealkan. Erotis berasal dari kata Eros, dewa cinta dari mitologi Yunani. Dorongan perasaan dalam erotis dipahami sebagai cinta sensual atau dorongan libido. Tiga lukisan seri ‘Mengejar Pelangi’ menggambarkan sosok perempuan setengah badan. Komposisi warna ketiganya mirip. Warna biru dilaburkan pada tubuh setengah telanjang. Di latar belakang dijejalkan warna kekuningan.
Pada ‘Mengejar Pelangi #3’, mantel merah dengan sapuan-sapuan ritmis membiarkan sebagian tubuh sensual terlihat. Figur wanita ini menghadap ke depan dengan rambut tebal kebiruan. Latar belakang kekuningan terasa kontras dengan objek, menyebabkan objek nampak mencolok. Ketiga lukisan Aji dipenuhi sapuan-sapuan liar dengan teknik wet on wet saling tindih, berbenturan, menyeret warna di bawahnya sehingga meninggalkan jejak goresan dan lapisan transparan. Warna merah mantel menjadi aksen menyergap perhatian.
“Dari perspektif laki-laki, saya ingin menggambarkan sosok yang menarik melalui bentuk, guratan, warna, dan ekspresi yang dapat mendefinisikan keinginan ego saya.” Sepenggal pernyataan Aji ini mengingatkan pada Antonio Blanco (pelukis yang sering melukis wanita yang tampil erotis) ketika ditanya; mengapa selalu melukis perempuan erotis. Dia menjawab: karena saya laki-laki. Ketertarikan pria pada wanita adalah keniscayaan. Mengejar pelangi ibarat mengejar harapan.
[][][]
Seorang perempuan dengan rambut tergerai duduk di kursi dengan sebelah kaki terangkat, bertumpu pada kursi. Figur kekinian ini mengenakan kaos crop dan celana kulot. Tampilannya aktraktif. Gaya dan cara berbusananya menyiratkan pemberontakan terhadap kungkungan ‘tradisi’. Tangan kanannya memegang pisang terkupas yang dimasukkan ke dalam mulut. Alih-alih dimakan, pisang itu terkesan dikulum. Sorot matanya kosong, tidak terkonsentrasi pada pisang tapi pada penonton dengan ekspresi yang interpretatif. Ketika pisang disandingkan dengan wanita kerap diasosiasikan pada kesan sensual. Disimbolkan sebagai alat vital pria. Gambar ini sangat provokatif.
Latar belakang pengalamannya di fashion design rupanya berpengaruh di karya seni lukisnya. Hal tersebut tampak pada penyusunan elemen bentuk, warna dan garis. Linkan menerapkan warna neon, material yang lazim dipakai di ranah desain mode. Warna neon atau spotlight memiliki tingkat kecerahan yang tinggi.
Pemecahan bidang gambar dengan pola-pola dedaunan/tumbuhan berhasil membangun komposisi yang sangat dinamis. Paduan rumpun warna biru, merah dan kuning memendarkan warna violet, magenta, jingga, pink, oranye, hijau terang.. Warna-warna itu disusun dengan intensitas yang kontras. Pemberian warna biru pekat dan hitam memperkuat komposisi. Tak pelak, lukisan ‘I Intentionally Provoke You’ ini memang indah. Eugene Delacroix pernah mengatakan: Hendaknya lukisan menjadi pesta bagi mata.
[][][]
Lukisan ‘Di Antara Puncak Kenikmatan’ karya Kemal ini bernuansa kemerahan. Terasa hangat. Ia menghadirkan lanskap perbukitan di kanvasnya. Dia mendesain kanvasnya berbentuk bundar, berdiameter 150 cm. Bundaran atau lingkaran menjadi titik fokus konsentrasi atau meditasi. Cara melukisnya mengadopsi kebiasaan pelukis tradisional Bali yaitu membangun visual dengan hitam putih dulu. Tahap berikutnya pewarnaan. Bahan dan alat yang digunakan adalah drawing pen, tinta dan cat acrylic. Dasar melukis Kemal adalah men-drawing, merujuk pada seni lukis tradisional Bali yang pernah diamatinya.
Deretan pola seperti goresan kuas tinta membentuk perbukitan mengingatkan saya pada pola alur perbukitan lukisan gaya desa Sayan. Untuk membuat pola ini Kemal menggunakan alat modifikasi dari mesin tato. Barik-barik hitam berpola memunculkan citra artistik yang dominan di kanvas. Barik ini bergerak ritmis. Bentuk-bentuk genital dan erotis menyelip di bebatuan, di rimbun tumbuhan sementara torso perempuan menyembulkan kedua payudara tergambar jelas. Simbol api dibubuhkan di beberapa tempat memberi kesan membakar, persetubuhan yang panas. Awan vulkanik muncul di sela perbukitan seperti muntahan sperma. Puncak kenikmatan adalah simpulan narasi puncak-puncak bukit dengan aktivitas seksual yang tersembunyi.
[][][]
Lukisan bergenre tradisional Bali muncul pada karya Ketut Sumadi dan Wayan Mandiyasa. Mereka adalah 2 bersaudara kembar identik. Jika tidak mengenal secara intens, sulit membedakan keduanya. Kembar identik memiliki ikatan batin yang kuat dan seringkali memiliki sifat dan selera yang sama. Menarik mengamati karya keduanya di pameran ‘Erotika’ ini yang memiliki kecenderungan visual dan narasi yang mirip. Entah ini kebetulan atau memang saling memengaruhi. Karya keduanya menggambarkan persetubuhan liar beberapa pasangan di sebuah pohon besar.
Karya Ketut Sumadi berjudul ‘Pohon Kenikmatan’ dan Wayan Mandiyasa memberi judul ‘Bulan Madu’ pada karyanya. Narasi kedua lukisan bermula dari sepasang muda-mudi yang dimabuk asmara. Saat berwisata, di perjalanan mereka menemukan tempat nyaman, yaitu sebuah pohon besar. Beristirahatlah pasangan tersebut di sana. Timbullah hasrat bercinta yang dilanjutkan ke persetubuhan. Peristiwa tersebut diketahui para penghuni pohon. Mereka terangsang dan bangkit nafsu berahinya. Terjadilah persetubuhan liar beramai-ramai.
Pohon besar sering disakralkan dan disimbolkan sebagai rumah. Pohon Beringin, misalnya, dilambangkan sebagai rumah para Dewa dan pelebur dosa. Ia dipuja oleh mereka yang ingin memiliki anak karena Beringin dianggap sebagai lambang kesuburan. Jika Mandiyasa memvisualkan figur manusia biasa dalam narasinya, Sumadi menggunakan bentuk-bentuk mitologis dengan dominan warna hitam-putih.
Erotika dan Pornografi
Karya relief berbahan resin yang dilapisi cat mobil warna hitam mengkilat memvisualkan profil lelaki telanjang. Penisnya memanjang, tumbuh meliuk ke atas seperti batang pohon dan bercabang. Di ujungnya bertengger seekor burung. Liukan penis mengesankan adanya energi yang mengalir di dalamnya.
Sejak dulu penis dimaknai sebagai simbol kesuburan, keperkasaan dan kekuasaan. Penis atau lingga dalam ajaran Hindu adalah atribut terkuat dari dewa tertinggi atau kerap dikaitkan dengan Dewa Siwa. Lingga adalah pilar cahaya, simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta.
Insting atau naluri ialah pola tingkah laku yang bersifat turun-temurun yg dibawa sejak lahir. Oleh Sigmund Freud naluri diartikan sebagai tenaga psikis di bawah sadar (id). Dia membaginya menjadi 2 jenis yaitu naluri kehidupan (eros) dan kematian (thanatos). Contoh dari naluri kehidupan adalah lapar, haus dan ‘seks’. Wayan Upadana merefleksikan naluri seksual. Burung akan selalu terbang bebas tapi akan ingat kembali ke pijakan.
[][][]
Pornografi berasal dari kata porno. Pengertian porno adalah cabul. Dalam KBBI, cabul diartikan tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Kesopanan dan kesusilaan adalah norma; aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan. Sesuatu dianggap cabul tergantung pada norma di masyarakat, di lingkungan setempat sedangkan budaya masyarakat sangat beragam. Begitu pun soal norma. Di masyarakat satu dan lainnya berbeda. Pada masa Lempad tentu berbeda dengan masa sekarang dalam hal tatanan norma di masyarakat. Begitu pula pada lingkup antardaerah, desa dan kota.
Melihat dokumentasi foto tahun 1930-an – 1960-an tak sedikit gadis-gadis muda Bali yang bertelanjang dada. Di pasar pemandangan ini juga banyak ditemui pada pedagang atau pembeli. Penari dulu dadanya juga terbuka. Ketelanjangan sangat biasa ditemui di sungai. Di pemandian yang jarak pancuran satu dengan lainnya cuma semeter, laki-perempuan biasa mandi berdampingan, telanjang. Patung telanjang, kerajinan pembuka tutup botol berujud penis banyak dijumpai di pasar seni, di kios-kios kerajinan. Masyarakat tradisional tidak pernah terganggu. Pikiran masyarakat moderen sudah di-framing bahwa ketelanjangan, gambar persenggamaan itu pornografi.
[][][]
Pilihan warna merah pada sofa semata-mata pertimbangan keindahan dan komposisi. Tak ada maksud untuk meningkatkan berahi seksual penonton. Tentu banyak alternatif warna tapi satu pilihan itu mutlak. Komposisi diagonal pada objek perempuan telanjang lebih terasa dinamis jika dibandingkan horisontal, misalnya. Tak perlu bertanya; apa yang dinanti perempuan tersebut. Lukisan ‘The Red Sofa’ Syakieb Sungkar adalah sebuah proses studi, penggalian.
Hampir semua perupa pernah memvisualkan figur telanjang dalam bentuk patung maupun lukisan karena itu bagian dari proses belajar, pemahaman, pendalaman dan berkesenian. Ketelanjangan bagi seniman itu keindahan karena seniman studi dan menarasikan keindahan bukan pornografi.
[][][]
Pada ‘Studi Erotika’, Syakieb mendeformasi tubuh objek meski tidak drastis. Lukisan persenggamaan sepasang laki-perempuan ini dipenuhi goresan atau sapuan ekspresif pada sekujur tubuh. Syakieb tidak melukisnya secara realistik.
Di latar belakang, sengaja dijejalkan sapuan-sapuan dan torehan warna cukup riuh, terkesan seperti abstraksi lanskap atau tafril. Syakieb ingin mengacaukan asosiasi atau mereduksi center of interest pada objek. Aplikasi warna-warna dengan intensitas senada menjadikan lukisan ini terasa adem. Tidak menggelegak.
Ida Bagus Made pernah melukis persenggamaan manusia dengan celeng. Lempad memiliki gambar seri Kamasutra. Lukisan Lempad dan Ida Bagus Made tentang ketelanjangan dan persenggamaan pada masanya dianggap hal biasa. Kultur masyarakat setempat menerima bahkan istilah pornografi barangkali tidak dikenal di masyarakat tradisional pada waktu itu. Istilah pornografi adalah produk masyarakat modern. Pornografi semata-mata membangkitkan berahi seksual. Lebih-lebih jika menjadi industri komoditas. Pada erotika ada unsur-unsur lain yaitu estetika, artistik, puitik dst.
[][][]
Pengalaman pribadi banyak menginspirasi para seniman dalam menciptakan karya seninya. Selama 18 tahun Syakieb Sungkar terlibat dengan kucing. Dari seekor anak kucing yang mati kelaparan di dalam kamar terkunci, berganti ke kucing Siam, Anggora dan kucing kampung American Shorthair.
Sosok makhluk hibrida berkepala kucing duduk di kursi menyilangkan kaki sedang menikmati secangkir kopi. Dia mengenakan jas dan celana panjang. Sebelah kakinya yang bertumpu ke lantai seperti batang pohon. Kursinya tanpa kaki. Sebuah meja menyerupai bonggol pohon dihadirkan ke tengah ruang. Bentuknya bergelombang tak beraturan. Permukaannya datar. Ada lepek kopi di sana. Lambungnya beralur-alur searah lingkaran meja. Menyembul tatahan seraut wajah dengan ekspresi aneh.
“Meja itu melambangkan kekacauan dan ketidakpastian, mungkin juga ketakutan akan masa depan,” kata Syakieb. Posisi meja itu enigmatis, terkesan melayang tapi juga nampak berpijak di lantai. Ada kegalauan pada diri Syakieb. Bagaimana jika kucing satu-satunya mati? Kucing ini seperti keluarga. Kerap tidur bersamanya. Apakah isterinya akan seterusnya memungut kucing lagi setiap kucing peliharaan mati? Bagaimana seandainya isterinya bisa mengandung kucing? Haruskah Syakieb menjadi seekor kucing?
Syakieb membongkar dan mempreteli realita. Menyusunnya di tafril kanvasnya, menciptakan drama yang ganjil. Tafril ini surealistis. Permainan perspektif ruang dan dimensi yang acak. Seorang perempuan berdiri telanjang di ruang di dalam ruang, tersusun di bidang kanan kanvas. Ruangnya datar dengan langit penuh susunan awan menjadi latar belakang. Ia tengah mengandung seekor kucing. Komposisi awan menyimbolkan dinamika imajinasi, gejolak angan dan harapan. Di bagian kiri ada tirai. Bagian tengah yang terbuka menampakkan ruang belakang. Sepotong halaman, dinding batu dan lanskap tumbuhan tersusun datar.
Sebuah gambar dramatis meneror mata kita. Seekor kucing sedang berbaring santai. Kepalanya menoleh ke penonton. Bagian tengah tubuh terkupas menampakkan tulang rangkanya, mengingatkan pada tulang ikan bakar di atas piring yang menyisakan ekor dan kepala. Kucing ini sepenggal kenangan pada kucing yang mati kelaparan. Kucing ini menyediakan dagingnya untuk disantap. Keluarga Kucing menggambarkan keluarga hibrid. Keluarga imajinatif yang liar.
[][][]
Sebagai sastrawan, lukisan-lukisan Goenawan Mohamad terkesan puitis dan surealistis. Lukisan ‘Pasca Orgasme’ terinspirasi dari karya puisinya.
Semakin ke tengah tubuhmu / yang telanjang / dan berenang / pada celah teratai merah
Ketika desau angin berpusar / ikan pun / ikut menggeletar
Puisi ini penggalan dari puisi ‘Persetubuhan Kunti’. Bait puisi ini mengisi bidang atas lukisan. Di bagian lain berada dua tubuh diferensial. Di latar depan berdiri tubuh lelaki tanpa kepala. Tangannya sebatas lengan. Kakinya pun sebatas paha. Posenya menghadap ke depan menampakkan kemaluannya. Di belakangnya, sesosok perempuan telanjang berdiri membelakangi. Kakinya melangkah seperti hendak berjalan pergi, meninggalkan sang lelaki.
Lukisan ini dilaburi warna abu-abu sebagai dasar. Objek kemudian dilukis di atasnya. Pada tubuh perempuan, warna abu-abu kekuningan dipulaskan dengan sapuan-sapuan lembut. Refleksi cahaya berwarna oranye disapukan pada satu sisi tubuh. Jika pulasan warna di tubuh perempuan menggunakan sapuan lembut, goresan-goresan kasar disapukan pada sekujur tubuh lelaki. Karakter ini memunculkan kesan maskulin. Warna oker diisikan ke tubuh, tidak penuh. Sebagian menyisakan warna dasar abu-abu sebagai tone gelap. Garis-garis lembut seperti kontur yang ada pada tepi figur membuat kesan plastis. Goresan mengambang, tidak menekan dalam ke kanvas menghasilkan efek optis, bergetar.
Kepala adalah tempurung pikiran. Dia juga simbol identitas karena memiliki rupa. Dua tubuh diferensial yang berada dalam satu situasi ini tak menampakkan rupa. Persetubuhan suci adalah persetubuhan jiwa, tak perlu pikiran. Identitas persetubuhan itu ialah lingga dan yoni.
[][][]
Pada lukisan yang lain, sosok telanjang tanpa kepala berada di tengah kanvas. Kaki dan tangan terpotong. Payudaranya menonjol. Organ genitalnya digambarkan dengan garis lengkung. Tubuh ini bentuknya gembung. Warnanya kecoklatan. Karakternya mirip kayu. Nampak seratnya yang terbentuk dari goresan-goresan kuas. Beberapa lubang atau liang ada di kaki, perut dan di kerongkongan. Liang jamak dijumpai pada kayu. Pendek kata, tubuh ini tidak ideal. Bagai benda rusak. Tak indah, tak mulus, keras, dingin. Sama sekali tidak merangsang, tidak erotis meski telanjang dan menampakkan organ sensual.
Di depan sosok gembung tersebut diletakkan sepatu wanita dengan hak tinggi. Tidak lengkap. Cuma sebelah. Warnanya kemerahan, pink tua. Mencolok, menyedot perhatian. Tidak ada wanita di situ tapi sepatu warna pink membawa imajinasi kita ke sosok wanita cantik, mulus, indah. Syukur-syukur telanjang. Sepatu pink ini bisa sangat naratif dalam imajinasi kita. Lukisan ‘Antierotika’ karya Goenawan Mohamad ini berlatar belakang kelabu kebiruan bagai langit mendung. Objek seperti melayang. Tak ada batas ruang. Tak ada batas imajinasi.
“Seperti kebanyakan orang, saya memahami ‘erotika’ dalam kaitannya dengan tubuh dan berahi. Persoalannya, bagaimana kedua hal itu — yang erat bertaut — dipandang.” Statement Goenawan Mohamad dalam konsep karyanya di pameran ini. [T]
Bedulu, 16-10-2022
[][][]