Langit masih tampak gelap, hujan sedari siang juga masih mericis, dari yang semula deras perlahan-lahan menjadi lamban, sampai pukul 15.00 Wita mulai menjelma gerimis tipis, tak bisa dibilang reda, tak bisa juga dibilang hujan.
Masih ada air yang menitik kecil-kecil dan pelan-pelan. Meski di luar terasa begitu kelabu, tak begitu adanya dengan suasana di Smesco Hub Timur, Kawasan ITDC Nusa Dua, Bali. Di depan pintu masuk, orang-orang nampak berbaur, saling menyapa, saling merumpi. Mereka bertutur kata, sembari menikmati udara dingin yang jarang bisa dirasakan di Kawasan Nusa Dua.
Suasana dingin di luar seketika berubah menjadi hangat saat beranjak masuk ke dalam. Sebuah ruangan bergaya Jepang terlihat begitu sederhana, begitu kalem, namun sangat terasa elegan. Ruangan tersebut cukup terbuka, memiliki pencahayaan alami dari setiap jendelanya yang memanjang dari bawah ke atas.
Langit-langitnya terbuat dari instalasi kayu yang memperkaya nuansa alami yang tenang dan lembut. Furnitur yang ada di dalamnya juga terkesan autentik dan minimalis. Semuanya terbuat dari kayu. Beberapa meja dan tempat duduknya tidak terlalu tinggi,. Ada juga meja dan kursi yang memanjang seperti yang sering dilihat di café-cafe pada umumnya.
Di tengah-tengahnya berdiri sebuah pantry, menyajikan berbagai varian minuman dan cemilan. Interior yang didominasi oleh warna coklat yang menyatu bersama lantainya yang serupa batu alam, menjadikan Smesco Hub Timur sebagai sebuah tempat dengan suasana harmonis yang kental.
Di sanalah, ada lebih banyak lagi orang-orang yang berkumpul dan bertukar cerita. Mereka menggunakan pakaian yang casual, tak begitu terlihat resmi namun sangat rapi dan menawan. Ada juga beberapa yang mengenakan jas almamater. Rupanya mereka adalah mahasiswa-mahasiswi dari Politeknik Pariwisata Bali, Nusa Dua dan Stimik Primakara, Denpasar.
Beberapa kursi berselimutkan kain hitam sudah berjejer rapi di sudut utara ruangan tersebut. Di depannya, sebuah layar terbentang menayangkan poster acara yang akan mereka ikuti bersama hari itu, Sabtu, 1 Oktober 2022.
Mereka akan menyimak bersama Dialog Investasi Indonesia Timur Vol. 001 yang bertajuk “Portfolio Jurisdiksi Komoditas Kakao dan Bambu untuk Ekonomi Tangguh Bencana” persembahan dari Kemenkop UKM, SMESCO Indonesia bersama dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) dan mitra organisasi yang tergabung dalam Koalisi Ekonomi Membumi serta Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF).
Sekitar pukul 16.00 Wita, Gita Syahrani yang merupakan Kepala Sekretariat LTKL mengarahkan peserta untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Pembawaanya sebagai pembawa acara cukup santai dan mengalir, tidak kaku dan juga tidak begitu formal. Tak lama kemudian, peserta mulai merapat, memilih kursi senyamannya mereka.
Ada yang langsung duduk di depan, ada juga yang memang sengaja memilih di belakang berbarengan teman-temannya. Gita Syahrini kemudian menjelaskan sedikit tentang acara yang akan mereka ikuti bersama.
Dialog Investasi Indonesia Timur Vol. 01 diselenggarakan dalam rangka penguatan ekonomi pasca bencana pandemi, pemerintah Indonesia menekankan pentingnya mendorong ekonomi hijau melalui kolaborasi multi pihak. Hal ini sejalan dengan tema yang diusung Indonesia pada presidensi Indonesia pada penyelenggaraan akbar G20 tahun 2022 yaitu “Recover Together, Recover Stronger” serta pengembangan pendekatan yurisdiksi sebagai salah satu model pembangunan daerah yang diidentifikasi dalam RPJMN 2020-2024.
Dialog tersebut berfokus pada pengembangan sektor kakao dan bambu untuk meningkatkan ketangguhan ekonomi dan bencana, menghadirkan narasumber yang mumpuni di bidangnya, yaitu: Tiza Mafira – Director Climate Policy Initiative Indonesia, Dr. Samuel Yansen Pongi, S.E., M.Si – Wakil Bupati Sigi periode 2021 s.d. 2024, Wahyu Wibowo – Direktur Eksekutif Cocoa Sustainability Partnership, I Wayan Juniarta – Senior Manager of Communications Yayasan Bambu Lestari, dan Sandra Pratiwi – PISAgro.
Sambutan dari Smesco Hub Timur
Sebelum benar-benar menapak ke acara inti, pembawa acara terlebih dahulu mempersilakan Direktur Utama Smesco Indonesia, Leonard Theosubrata sekaligus inisiator untuk memberikan sambutan. Hari itu, ia hadir bak seorang seniman dari Ubud. Ia mengenakan celana panjang hitam sama persis seperti celana yang sering dikenakan para penekun yoga dan spiritual, atasan berwarna abu, dan sandal jepit.
“Selamat sore selamat datang di Smesco Hub Timur,” sapanya dengan hangat.
Ia menjelaskan sedikit tengtang Smesco Hub Timur yang ia inisiasi tersebut. Smesco Hub Timur ini merupakan program inisiatif yang bertujuan sebagai investment hub yang dilengkapi SMEs Investment Dashboard, yaitu aplikasi sistem informasi pendataan UKM, riset (Business Intelligence), monitoring, dan evaluasi untuk para UKM seluruh Indonesia, utamanya Indonesia bagian Timur.
Menurutnya, Smesco Hub Timur hadir untuk menjembati para pelaku UMKM, khususnya di wilayah timur dengan para investor. Di tempat inilah para investor dapat melihat langsung berbagai jenis UMKM yang berpotensi mendapat sutikan modal sehingga pelaku usaha dapat mengepakan sayap lebih luas lagi, meningkatkan kapasitas dan memperlebar jangkauan usahanya.
Alasan Bali dipilih sebagai lokasi dikarenakan Smesco ingin memiliki satu titik kumpul. Maka memudahkan semua pihak. Bali juga merupakan lokasi yang mudah dalam menarik perhatian atau menarik keinginan orang-orang berkunjung.
“Kenapa Smesco Hub Timur dibangun di Bali? Karena kita merasa Bali setelah pandemi Covid-19 harus menunjukan posisi baru. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada pariwisata. Don’t put your eggs in one basket. Karena ke depannya tidak ada yang tahu. Dunia terlalu dinamis. Tiba-tiba saja pandemi. Bagaimana Bali bisa bangkit dan keluar dari ketergantungan terhadap tourism? Kita mulai dengan mendorong ekosistem bisnis. Tidak hanya untuk Bali, tapi juga untuk Indonesia Timur,” ujarnya.
Ia juga meminta anak-anak muda yang hadir untuk berkenan menjadi pelaku usaha yang mengusung semangat putra-putri daerah.
“Jangan lupakan barang-barang dari pulau masing-masing. Jangan juga semua daerah menjadi Bali ke-2. Saya bertentangan dengan hal itu. Karena seharusnya Laboan Bajo ya Laboan Bajo. Danau Toba ya Danau Toba. Sehingga keunggulan yang khas dari daerah sana itu yang akan bikin bersaing ke depannya, dan investor juga akan melihat hal itu. Jangan jual sushi ke orang Jepang. Jangan jual wine ke orang Prancis, ya kita jual makanan kita, kita jual minuman kita, kita jual kriya kita. Laku pasti. Kita yang punya standarnya. Nah itulah fundamental idea yang ingin kita capai terutama di Indonesia Timur.” imbuhnya.
“Kami mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Sigi yang menjadi Pemkab pertama yang menggunakan Smesco Hub Timur ini untuk membuka peluang kolaborasi investasi hijau melalui dialog yang kita adakan di sore hari ini,” sambungnya lagi.
Berdaya Lenting, Diversifikasi Tanamam, dan Investasi Hijau
“Ada yang tahu apa bahasa Indonesia dari resilient? Karena kita berbicara tentang lokalitas maka kita juga harus di-bahasa Indonesia-kan dengan baik dan benar” tanya Tiza Mafira selaku Director Climate Policy Initiative Indonesia.
Ia membahas disaster resilient economy.
“Berdaya tahankah? Berdaya lenting. Pernah dengan tidak? Itu bahasa Indonesia yang baku untuk istilah resilient,” ujarnya lagi.
Ia menerangkan bahwa yang dimaksud lenting adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh karet itu sendiri. Jika diregangkan, sebuah karet dapat kembali ke bentuk semula dengan sendirinya. Resilient sendiri dapat diartikan sebagai sebuah proses mengembangkan kapasitas untuk bertahan dalam menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosional. Tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang. Individu yang resilient cenderung mengembangkan cara-cara untuk mengubah keadaan atau tekanan menjadi kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Dapat disimpulkan, resilient economy adalah ekonomi yang berdaya lenting, yang mampu untuk pulih dengan cepat dari goncangan, mampu menahan goncangan, juga mampu menghindari goncangan.
“Jadi itulah ekonomi yang berdaya lenting Ekonomi yang jika terkena bencana dia bisa bounce back,” imbuh Tiza.
Ia kemudian menjelaskan salah satu cara untuk mencapai resilient economy tersebut di bidang pertanian dan agrikultur adalah dengan mempromosikan diversifikasi tanaman. Di Indonesia sendiri, kebutuhan pangan masih boleh dikategorikan dalam status aman, setidanya untuk saat ini.
Namun, lambat laun, pangan berpotensi menjadi masalah serius akibat produksi pertanian yang semakin menurun dan lahan pertanian produktif yang semakin berkurang. Ditambah lagi dengan bencana alam atau pandemi yang mengancam di sekitar. Diversifikasi tanaman dirasa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.
Ia juga menjelaskan sedikit tentang Kabupaten Berau di Kalimantan Timur yang memprioritaskan pengembangan kelapa sawit setelah kejutan harga batu bara pada tahun 2015 menghancurkan ekonomi pertambangan tradisional di kabupaten tersebut.
Tanaman pangan penting lainnya, seperti padi dan jagung yang ditanam secara tradisional di Berau, semuanya mengalami penurunan luas lahan karena kelapa sawit mendominasi 90% lahan pertanian. Berau sekarang berisiko jatuh ke dalam perangkap komoditas tunggal yang sama dengan minyak sawit seperti ketika batu bara mendominasi ekonomi lokal,” terang Tiza.
Diversifikasi tanaman sendiri adalah suatu usaha meningkatkan hasil pertanian dengan memperbanyak jenis tanaman pertanian pada suatu lahan pertanian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ketergantungan pada salah satu jenis pertanian saja.
Contoh diversifikasi tanamam yang umum adalah adanya sistem tumpeng sari, yaitu menanam beberapa jenis tanaman secara bersamaan pada satu lahan sama. Misalnya, secara berbarengan di waktu dan lahan yang sama menanam ubi kayu, kedelai, dan jagung. Diversifikasi dapat dilakukan diantara dua musim tanam atau pada satu musim secara bersamaan.
Dikonfirmasi secara terpisah, Tiza juga menjelaskan tentang ekonomi hijau yang ia yakini sebagai sebuah trend masa depan.
“Jika kita tidak mengubah sistem ekonomi kita ke ekonomi hijau, yang sistem ekonominya beremisi rendah, berbasis produksi, tidak merusak lingkungan, krisis iklim akan semakin parah, memperoarah krisis ekonomi juga,” ujarnya.
Ia memandang saat ini investasi dan pendanaan masih banyak mengalir ke bisnis-bisnis yang bisa dikategorikan “kotor” atau “tidak hijau”. Ia berharap hal tersebut bisa berubah, karena sebenarnya trend green financing sudah semakin tumbuh dan berkembang meski porsinya masih kecil untuk saat ini. Yang pasti, green financing semakin naik dan semakin diperhatikan dunia. Semua tertuju pada investasi yang lebih ramah lingkungan dan ramah sosial.
Menurutnya, ada beberapa hambatan yang ditemukan dalam mengimplementasikan investasi hijau tersebut. Banyak yang belum terlalu paham model bisnis yang ramah lingkungan dan ramah sosial, sehingga banyak pelaku UMKM yang tidak mendapat pinjaman atau mendapat pinjaman dengan bunga yang lebih tinggi. Itulah mengapa harus lebih banyak ada perjodohan antara ide-ide model bisnis dari tapak yang inovatif dengan lembaga-lembaga keuangan dan investor-investor agar mereka paham tentang investasi hijau ramah lingkungan dan ramah sosial dan paham bahwa itulah model bisnis yang unik dan harus disupport.
Hambatan lain yang ditemukan adalah dari sisi regulasi yang dikeluarkan oleh pihak-pihak terkait. Meskipun investasi hijau mendapat dukungan dari pemerintah, namun masih banyak sektor “kotor” yang diberikan kemudahan dan karpet merah, seperti misalnya batu bara.
“Yang membuat sulit adalah persaingan dengan sektor kotor, karena mereka lebih dulu ada, lebih besar, dan masih mendominasi ekonomi. Tidak cukup hanya men-support sektor-sektor hijau, tapi juga harus mengurangi support ke sektor-sektor kotor tesebut,” ujarnya di akhir sesi tanya jawab bersama para media.
Potensi Kakao dan Bambu di Kabupaten Sigi
Samuel Yansen Pongi selaku Wakil Bupati Sigi mengaku adanya dialog invetasi dan ketahanan ekonomi sangat penting keberadaannya bagi Kabupaten Sigi. Dari awal ia menjelaskan dengan sangat santai. Tidak ada unsur-unsur formal yang diselipkan meskipun ia adalah seorang wakil bupati. Tidak ada protokoler atau ajudan yang bersiaga di belakang dan di sekitarnya.
“Hampir 75 persen wilayah Sigi adalah kawasan hutan dan sisanya digunakan untuk kawasan budidaya. Oleh karena itu, penting bagi Kabupaten Sigi untuk membuktikan bahwa ada skema investasi yang tetap menjaga hutan kami dan masyarakat juga sejahtera.
Pemerintah Kabupaten Sigi bersama Cocoa Sustainability Partnership (CSP), PisAgro dan LTKL bersama-sama untuk mewujudkan contoh nyata melalui portofolio investasi berbasis yurisdiksi dengan menggunakan komoditas kakao,” ujarnya.
Ia mengaku di Kabupaten Sigi terbentang 27.000 hektar lahan Kakao, yang produksinya mencapai 20.000 setiap tahunnya. Sayangnya, ada sedikit kelemahan yang dimiliki oleh para petani kakao di sana. Pasca panen biji-biji kakao langsung dijemur di bawah sinar matahari. Seharusnya difermentasi terlebih dahulu agar menghasilkan cita rasa dan nuansa coklat yang lebih terasa.
“Nah, ini kami mengundang teman-teman mitra yang selama ini concern terhadap coklat untuk hadir di Sigi, dan kami berharap teman-teman CSP dan PisAgro mengajak teman-teman yang lain untuk hadir membantu masyarakat petani di Sigi secara khusus sehingga kedepannya kita berharap kakao di Sigi menjadi spesial, bukan kakao pada umumnya di tempat lain.” Imbuhnya.
Ia juga mengharapkan adanya aktivitas hulu hilir untuk kakao di Sigi. Misalnya ada penangkaran benih sendiri sampai ketahap sertifikasi. Baginya, kakao di Sigi memiliki keunggulan dan nilai jual tersendiri. Kakao Sigi dikenal organic dan dikelilingi oleh taman nasional dan berada di bawah cagar biosfer.
“Sigi mengundang para investor untuk membantu masyarakat di Sigi agar semakin sadar bahwa kita bisa hidup berkelanjutan dengan hutan yang tetap terjaga. Ada banyak teman-teman yang membantu dan secara ekonomi kita bisa hidup dan kita hasilkan produk-produk pertanian yang ramah lingkungan dan punya nilai jual yang satu tingkat lebih tinggi,” sambungnya lagi.
Sesi foto bersama di akhir acara
Selain komoditas kakao yang dikembangkan untuk membangun ekonomi kerakyatan tersebut, Kabupaten Sigi juga mengembangkan komoditas bambu yang memiliki manfaat untuk mengatasi bencana alam banjir. Bambu menjadi tanaman yang mampu menahan air dan material dari sungai, sekaligus berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan utamanya daerah aliran sungai.
“Pasca gempa kemarin, tanah-tanah di Sigi agak sedikit renggang sehingga hujan sedikit saja sudah membawa banyak metrial-material pasir. Ke depan bersama Yayasan Bambu Lestari yang sudah bekerja sama membantu kami, di area-area sungai yang mengancam penduduk, pertanian, dan perkebuan, akan ditatanmi bambu.”
Konsep yang dirancang adalah konsep pertahanan berlapis. Lapis pertama adalah menormalisasi semua sungai. Lapis kedua membronjongi dengan kearifan lokal dari bambu sehingga masyarakat sekitar menjadi aman. Di belakangnya masih ada bambu-bambu lain. Barulah lapisan selanjutnya unutk pertanian dan perkebunan.
“Kami berharap dengan ekonsep ini kedepannya bambu tak hanya berfungi mencegah erosi namun juga bisa untuk ekonomi masyrakat sekitar shingga tidak lagi merusak hutan karena kita sudah hidup dari wilayah ini. Tentu teman-teman Yayasan Bambu Lestrai kami berharap ada di Sigi bersama teman-teman lainnya bersama-sama membangun Sigi sehingga kamivisi besar kami Kabupaten Sigi yang berdaya saing basisnya agribisnis bisa terwujud, bukan hanya karena pemerintah tapi juga karena mitra dan akedemisi.”
Menciptakan ragam kondisi pemungkin untuk investasi hijau dan ekonomi yang tangguh bencana untuk bisa masuk ke dalam wilayah jurisdiksi Kabupaten Sigi dengan bantuan dari multipihak telah dan akan terus dilakukan. Termasuk memastikan kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Sigi yang menjadi pelaku utama, antara lain petani, pekebun, masyarakat adat, kaum muda, kelompok perempuan dan anak. Sehingga siasat pemulihan ekonomi pasca bencana, alam dan non-alam, yang digaungkan oleh pemerintah pusat dapat terwujud di tingkat kabupaten.
Dalam kesempatan dialog ini, diluncurkan Festival Lestari ke-5 yang akan diselenggarakan pada 2023 dengan tuan rumah Kabupaten Sigi. Festival ini salah satu pintu masuk dan wadah promosi pembangunan lestari Kabupaten Sigi. Seluruh program, inisiatif baik, dan kearifan lokal yang dimiliki akan ditampilkan dalam festival tersebut. Festival Lestari ke-5 diharapkan dapat menggaet lebih banyak lagi mitra pembangunan di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk gotong royong membangun Sigi dan kabupaten anggota LTKL lainnya.
Mengenai Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)
Asosiasi pemerintah kabupaten untuk mewujudkan pembangunan yang menjaga lingkungan dan mensejahterakan masyarakat sesuai agenda nasional melalui gotong royong multipihak. LTKL yang merupakan kaukus pembangunan lestari dari APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Indonesia) sampai dengan Juli 2022 telah memiliki 9 kabupaten anggota aktif dan 24 jejaring mitra baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sebagai sebuah forum, LTKL diharapkan dapat mendukung upaya kabupaten dalam mewujudkan visi kabupaten lestari dengan indikator kunci meningkatkan pendapatan daerah, menurunkan angka kemiskinan dan mempersiapkan arah pembangunan untuk penurunan laju deforestasi sesuai dengan arah kebijakan nasional.
Forum LTKL ini diharapkan menjadi wadah bagi para pemimpin daerah untuk berkolaborasi dan bergotong royong untuk mencapai visi lestari dan juga untuk dapat berbagi ilmu untuk upaya penerapan visi dan misi lestari di kabupaten.
Mengenai Koalisi Ekonomi Membumi
Sebuah gerakan bersama untuk mendorong tumbuhnya ekosistem investasi hijau untuk bisnis skala besar dan UMKM di Indonesia dengan kerjasama multipihak dan antar negara.
Gerakan ini akan dinaungi oleh Deklarasi Bersama antara Pemerintah [Kementerian Investasi, Kementerian Koperasi UKM, SMESCO Indonesia, Kementerian Perdagangan, BAPPENAS & Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan] bersama asosiasi swasta dan komoditas [KADIN, APINDO, HIPPMI, PISAgro, CSP, SCOPI, SSI] dan Koalisi Mitra Pembangunan yang menunjukkan komitmen gotong-royong selama 5 tahun (2022-2026). [T]