Saat pandemi, dalam rentang 2019 hingga 2022 ini, Hardiman berhasil menyelesaikan 120 lukisan. Sungguh produktif.
“Lumayan produktif memang, karena selama pandemi semua dikerjakan di rumah. Ngajar online. Istirahat, lalu melukis,” kata Hardiman, Jumat 30 September 2022 di sela-sela persiapan menggelar pameran tunggal di Bandung.
Ya. Hardiman akan menggelar pameran tunggal dengan tajuk “Harakat Warna Hardiman” di Griya Seni Popo Iskandar Bandung, Jawa barat. Pameran akan dibuka 19 Oktober dan berakhir 7 November 2022.
Dari 120 lukisan terbaru yang diselesaikan saat pandemi itu, hanya sebagian atau sebanyak 50 lukisan yang dipamerkan di Griya Seni Popo Iskandar itu. Kurator dalam pameran itu adalah Rizki A. Zaelani yang dikenal sebagai kurator Galeri Nasional.
Hardiman lahir 7 Mei 1957 di Garut, Jawa Barat. Lulusan Jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP (kini UPI) Bandung dan program Doktor (S3) Kajian Budaya Unud Denpasar. Ia menjadi staf Pengajar Program Studi Pendidikan Seni Rupa di Universitas Pendidikan Ganesha, Bali, dan pensiun 2022. Setelah pension rupanya ia punya banyak rencana, antara lain rencana pameran di sejumlah tempat, selain di Bandung.
Selain sebagai pelukis dan dosen, Hardiman juga dikenal sebagai penulis seni rupa dan kurator independen. Tulisannya dipublikasikan di Kompas, Visual Art, Media Indonesia, Gatra, dan sejumlah jurnal.
Ia adalah salah seorang penulis buku Modern Indonesian Art: From Raden Saleh to the Present Day (2010), dan Wacana Khatulistiwa: Bunga Rampai Kuratorial Galeri Nasional Indonesia 1999-2011(2011).
Poster pameran di Bandung
Buku lain yang ditulisnya, Dialek Visual: Perbincangan Seni Rupa Bali dan Yang Lainnya (2017), Becoming: 20 Tahun Galang Kangin (2017), Perlawanan Tubuh Seksual Perempuan Perupa Bali (2020), Erotika dan Ideologi Patriarki: Sekumpulan Esai, Resensi dan Profil Seni Rupa (2021). Buku puisinya Yang Tujuh Ini dan Peta Lintas Batas.
Selain sebagai penulis dan kurator seni rupa, Hardiman pernah menekuni fotografi, teater, seni lukis, dan penulisan puisi. Pamerannya antara lain Pameran Seniman Muda Indonesia di TIM Jakarta, Pameran Berdua di Aliance Prancaise Bandung, dan Pameran Bertiga di Andi’s Gallery Jakarta.
Sebelumnya ia juga pernah Pameran Tunggal di Galeri Bandung, Jogya International Miniprint Biennale Jogyakarta, International Printmakin and Paper Art Jakarta, Pameran Bienale Manifesto, Galeri Nasional Indonesia, Pameran Bali Jani, dan lain-lain.
Karya drawingnya digunakan sebagai gambar sampul dan ilustrasi sejumlah buku sastra, sosial, dan politik oleh sejumlah penerbit, beberapa buah dimuat di Kompas sebagai ilustrasi cerpen.
Hardiman menerima penghargaan Wijaya Kusuma dari Pemda Buleleng Bali sebagai pelukis, Penghargaan Widya Pataka dari Cubernur Bali sebagai penulis buku, Penghargaan Karya terbaik paper art dari International Printmaking and Peper Art Show (IPASS) Jakarta kategori paper art, dan menerima penghargaan Bali Jani Nugraha senagai kritikus seni rupa dari Gubernur Bali, 2022.
Jalak Bali
Sejak mukim di Bali, sekitar tahun 1980-an, Hardiman konsitsen melukis obyek jalak bali, salah satu jenis burung yang hidup di Taman Nasional Bali Barat,
Kenapa burung jalak bali?
“Setiap seniman mempunyai obsesi. Seniman selalu punya obsesi terhadap sesuatu atau apa yang dijadikannya sebagai karya seni. Saya terobsesi oleh jalak bali,” sahut Hardiman.
Tentu saja obsesinya itu punya riwayat. Dulu, sekitar tahun 1980-an, Hardiman terlibat dalam satu penelitian jalak bali di Pulau Menjangan, sebuah pulau di utara Bali bagian barat.
“Yang menarik dari jalak bali adalah ketakutan terhadap manusia. Ia mempunyai rasa curiga yang amat besar terhadap makhluk yang lain,” kata Hardiman.
Sejak itu ia punya obsesi untuk melukis jalak bali. Pada mulanya ia melukis jalak bali secara nyata, atak katakanlah secara realis. Ia menangkap dan melukis jalak bali itu dalam proporsi dan anatomi yang mendekati senyata-nyatanya jalak bali.
Namun, berangsur-angsur kemudian terjadi gubahan pada pencarian bentuk. Hardiman mencari bentuk dan kemudian menemukan sari-patinya atau esensi dari perwujudan jalak bali itu.
Hardiman justru tidak mempersoalkan kemisterian jalak bali atau tidak mengungkapkan kecantikan jalak Bali. “Tetapi, saya malah menjadikan jalak bali sebagai titik berangkat untuk menuju ke persoalan visual.
Konsep Seni Modern
Nah, lukisan yang dipamerkan di Bandung kali ini juga masih menjadi bagian besar pencariannya terhadap obyek jalak bali yang ditekuninya sejak tahun 1980-am.
Dalam pameran kali ini, menurut Hardiman, ia ingin memperlihatkan karya terbarunya, dengan konsep yang masih lama. Yakni konsep seni modern.
“Seni modern itu kan percaya kepada aspek visual saja. Garis untuk garis. Bidang untuk bidang. Warna untuk warna. Kalau seni kontemporer, garis, bidang, warna dan seterusnya merupakan alat untuk mengatakan sesuatu,” ujar Hardiman.
Studio sekaligus rumah Hardiman di Singaraja
Hardiman lebih lanjut meyakini bahwa garis, bidang, warna, ya untuk garis, bidang, dan warna saja. Dengan keyakinan seperti itu, Hardiman tetap menganggap dirinya sebagai penganut formalism, penganut modernism, penganut masa lalu, kuno. “Ya, seni rupa tahun 1970-1980-an,” katanya.
Hardiman mengatakan, paham seni rupa modernisme itu sampai sekarang masih dia anut. Walaupun dalam kritik seninya, Hardiman justru mengarahkan atau membongkar seniman dari aspek seni kontemporer.
“Tapi dalam praktik berkarya, saya tidak punya alat atau bahasa untuk mengatakan kekontemporeran saya. Jadi ketika saya menggambar warna, ya warna sebagai warna saja. Hijau sebagai hijau saja. Tidak dimaknai apa-apa. Merah ya merah saja. Jadi murni visual,” tegasnya.
Harakat Warna
Hardiman menjelaskan, dari 50 lukisan yang akan dipamerkan, tidak ada lukisan yang diistimewakan atau ditonjolkan. Semua karya sama saja. Tetapi, ia mengakui, ada karya tertentu yang pencapaian estetiknya melebihi yang lain.
Ada, misalnya lukisan yang mengalami proses lebih panjang dan berisi sejumlah temuan-temuan baru, antara lain dalam hal pengolahan warna, pengolahan tekstur, pengolah garis atau pengolahan bidang.
Dan tak pesan-pesan khusus yang ingin ia sampaikan dalam pameran itu. “Pesan visual saja,” kata Hardiman.
Artinya, kata dia, bahwa lukisan itu mengandung unsur visual. Garis, bidang, warna, tekstur. “Saya ingin mengapresiasikan empat unsur tadi kepada publik untuk dinikmati. Menikmati garis, menikmati bidang, menikmati tekstur dan menikmati warna,” kata Hardiman.
Dari empat unsur visual itu, Hardiman mengakui pada pameran kali ini ada penonjolan di bidang warna. Karena itulah pameran ini bertajuk “Harakat Warna Hardiman”.
Karya Hardiman
Kurator pameran, Rizki A. Zaelani atau Kiki, setelah melihat-lihatnya lukisan Hardiman, mengatakan, bahwa dalam hal mengembangkan warna, Hardiman sudah sampai pada tingkat harakat. Harakat warna.
“Hijau misalnya, dikasih warna apa lagi akan menjadi hijau yang lain. Dikasih warna lain menjadi hijau yang berbeda lagi. Jadi saya dalam hal warna mengolahnya menjadi harakat,” kata Hardiman.
Atau dalam istilah kritikus seni dari Perancis, Jean Couteau, Hardiman merupakan seniman colourist. Pandai memainkan warna.
Hardiman juga mengaku, dalam melukis, betul-betul murni menyampaikan pesan visual. Tidak seperti pelukis kontemporer yang dalam karya-karya berisi pesan politik, pesan sosial. Karya-karya pelukis kontemporer diberi muatan.
“Jadi saya itu seperti Sutardji Calsum Bachri di puisi. Ia mengembalikan kata pada kata. Tidak ada makna di balik kata itu. Misalnya puisinya Pat Pit Put. Tidak ada makna apa-apa,” jelasnya.
Kenapa tidak tertarik memberi muatan dalam karya-karyanya? Menurut pelukis yang telah menerbitkan sejumlah buku ini, bahasanya untuk seni lukis tidak sampai untuk memberi muatan.
“Kalau drawing (gambar) atau grafis atau fotografi itu nyampe. Ada pesan. Tapi untuk lukis, saya tidak sanggup. Saya pernah mencoba, tapi tidak bagus ungkapannya. Verbal sekali. Terlalu murah jadinya. Jadi, ya sudah, saya kembalikan ke hakikat seni lukis tadi,” katanya.
Selain itu, kata dia, bagi penganut prinsip seni modern, muatan itu mengotori seni. “Saya seorang modernis. Modernis total,” tegasnya.
Kenapa memilih pameran tunggal di Bandung? Hardiman mengatakan, dirinya pertama kali melukis ya di kota kembang tersebut, kemudian menyerap dialek Bandung. Menurutnya, pada tahun 70-an akhir hingga pertengahan 80-an, ia tinggal dan studi di IKIP Bandung (UPI sekarang). Lingkungan Bandung ini sangat mengepung pilihan bahasa visual Hardiman.
“Itulah dialek Bandung yang saya rasakan dari guru saya Popo Iskandar, Oho Garha,Hidayat, Nanna Banna, dan Bambang Sapto. Juga dari lingkungan Bandung lainnya seperti Ahmad Sadali, AD Pirous, Syamsudin Bimbo, Ummi Dahlan, Heyi Mamun, dan lain-lain,” katanya.
Seni rupa Bandung tahun 70, 80-an itu bagi Hardiman adalah dialek visual yang menurunkan ikon-ikonnya dalam daya serap visualnya. Karena itulah lukisan bagi Hardiman adalah persoalan visual belaka. Hal lain di luar itu hanyalan bumbu yang menghilangkan unsur pokok.
“Saya mungkin seorang formalis yang hanya percaya pada persoalan visual saja. Tak masalah bagi saya. Ini mungkin masa lalu dalam konsep seni rupa kontemporer. Tak masalah. Bukankah prinsip “apapun boleh” dalam seni rupa kontemporer yang artinya formalis pun boleh?” ujarnya.
Menurut Hardiman, kali ini ia menggelar pameran tunggal di Badung ingin memperlihatkan, apakah dirinya punya ideolek. Apa hanya pemakai dialek Bandung saja. “Tapi saya yakin saya punya idiolek,” tambahnya.
Karya Hardiman
Hardiman yakin ia punya idiolek yang khas dirinya. Terutama dalam hal warna. Warna tidak ditemukan di pelukis lain di Badung. Karena itu, kata dia, perlu semacam pertunjukan kepada publik Bandung bahwa ia adalah pelukis yang mengembangkan ke-Bandung-annya di Bali dan menemukan idioleknya sendiri.
Ketika Hardiman masih di Bandung, ia mengaku tidak tertarik mempersoalkan warna. Tekstur juga tidak. Lukisan ya lukisan saja. Tekanannya tidak penting, pokoknya lukisan.
Tapi setelah di Bali, karena ia bergaul secara budaya di Bali, melihat kuliner Bali, melihat fashion Bali, pakaian Bali, itu semuanya warna full. Dan tidak harus harmonis. Bisa disharmonis. Komplementer. Bisa tabrakan. “Itu mempengaruhi pikiran saya tentang warna,” kata Hardiman. [T]Ado/*]