Sebagai manusia Bali yang terlahir di Ubud—salah satu destinasi pariwisata dan kesenian di Bali—membuat Gede Agus Krisna Dwipayana atau yang biasa dipanggil De Krisna mengenal kesenian tradisional sejak dini. Bagaimana tidak?
Dari ia kecil De Krisna sudah melihat jalanan yang penuh dengan turis, toko-toko souvenir, dan lukisan, dan sanggar tari tradisional yang bertebaran di seputaran Ubud. Dan beruntungnya, anak-anak SD pun sudah bisa mengikuti sanggar tari secara gratis di puri Ubud. Hal ini yang menjadi katalis yang tepat untuk De Krisna kecil untuk berkecimpung di dunia seni tari.
Gede Agus Krisna Dwipayana (tengah) dalam Sesi Sharing Methode di halaman Amatara Agung Raka, Ubud
Berawal dari ikut-ikutan teman membuat De krisna mempelajari seni tari. De Krisna bercerita kepada saya bagaimana dulu teman-teman sebayanya lebih memilih untuk mengikuti sanggar. Kebetulan, salah satu ayah dari teman De Krisna memiliki sanggar. Sehingga ia dan teman-temannya yang lain selalu datang dan berlatih di sanggar itu.
Sejak De Krisna lulus kuliah dan baru berkarir sebagai penari, banyak hal yang telah ia garap. Salah satunya, ia bekerja sama dengan komunitas skateboard dan membuat sebuah pertunjukan di lokasi-lokasi tidak konvensional seperti di pasar, di jalan raya.
Para pemain menggunakan skateboardnya tampil di depan umum memakai kostum hanoman. Hal ini sebagai hasil dari bentuk temuannya dari observasi para penari ubud yang sudah menggunakan kostum dari rumah mereka sebelum mereka tampil.
I Komang Adi Pranata (tanpa baju) dan Gede Agus Krisna Dwipayana (kanan) dalam persiapan presentasi pertunjukan di Mandala Wisata, Desa Bedulu-Gianyar
Ada pengartian yang menarik ketika De Krisna mepertunjukan karyanya di acara Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 yang terselenggara di Bali. De Krisna bersama Ayu Anantha (salah satu perserta Temu Seni Indonesia Bertutur) berkolaborasi untuk menampilkan karya berjudul “Nasarin”.
Karya ini terinspirasi dari gerakan memijat setelah latihan. Ia menjahit gerakan saat memijat menjadi sebuah pertunjukan. Dalam konteks yang lebih dalam, hal ini menunjukan bagaimana dalam latihan tari di Bali yang notabenenya sebagai fondasi seorang penari, para pelatih biasanya berada di belakang tubuh murid anak didiknya. Hal ini jelas berbeda 180 derajat dari cara latihan penari Barat yang di mana pelatihnya berada di depan para murid penarinya.
Sebagai seorang penari yang memiliki latar tari tradisional Bali yang kuat, De Krisna selalu mencoba melakukan dobrakan-dobrakan baru. Ia pernah mencoba merekonstruksi beberapa tradisi yang ada. Salah satu contohnya adalah ketika ia menciptakan koreografri beleganjur “Wos” pada Pesta Kesenian Bali.
Ia mengetahui bahwa ia mungkin akan dihujat orang banyak karena menyimpang dari tradisi yang ada. Namun secara sadar, ia lakukan hal itu karena ia ingin menciptakan hal baru di antara tradisi yang sudah ada.
Gede Agus Krisna Dwipayana dalam persiapan presentasi pertunjukan di Mandala Wisata, Desa Bedulu-Gianyar
Beberapa seniman yang menjadi inspirasi De Krisna salah satunya adalah almarhum Nyoman Sura. Dari beliau, De krisna belajar untuk pertama kalinya tarian kontemporer yang jauh berbeda dari estetika tradisi yang ia pelajari sebelumnya.
Terkejut? Tentu. Tapi ia merasa hal ini yang membuat ia matang sebagai seorang penari. “Kalau kita berkecimpung di tradisi aja, kayaknya kita bakal jauh ketinggalan,” ujar De krisna.
Ia juga menambahkan kalau ia tidak akan meninggalkan tekhnik tari bali, tetapi perkembangannya ia buat menjadi kontemporer.
Ni Komang Ayu Anantha Putri (depan) dan Gede Agus Krisna Dwipayana (belakang) dalam presentasi pertunjukan di Mandala Wisata, Desa Bedulu-Gianyar
Gede Agus Krisna Dwipayana (belakang) dalam presentasi pertunjukan di Mandala Wisata, Desa Bedulu-Gianyar
Selain itu, ada juga Anak Agung Oka Dalem yang menginspirasi De Krisna. Beliau merupakan penari kebyar duduk peliatan yang sampai sekarang masih melestarikan gaya mengajar peliatan.
Saat ini, De Krisna tetap fokus mengajar dan menampilkan tari tradisi Bali. Tapi sedikit demi sedikit, ia selalu mencoba batas ambang dan menginovasi dari tari-tari tradisi tersebut.[T]