“Bayangkan bahwa bagian tubuh dari pinggang hingga ke bawah kita lumpuh, tidak bisa bergerak sama sekali. Lalu kembalilah bergerak dengan hanya memfokuskan bagian atas tubuh masing-masing”
Angelina Ayuni Praise dalam sesi Sharing Method di Pura Gunung Kawi
Kira-kira begitulah bunyi instruksi Angelina Ayuni Praise (Yuni), pada sharing method yang diberikannya pada Rabu, 20 Juli 2022 di Hotel Amatara Agung Raka, Ubud, Bali, dalam kegiatanTemu Seni Tari, Indonesia Bertutur 2022 yang diadakan oleh Kemendikbud.
Saya menyimak dan memperhatikan dengan cukup serius kegiatan sharing method darimasing-masing peserta dari awal hingga akhir. Yah, ini kesempatan bagi saya, mencuri-curi ilmu yang mungkin bisa saya terapkan pada latihan-latihan teater yang masih saya tekuni.
Angelina Ayuni Praise dalam sesi Sharing Method di Amatara Agung Raka, Ubud
Tiga peserta yang ditunjuk oleh Yuni yakni, Gede Agus Krisna Dwipayana (Bali), Ayu Permata Sari (Lampung), dan Yezyurini Forinti (Maluku). Pada awalnya, peserta yang ditunjuk menarikan tarian tradisi khas dari masing-masing daerah. Semuanya menari dengan lincah, menggerakan seluruh bagian tubuh atas dan bawah. Hingga pada akhirnya,
Yuni memberikan instruksi untuk mematikan total bagian bawah tubuh (dari pinggang hingga telapak kaki), dan meminta mereka tetap melanjutkan tariannya dengan hanya mengaktifkan bagian atas tubuhnya. Ketiga penari seketika mengikuti arahan, bersimpuh pada lantai, seolah-olah kaki mereka memang tidak bisa difungsikan seperti biasanya.
I Komang Adi Pranata (kiri) dan Angelina Ayuni Praise (kanan) dalam sesi Sharing Method di Amatara Agung Raka, Ubud
Saya semakin fokus, kemudian menangkap kesamaan tentang bagaimana liukkan tangan, pinggang, leher, dan kepala yang ternyata terlihat semakin kuat. Apakah mungkin karena yang terfokus untuk dilihat adalah bagian atas saja sehingga para penari berusaha memperlihatkan itu dengan semakin jelas? Atau malah dikarenakan bagian bawah yang tidak difungsikan sebagaimana mestinya, membuat bagian atas tubuh semakin bekerja ekstra, dan membuat pergerakkannya menjadi semakin tegas?
Alis saya mengkerut menerka jawaban.
Malam hari, setelah selesai semua kegiatan yang cukup padat, saya meminta waktu Yuni untuk ngobrol tentang proses kreatifnya hingga menjadi salah satu koreografer. Melalui kecintaanya pada seni tari, dan adanya kesadaran tentang belum adanya salah seorang pun yang berani ataupun berniat melanjutkan pendidikan pada ranah kesenian—khususnya seni tari—di daerahnya, membuat ia merasa tertantang untuk merantau, mencari ilmu, dan pengalaman di luar daerah asalnya. Ia memilih Institute Kesenian Jakarta.
Terlahir di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, membuatnya terbiasa dengan budaya tari timur: memiliki kecenderungan gerak yang lebih menonjolkan kelincahan tubuh bagian bawah. Budaya tari timur yang identik dengan konsep tari pesta, menurutnya justru tidak memiliki pakem-pakem khusus untuk melatih tubuh bagian atas. Sayangnya, tidak ada rekan yang bisa diajaknya berdiskusi tentang ketubuhan dan konsep yang ia amati. Pada akhirnya, ia membawa memori ketubuhan yang masih sebatas gerak tari tradisional.
Angelina Ayuni Praise (tengah) dan tiga peserta lainnya dalam persiapan presentasi pertunjukan di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Keadaan itu menyulut rasa tidak percaya dirinya ketika diharuskan bersanding bersama mahasiswa lainnya selama menempuh pendidikan. Ia menyadari bahwa kosa bentuk yang dimiliki tubuhnya tidak seberagam teman-temannya. Walau demikian, di dalam proses belajarnya, ia menemukan metode gerak atas-bawah yang membantunya untuk mengakali bagaimana ketubuhannya yang masih bergerak tak terlepas dari budayanya selama ini.
Ya, metode atas-bawah: tentang bagaimana kesadaran gerak tidak hanya pada bagian bawah tubuh saja, namun secara bergantian juga harus difokuskan untuk bisa menyeimbangkan keseluruhan tubuh.
Angelina Ayuni Praise dalam persiapan presentasi pertunjukan di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Kebiasaan yang selama ini ada, ternyata juga dirasa mempengaruhi proses penghapalan gerak. Keterbiasaan akan bagian bawah tubuh yang bergerak dominan, membuatnya semakin mudah menghapal gerakan-gerakan yang melibatkan kaki. Berbanding terbailiklah dengan kemampuan dalam menghapal gerak bagian atas tubuhnya.
Ia merasa bahwa ternyata, kurangnya pengalaman gerak yang melibatkan bagian tubuh dari pinggang hingga bagian atas selama ini, membuat ia lebih susah untuk mengingat gerakan yang diberikan. Hingga pada akhirnya, ia merasa bahwa metode atas-bawah ini juga bisa menjadi jembatan untuk kembali menyetarakan kemampuan otaknya dalam mengingat gerak-gerakan kompleks.
Dalam kesempatan ngobrol bersama dengan Angelina Ayuni Praise, saya tak ingin melewatkan kesempatan untuk menanyakan tentang isu yang ia tekuni. Mata Yuni saat itu sedikit memicing—mengingat garapan karya yang telah diproduksinya—selanjutnya terjadilah obrolan yang semakin menarik untuk saya simak makin jauh.
Jujur, Saya sebelumnya tidak terlalu mengenal tentang Suku Manggarai. Tapi melalui obrolan itu, saya menjadi tahu bahwa ternyata, adat di daerah asal Yuni sangatlah kental. Upacara Wuat Wa’i adalah salah satu upacara yang diambil sebagai contoh gambaran oleh Yuni. Upacara ini merupakan upacara yang dilaksanakan untuk memberikan doa kepada sanak-keluarga (masyarakat setempat) yang akan merantau ke luar daerah, baik melanjutkan pendidikan atau bekerja.
Angelina Ayuni Praise dalam sesi presentasi pertunjukan di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Doa semacam permohonan kelancaran dan kesuksesan bagi siapa saja yang akan merantau. Dari tradisi itulah pada akhirnya menginspirasi Yuni untuk menciptakan karya yang ingin mengatakan bahwa bagaimana tradisi tersebut juga bisa gagal. Yang saya pahami, ia memiliki ketertarikan untuk mengambil ide-ide konsep yang bersinggungan dengan adat dan tradisi yang selama ini hidup berdampingan dengan dirinya. Segala sesuatunya: baik-buruk, berhasil-tidak berhasil, kembali pada diri masing-masing.
Yuni yang saat ini tengah sibuk mengelola sanggar, juga sebagai pengajar mata pelajaran tari di SMK N 3 Komodo, pada akhirnya tidak bisa lagi melanjutkan untuk mengeksekusi ide-ide semacam itu selepas menyelesaikan pendidikannya di IKJ. Hal ini dikarenakan aturan-aturan yang begitu mengikat di daerahnya.
Contoh kecilnya, bagaimana ia terinspirasi melalui gerakan tari Caci atas salah satu karyanya, tapi ia tak berani menyuarakan narasi di balik garapan karena adanya ketakutan menyinggung masyarakat yang memaknai tari Caci sebagai sebuah tari tradisi yang memiliki nilai spiritual tinggi. Selain itu, orang tuanya khawatir, dan berharap Yuni tidak ditimpa masalah ataupun nasib buruk karena kegilaan ide.
Atas semua itu, Yuni memilih kembali berkarya dengan tetap menghargai dan tidak menentang lagi tradisi yang ada di daerahnya. Ia lebih berfokus untuk membuka mata anak-anak muda di daerahnya untuk berani ke luar daerah mencari pengalaman, sekaligus sebagai pengembangan potensi diri yang dimiliki.
Tiba-tiba saya teringat instruksi Yuni pada sesi Sharing Method: “Bayangkan bahwa bagian tubuh dari pinggang hingga ke bawah kita lumpuh, tidak bisa bergerak sama sekali. Lalu kembalilah bergerak dengan hanya memfokuskan bagian atas tubuh masing-masing.” [T]