Peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini, tepatnya Rabu, 17 Agustus 2022, di Pitaloka, Sanur, Bali, tersaji karya-karya penciptaan dari para Dosen Institut Seni Indonesia Denpasar yang terbungkus dalam acara pagelaran seni bertemakan Bhineka Tunggal Ika “Seni Menyatukan Kita”. Tulisan ini mengingat kembali peringatan yang penuh makna itu.
Selain memperingati Hari Kemerdekaan, acara ini juga serangkaian Desiminasi karya seni dalam program penciptaan dan penelitian seni (P2S) ISI Denpasar. Dalam event seni ini tampil mutiara-mutiara nan berharga dari seniman-seniwati Bali yang masing-masing menampilkan sajian karya yang menawan.
Sajian mereka adalah Panji Masutasoma karya Ida Ayu Wayan Arya Satyani, S.Sn., M.Sn., Teater Pakeliran Tutur Candra Bherawa karya Dr. I Gusti Putu Sudarta, S.SP., M.Sn., dan Tari Janger Nusantara Mahardika karya Ni Made Haryati, S.Sn., M.Sn. Ketiga karya ini dikomposisikan dan disajikan dengan sangat luar biasa, salah satu yang menarik perhatian penulis adalah karya Dr. I Gusti Putu Sudarta, S.Sn., M.Sn yang menyinggung tentang keharmonisan dalam perbedaan dan kemerdekaan dalam perjalanan jiwa yang terbalut dalam sajian karya berkonsep Teater Pakeliran.
Tidak ada maksud penulis untuk tidak membahas dua dari tiga karya dalam event ini namun dalam tulisan kali ini penulis akan fokus membedah karya yang penuh pesan dan nilai-nilai toleransi yaitu Teater PakeliranTutur Candra Bherawa karya Dr. I Gusti Putu Sudarta, S.Sn., M.Sn. Mudah-mudahan penulis diberikan kesehatan dan kebahagiaan sehingga kedepan akan membahas dua karya lainnya.
Dalam bagian ini, penulis akan menjabarkan ketertarikan pengkarya yaitu pak Gusti Sudarta (sapaan penulis kepada pengkarya) terhadap konten yang dibawakan sebagai wahana karya Teater Pakelirantutur Candra Bherawa.
Ketika mendengar nama Gusti Sudarta maka pikiran penulis langsung tergiring ke arah karya yang menyajikan “isi dalam kesunyian”. Pandangan penulis terhadap karya-karya yang diciptakan oleh Gusti Sudarta terutama karya ini memang disajikan sangat mengedepankan kesederhanaan mulai dari visual sajian dan musik yang dikomposisikan, walaupun sebagai penunjang dramatik pengkarya menghadirkan beberapa aksentuasi terksenan rame namun secara umum karya ini sangat sederhana. Banyak bagian-bagian yang di tata dengan nada kesunyian (tanpa bunyi) namun kesunyian tersebut dijajali dengan narasi penuh intrik dari imajinasi sang pengkawi (gusti sudarta) sehingga kosong tersebut penuh dengan intrik berselimut narasi.
Kembali ke karya ini yang berjudul Teater PakeliranTutur Candra Bherawa, secara garis besarnya menjadikan karya sastra sebagai wahana dalam sajian. Para leluhur Bali telah memberikan gambaran kehidupan untuk dipahami melalui pesan-pesan maupun tutur-tutur yang mampu membangun jati diri dan spiritualitas (pembentukan jiwa) manusia.Melalui karya-karya seni khususnya karya sastra yang tidak hanya berfungsi sebagai transformator dalam struktur ideologis, tetapi juga bermanfaat untuk mengorganisasikan berbagai kecenderungan sosial, sebagai representasi dominan emosional dan intelektualitas pada masa-masa tertentu (Ratna, 2003: 269).
Karya sastra memiliki berbagai fungsi, dan salah satunya fungsi sosial. Pada mulanya sastra diciptakan oleh seseorang (pribadi), dan kelak berfungsi bagi kehidupan sosial manusia (Artika, 2016:1). Jika kita gali karya sastra tersebut maka akan menemukan nilai-niai, pesan-pesan yang tertata dalam kalimat-kalimat sederhana, namun memiliki makna mampu menjadi pedoman bagi kehidupan. Kearifan lokal mengandung penuntun hidup dan kehidupan banyak terdapat pada karya-karya sastra tradisional Bali.
Gusti Sudarta sebagai pengkarya sangat tertarik dengan Kakawin Candra Bherawa yang dikarang oleh pujangga dan sastrawan Bali yaitu Ida Pedanda Made Sidemen (almarhum) dari Geria Delod Peken Intaran Sanur Denpasar. Nilai-nilai yang terdapat dalamTutur Candra Bherawa bersifat universal sehingga sangat berguna bagi manusia modern saat ini yaitu tentang kebijaksanaan dan spiritual. Lebih jauh gusti sudarta menuturkan bahwa Nilai kebijaksanaan dalam kakawin ini merupakan esensi dari agama yaitu spiritual.
Tokoh yang menjadi pelaku pokok dalam kakawin ini merupakan pengejawantahan sifat luhur kemanusiaan, seperti nama tokoh Candra Bherawa yang berarti budhi yang telah tercerahkan atau telah berada dan mengalami puncak kesadaran. Nilai filosofis dan spiritual yang dimuat dalam kakawin Candra Bherawa ini merupakan esensi universal tentang kemanusiaan dan spiritual. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang seharusnya bebas berekspresi sebagai individu dalam menjalankan ritual dan hayatan keagamaan tidak dikekang atau disekat oleh batasan-batasan konsep dan ideologi ciptaan manusia.
Gusti Sudarta juga menambahkan bahwa Selain naskah Kakawin Candra Bherawa karangan Ida Pedanda Made Sidemen pengkarya juga juga mempergunakan beberapa naskah Kakawin Candra Bherawa versi lain seperti Kakawin Candra Bherawa yang dikarang oleh I Wayan Pamit, koleksi Disbud Prov. Bali, Kakawin Candra Bherawa Griya Kecicang Karangasem, dan Kakawin Candra Bherawa Griya Sidemen Karangasem yang tersimpan di Gedung Kertya Singaraja.
Petikan bait-bait kakawin Gunung Kawi dan geguritan Yadnyeng Ukir karya Ida Pedanda Ngurah yang merupakan pengarang besar Bali abad ke-19 juga dihadirkan untuk memperkuat narasi penceritaan dan dialog. Geguritan Sucita-Subudi karya Ida Ketut Jelantik yang memuat ajaran yoga dan samkya juga dipilih bait-bait tembangnya untuk dipakai dalam garapan chorus vocal chant.
Sosok Gusti Putu Sudarta
Dalam pertemuan penulis dengan Gusti Sudarta bahwa ketertarikan beliau terhadap Kakawin Candra Bherawa karena terbangunnya gaya bahasa sangat indah dan memakai kaidah-kaidah alamkara. Istilah alamkara sering digunakan Gusti Sudarta sebagai sebuah istilah untuk mengekspresikan buah pikiran melalui bahasa (musical) secara khas. Setiap untaian kata-kata yang terkandung dalam Kakawin Candra Bherawa diformulasikan dan dibawakan menggunakan penggayaan matutur tembang dengan lebih banyak mengeksplorasi nada-nada berbau spiritual salah satunya nada slendroyang merupakan sistem urutan nada terdiri dari lima nada dan selisih setiap jarak nada hampir sama dalam satu oktaf.
Pemilihan tembang dengan nada slendro pada karya ini berkaitan dengan keberadaan instrumen musik tradisional gender wayang yang menggunakan nada slendro. Secara tidak langsung penggunaan nada slendro memberi kesan ‘ngewayang’ dalam teater ini. Selain itu, Gusti Sudarta dalam Disertasinya juga menyebutkan bahwa nada slendro memiliki kemiripan dengan Raga Bhupali dalam musik India yaitu susunan nadanya mampu memberikan getaran santa rasa atau kedamaian.
Sebagai sajian karya seni dalam suasana kemerdekaan, karya teater pakeliran yang mengangkat karya sastraTutur Candra Bherawa sangat tepat sebagai cerminan tentang merdeka manusia dalam memilih dan mengekspresikan jiwa tanpa ada kekangan dan tekanan namun tetap dalam batasan yang semestinya.
Dalam tulisan berikutnya penulis akan membahas elemen pembentuk karya ini…. [T]