Tanggal 18-24 Juli 2022 yang lalu, saya bersama peserta rajangan barung tempo lalu mendapat kesempatan untuk menjadi LO peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 sekaligus menjadi “peserta kelas ekonomis”— kami dapat mengobservasi kegiatan yang diselenggarakan secara tidak langsung.
Ada 5 peserta yang saya handle pada saat itu. Salah satunya adalah I Nyoman Krisna Satya Utama. Ia adalah seorang koreografer dan juga penari di Sanggar Seni Saydanco. Banyak prestasi yang telah ia capai, beberapa di antaranya: ia pernah mengikuti tur dan residensi bersama Cie Express Company dan menjadi peserta di dalam program Koreografer Muda Potensial. Dan, Krisna Satya menjadi salah satu peserta dalam kegiatan yang diadakan Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan ini.
Krisna Satya (berbaju hitam tengah) dalam sesi Sharing Method di Amatara Agung Raka
Krisna Satya (berbaju hitam tengah) dalam sesi Sharing Method di Amatara Agung Raka
Malam itu, Ubud cukup dingin dan saya menghampiri Krisna yang baru saja selesai bercengkrama dengan anggota lainnya. Saya yang sudah mengenal Krisna sebelumnya dari acara Rajangan Barung oleh Teater Kalangan langsung menghampiri dirinya dan menanyakan perihal keberlangsungan acara sejauh itu. Tidak lupa juga saya bertanya-tanya tentang kehidupannya sebagai, karena sebelumnya kami tidak pernah memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata. Maklum, jadwal kami cukup padat. Dan, Krisna bisa dikatakan sebagai seseorang yang irit bicara.
Obrolan santai itu membawa kami ke dalam topik yang tidak pernah kami bicarakan sebelumnya. Pada saat itu saya mengetahui bahwa Krisna masuk ke dunia seni tari karena posisi rumahnya yang dekat dengan pura, sehingga ia sering melihat sendratari yang diadakan di sana. Ia sangat terinspirasi dari tokoh-tokoh yang dimainkan oleh para penari pura. Dan, dari situ, diam-diam, Krisna mulai menari tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sampai suatu ketika, ia terjatuh karena lantai yang licin dan menangis. Tapi lucunya, ia menyembunyikan hal itu dari orangtuanya.
Sesungguhnya, kreativitas Krisna tidak berhenti di tari saja. Ia juga membuat propertinya sendiri dan menggunakan kaleng-kalengan sebagai gamelan untuk dimainkan bersama teman-temannya. Hal ini juga yang menjadi salah satu pemicu Krisna untuk menjadi seorang seniman. Krisna muda menganggap pelajaran SMA sulit. Dan, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di SMKN 3 Sukawati, lalu ISI Denpasar dengan jurusan Program Studi Seni Tari.
Krisna Satya dan peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur dalam worskshop Cak Rina
Penampilan Krisna Satya dan Ela Mutiara dalam sesi Kunjungan Budaya, Desa Teges
Merasa jenuh dengan pakem-pakem tari tradisi Bali, Krisna Satya akhirnya mulai merambah ke tari kontemporer yang lebih lebar membuka ruang kemungkinan. Dari situ ia juga mulai menciptakan tariannya sendiri dan menjadi seorang koreografer. Dari tarian yang ia ciptakan, ia menjadi lebih dekat dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini tercermin dari setiap gagasan garapan yang ia ceritakan.
Salah satu garapan Krisna yang menurut saya cukup menarik adalah Sikut Awak, yang berangkat dari pengetahuan tentang cara mengukur dalam membuat bangunan. Sikut Awak sendiri berfokus pada korelasi tubuh dan ruang, tubuh sebagai matrik yang menentukan ukuran ruang bangunan. Hal ini dimulai dari proses pembagian lahan hingga pembuatan bangunan itu sendiri. Hal yang membuat Sikut Awak menjadi menarik adalah unsur arsitektur Bali dalam menghitung dan menentukan luas dan bentuk bangunan yang kemudian ditranslasi menjadi bentuk tarian.
Saya sendiri cukup terkesan, bagaimana bisa ada orang yang bisa memasukan unsur arsitektur yang kaku ke dalam sebuah gerakan tubuh manusia yang dinamis, lebih-lebih tari. Beruntungnya, saya dapat melihat langsung pertunjukan “Sikut Awak” ketika Krisna Satya membawakannya di hari ke-4 Temu Seni Tari ini. Ia membawakan pertunjukan ini dibantu oleh Ela Mutiara Jaya Waluya.
Ketiadaan lagu yang mengalun dalam pertunjukan Krisna, membuat seisi panggung menjadi senyap. Properti bambu yang diseret oleh Krisna dan Ela mengeluarkan suara yang mengisi ambiens panggung, dan membuat saya terfokus pada setiap gerakan yang dibawakan Krisna Satya. Bambu yang dibawa oleh Krisna Satya menjadi properti tari sekaligus menjadi ekstensi tubuhnya. Banyak sekali referensi gerakan ukur-mengukur yang ditunjukan, seperti mengukur tanah, dan mengukur anggota tubuh penari lainnya. Tidak hanya itu, yang menjadi menarik bagi saya dari pertunjukan ini adalah terdapatnya suatu terma bentuk di mana Krisna dan Ela sedang mengukur langkah kaki. Hal ini cukup fundamental karena gerak dan ruang merupakan elemen penting bagi seorang penari.
Krisna Satya (kiri tengah) dalam pertunjukan tari berjudul “Secret Coco”
Pertunjukan yang dibawakan oleh Krisna menjadi sesuatu yang membuka mata saya, bahwasanya inspirasi untuk membuat suatu gerakan tarian tidak harus terpaku oleh objek yang bergerak; tidak harus melulu berangkat dari fenomena alam di mana laut yang bergerak atau kijang yang melompat menjadi inspirasi gerakan tari—sebagaimana yang saya lihat pada kebanyakan koreografer, terinspirasi dari benda-benda yang bergerak. Kadang dari sebuah batu bangunan yang diam pun juga bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan tarian.
Bagi krisna sendiri, Sikut Awak menjadi salah satu pertunjukan yang berkesan baginya. Karena Sikut Awak merupakan salah satu karya awal yang ia pernah buat secara original dan pernah didokumentasikan dalam bentuk video. Video ini pernah dipublikasikan dalam Helatari Salihara di tahun 2021. Dari sana, ia juga belajar bagaimana mengedit sebuah tarian ke dalam sinematografi yang dimana ia bisa bereksperimen untuk menunjukan apa yang bisa ia masukan ke dalam setiap shot dan perspektif kamera.
Untuk proyek selanjutnya, Krisna Satya yang saat ini sedang sibuk mengembangkan sebuah sanggar, berencana untuk mengangkat isu sampah yang berada di sekitaran Beji (tempat pemandian untuk membersihkan pikiran dan jiwa secara spiritual). Hal ini dilakukan karena ketertarikannya terhadap lingkungan, khususnya lingkungan yang berada di Bali. [T]