14 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Ketika Mata Bajak Menengadah Langit : Pemberontakan Estetik Ketut Putrayasa

I Wayan WestabyI Wayan Westa
September 10, 2022
inUlas Rupa
Ketika Mata Bajak Menengadah Langit : Pemberontakan Estetik Ketut Putrayasa

THE LAST STRONGHOLD, BENTENG TERAKHIR, seni instalasi karya Ketut Putrayasa

//Entah, apakah kita sedang merayakan hidup atau tengah merayakan kematian.//

THE  LAST STRONGHOLD, BENTENG TERAKHIR.  Begitu Ketut Putrayasa  memberi nama karya seni instalasi  terbarunya. Dihanyam  dari jalinan bambu, menyerupai tiga mata bajak, berderet tegak menengadah langit.   Plintiran bambu    menyerupai bulir padi, sepintas   terlihat seperti  kelamin wanita. Di sisi ujung barat, ruang segi tiga  dijulur ranting bunga padi. Tiang-tiang penyangga mata bajak menancap ke tanah, diseka  suara “sunari”  dihembus semilir angin, sarana yang kerap disajikan dalam upacara-upacara penting di Bali.  Entah,  suara “sunari” itu kini terdengar seperti   keluhan  dari masa lalu —   dirasakan  layaknya rasa was-was petani yang segera  terusir dari ladang upacara  tanah leluhur.

THE LAST STRONGHOLD tergelar di hamparan tanah huma yang secara masif  tengah dirangsek bangunan-bangunan  villa yang moncer, mentereng dan angkuh  menjadikan huma hijau itu tumbal industri pariwisata. Bayang-bayang benteng terakhir peradaban agraris  amat nyata di depan mata.  Ya, huma yang tak seberapa luas ini,  terletak di Subak Padang Dalem, Kecamatan Tegalalang, Gianyar  terasa seperti  menunggu hari-hari penghabisan. Mesin kapitalisme segera mengeksekusi, lalu lanskap imajiner itu pun  hapus.

Frasa  ‘padang dalem’ mengingatkan kita pada kata-kata kuna Nusantara, yang boleh kita maknai sebagai ‘cahaya dari dalam’ —  cahaya yang berabad-abad menjadi sumber hidup  petani, tempat keluh kesah diterjemahkan dengan kerja. Bukankah sawah itu adalah juga  cahaya bagi pemulia tanah.  Universitas kesabaran bagi  petani yang merawat  dan  memuliakan ibu bumi —  upacara nyata  kaum karma kanda,   di jalan doa  dalam  tindakan. Hanya dengan cara itulah  petani merawat tanah air.

Subak Padang Dalem memang   persis  benteng terakhir  peradaban pertanian Bali.  Dikitari tebing terjal, pohon-pohon hijau dan air yang mengalir pelan sungguh seperti  kerisauan  kontemplatif. Teater penghabisan panggung para petani. Satu peradaban yang pelan-pelan kikis di hadapan industri pariwisata  nan glamour, hedonis, genit,  namun ringgkih. Di titik ini lamat-lamat manusia tak lagi menghargai tanah sebagai ibu bumi. Ibu dari segala ibu, pemberi hidup semua yang hidup — lalu huma itu tak lagi menjadi lanskap imajiner, dimana tanah cuma dipandang sebagai  hamparan  pendulang material.

Tiang-tiang beton, cakar-cakar besi, tak cuma menunjukkan bahasa keangkuhan, namun juga panggilan kuburan masa depan. Sementara krisis  pangan kian menjadi-jadi —   dan subak beralih fungsi dengan  nada ketus. Biota huma dan jazad renik penjaga tanah  terusir dari hidup yang nyata, diberondong pupuk kimia, pestisida dan fungisida. Pura Subak ditinggalkan,  beralih bisnis reksa dana, crypto yang melahirkan kaum rebahan. Orang-orang berlomba hidup dalam   semangat  memiliki,   ia tak lagi menikmati proses, kehilangan imajinasi,   lalu lunglai   dalam kenikmatan tubuh.

THE  LAST STRONGHOLD, BENTENG TERAKHIR karya seni instalasi Ketut Putrayasa

Ya, di lanskap huma yang subur itu, Ketut Putrayasa seperti tengah menangisi ibu bumi,  ia melakukan devosi kreatif, menggugat sekaligus menyerah pasrah, atau bahkan menghujamkan sebentuk kegeraman. Putrayasa mempertanyakan  kebajikan agraris yang dititipkan leluhur,  yang dalam pandangannya  cuma menjadi gincu untuk hidup yang meriah, dangkal,   kehilangan makna  demi hidup  lebih  luhur,  tanpa kedalaman, dan batin yang kering, poranda  janji-janji pembangunan, bahwa masa depan  kelak akan menjadi lebih baik. Ia sedih, orang-orang dimakan jargon, terlena citra yang dibangun para birokrat rakus.

Lewat medium bambu, yang  menyerupai mata bajak menengadah langit itu, Ketut Putrayasa tengah menghadirkan “lelakut” baru  ke tengah-tengah kesadaran kita. Bila dulu, “lelakut”  dihadirkan di tengah sawah menyerupai orang-orangan, itu dibuat hanya untuk mengusir burung pencuri padi. Kini  lewat  “ritual  kreatif”  THE LAST STRONGHOLD,   Ketut Putrayasa tak cuma mengusir burung-burung penghama padi, akan tetapi ia terpanggil memberi penyadaran, bahwa THE LAST STRONGHOLD adalah “lelakut” baru yang memberi kita ruang pemernungan arti dari huma untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Berabad-abad sawah bagi orang Bali bukanlah cuma penyangga kekuatan ekonomi semata. Namun sawah telah menjadi altar imajiner, tempat orang Bali melakukan doa dalam tindakan — mulai dari upacara amaluku, upacara pengolahan tanah setelah upacara mapag toya, upacara menjemput air, hingga padi   dipermulia  sebagai   wadag Dewi Sri di sebuah tempat bernama jineng.

 Seni Penyadaran

Apa yang  digelar Ketut Putrayasa di areal Subak Padang Dalem — sesungguhnya ia sedang penyapa, betapa  kita  telah jauh  memunggungi  kebajikan-kebajikan kuna,  abai pada tradisi yang hingga kini sungguh tidak ada orang  yang bisa hidup tanpa tanah. Tanah tempat dari mana muasal segala yang tumbuh telah mengantarkan semua yang hidup tetap bertahan hingga detik ini. Karenanya,  betapa subak dalam konteks kebudayaan Bali menemukan gen-kulturalnya tidak saja  menunjukkan kekuatan  sosia ekonomi. Namun menunjukkan pula bagaimana orang Bali berkebudayaan; mengolah tanah,  merawat air dengan  takzim serta menjalankan manajemen  penuh keadilan dalam spirit sosio-religius.

Kita menemukan jejak-jejak tertulis di sejumlah prasasti Bali tentang bagaimana air  dikelola untuk organisasi tradisi yang disebut subak — satu kultur agraris yang kini tengah dirundung senja kala — poranda menuju tepian zaman. Tengoklah misalnya data yang diberikan Prasasti Trunyan, disitu ditemukan kata ‘serdanu’ yang diduga  sebagai jabatan  untuk Kepala Urusan Air Danau. Boleh jadi, dari sini kata “ser”  berkembang kemudian menjadi  ‘pakaseh’,  julukan untuk pengurus subak di Bali. Sementara menurut data-data resmi prasasti Bali, kata subak  misalnya, berasal-usul dari kata “suwak”, satu wilayah yang di masa  lalu disebut sebagai  “kasuwakan”. Kata ini tercatat dalam prasasti Pandak Badung yang dikeluarkan raja Anak Wungsu pada tahun 1071 Masehi. Data yang sama juga termaktub dalam prasasti Banjar Celepik, Desa Tojan, Klungkung, prasasti Pangotan, Bangli, dan Prassasti Bwahan, Kintamani, Bangli.

THE  LAST STRONGHOLD, BENTENG TERAKHIR karya seni instalasi Ketut Putrayasa

Dari data-data prasasti Bali itu, kita tidak saja menemukan catatan epigrafi perihal betapa tua organisasi manajemen air di Bali  guna membangun kemandirian sosia-ekonomi orang Bali saat itu. Data-data kewilayahan dan topografi perihal subak masih bisa kita saksikan walau dengan nada sedikit compang-camping digusur alih fungsi lahan dan desakan masif hutan-hutan beton yang dingin sebagai tanda perayaan ‘kemakmuran’  baru.

Tapi toh bagi orang Bali di masa lalu subak  tak cuma menunjukkan fundamen kekuatan sosio-ekonomi. Namun dari wilayah subak yang penuh imajiner itu, orang Bali belajar mengolah hidup dari kesabaran tanah, bahwa dunia agraris bukanlah dunia yang tergesa-gesa. Ia di satu sisi menunjukkan  tindakan meditatif  sebagai dunia yang  senantiasa ‘menunggu’. Menunggu musim tanam yang cocok untuk mengurangi resiko hama disebut kretamasa. Menunggu penyubur alami membusuk  menjadi nutrisi penting  bagi tanaman. Menunggu padi menguning hingga  waktu mengetam dan menaikkan ke tempat penyimpanan padi yang disebut lumbung. Ini adalah sebentuk  retret kesabaran bagi pemulia tanah. Ruang-ruang asketik  kotemplatif dalam peradaban agraris.

Pada setiap ritus atau upacara yang berkaitan dengan  sawah, adalah juga  sebentuk devosi  penuh penantian dalam  keheningan. Sebutlah misalnya, soal Nyepi di sawah, upacara penuh hening ini digelar pada bulan-bulan tertentu  dalam  sejumlah  tradisi-tradisi lokal  subak di Bali. Tujuan dan maknanya adalah; menyucikan, mengheningkan wilayah subak supaya segala yang disemai atau ditanam di sawah mendatangkan hasil  melimpah, memberi kesejahteraan lahir batin. Ini juga menjadi  sejenis tindakan kontrol, bahwa sawah sebagai  “mandala dewi sri”, tempat suci  bagi para petani, pejalan karma kanda itu, selalu  menjauhkan diri dari pikiran dan tindakan yang mengotori subak itu sendiri. Itulah makanya, bagi organisasi subak yang tetap  setia menjaga norma-norma suci itu  jadi pemali  melakukan aktifitas yang mengganggu keharmonisan subak.

Mabea kukung  adalah upacara paling mistis yang digelar di sawah sebelum padi-padi itu bunting. Frasa  bea kukung bisa kita  maknai sebagai   hidangan atau persajian  bagi  upacara rahasia “persenggamaan mistis”. Pesenggamaan dimaksud adalah hubungan intim Dewi Sri sebagai Nini Patuk dengan Kaki Patuk, dengan harapan supaya hubungan itu berjalan penuh rasa puncak. Maka  sejumlah jajan beras yang dibungkus  daun  bambu  dan daun kunyit dihidangkan secara meriah. Padi-padi itu lalu dihibur dengan  suara  “sunari”  bernada merdu. Baling-baling kayu atau pindekan  berputar, bersuara tanpa henti.

Itulah gambaran-gambaran imajiner perihal bagaimana merawat sawah  dalam tradisi Bali, ia tidak cuma dipandang sebagai hamparan tanah, tapi sawah adalah mandala, tempat suci bagi petani pemulia bumi, pemuja Dewi Basundari atau Ksiti Sundari, Dewi Pemberkah Tanah. Ia yang bergaul dengan tanah senantiasa diberkahi kesabaran dan pikiran yang kuat.

Subak dalam geo-kulturnya paling hakiki adalah juga pusat kebudayaan kreatif, setidaknya kebudayaan dalam tradisi agraris. Di wilayah  ini  dibumikan  bagaimana merawat tanah dengan baik, bagaimana mengelola pembagian air dalam sistem supra matematis  disebut tali kunda. Ini mengisyarat suatu sistem bagaimana air  dibagi dengan adil ke seluruh pengelola subak, mulai dari membangun bendungan,  air mengalir ke telabah, parit, dan jelingjingan, hingga ke kanal-kanal penghubung  dengan amat merata. Begitu juga dengan pengetahuan pengendali hama ramah lingkungan sebagaimana kemudian  tersurat dalam lontar Usada Sawah —  teks yang memberi petunjuk bagaimana mengatasi hama  dan gangguan binatang seperti tikus, kera, gagak, burung, wereng, walang sangit dan sebagainya.

THE  LAST STRONGHOLD, BENTENG TERAKHIR karya seni instalasi Ketut Putrayasa

Sebagai pusat kebudayaan agraris, areal sawah juga  menjadi pusat lahirnya sejumlah kesenian. Sebut saja misalnya,  sekaa arja di masa silam, kerap lahir dari tradisi mengetam padi, di Bali disebut memanyi. Sejarah arja di Desa Negari dan  Singapadu, Gianyar misalnya; terhubung dengan masa silam sekaa manyi itu. Disitu petani pengetam padi, menghibur diri sembari menyanyi, dimana lakon ceritanya diambil dari  cerita-cerita Panji  dalam tradisi kesusastraan Bali.

Norma-norma  yang perlahan hilang inilah yang sesungguhnya tengah dipertanyakan kembali Ketut Putrayasa dengan medium bambu bertajuk: THE LAST STRONGHOLD. Ia seperti memberontak pada situasi di mana tradisi dan norma-norma itu digulung kebaruan khayal yang disebut modernitas. Orang-orang diracuni  kenikmatan badaniah dengan logika libidonomic, tersuruk  kenikmatan nafsu  menguasai  dalam kondisi batin yang kerontang. Inilah kondisi nungkalik hari ini yang dari beberapa dekade mengancam kosmos  agraris kebudayaan Bali. Orang-orang termakan citra,  digulung realitas  hidup yang semu, setelah pusat-pusat kebudayaannya  seperti subak dibuat tak berdaya.

THE LAST STRONGHOLD lalu menjadi semacam seni penyadaran, sekaligus kepasrahan kelam. Manakala gigi-gigi bajak pengolah tanah itu menengadah langit,  itu seperti doa  penuh takzim seorang kreator yang gelisah memandang tanah-air hidupnya poranda di depan mata. Etah, apakah kita sedang merayakan hidup atau tengah merayakan kematian. Yang jelas kita mesti memaknai ulang apa arti cerdas bagi umat manusia, dan apa arti sejahtera bagi hidup bersama. Kesejahteran mungkin tak harus dihitung melulu dari gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan yang mulus. Sementara cerdas tak arus diartikan manusia sukses mengatasi kesementaraan — seperti juga pabrik kimia yang sukses mengatasi hama, dan diyakini  sungguh  memperbaiki hidup dalam kesementaraan. Namun meninggalkan warisan racun yang harus kita hadapi selama beberapa generasi. Dus, ini bukanlah keerdasan. Ini adalah kedunguan yang dirayakan dengan syahwat menggelora. Itulah arti devosi kreatif Ketut Putrayasa, yang semoga bisa menyadarkan kita kembali. [T]

Tags: Ketut PutrayasaSeni InstalasiSeni Rupa
Previous Post

Pohon Pedang Kayu | Cerpen Made Adnyana Ole

Next Post

“Akar Air dan Yang Jatuh” Dalam Percakapan Bersama Alisa Soelaeman

I Wayan Westa

I Wayan Westa

Penulis dan pekerja kebudayaan

Next Post
“Akar Air dan Yang Jatuh” Dalam Percakapan Bersama Alisa Soelaeman

“Akar Air dan Yang Jatuh” Dalam Percakapan Bersama Alisa Soelaeman

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

    ‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

    by Hartanto
    May 14, 2025
    0
    ‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

    BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

    Read more

    Menakar Kemelekan Informasi Suku Baduy

    by Asep Kurnia
    May 14, 2025
    0
    Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

    “Di era teknologi digital, siapa pun manusia yang lebih awal memiliki informasi maka dia akan jadi Raja dan siapa yang ...

    Read more

    Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

    by Pandu Adithama Wisnuputra
    May 13, 2025
    0
    Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

    PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

    Read more
    Selengkapnya

    BERITA

    • All
    • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
      Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

      Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

      May 13, 2025
      “Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

      “Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

      May 8, 2025
      Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

      Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

      May 7, 2025
      Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

      Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

      April 27, 2025
      Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

      Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

      April 23, 2025
      Selengkapnya

      FEATURE

      • All
      • Feature
      • Khas
      • Tualang
      • Persona
      • Historia
      • Milenial
      • Kuliner
      • Pop
      • Gaya
      • Pameran
      • Panggung
        Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
        Khas

        Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

        PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

        by I Nyoman Tingkat
        May 12, 2025
        Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
        Pameran

        Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

        JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

        by Nyoman Budarsana
        May 11, 2025
        Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
        Pameran

        Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

        INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

        by Nyoman Budarsana
        May 10, 2025
        Selengkapnya

        FIKSI

        • All
        • Fiksi
        • Cerpen
        • Puisi
        • Dongeng
          Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

          Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

          May 11, 2025
          Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

          Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

          May 11, 2025
          Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

          Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

          May 11, 2025
          Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

          Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

          May 10, 2025
          Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

          Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

          May 10, 2025
          Selengkapnya

          LIPUTAN KHUSUS

          • All
          • Liputan Khusus
            Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
            Liputan Khusus

            Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

            SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

            by Jaswanto
            February 28, 2025
            Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
            Liputan Khusus

            Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

            SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

            by Made Adnyana Ole
            February 13, 2025
            Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
            Liputan Khusus

            Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

            BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

            by Jaswanto
            February 10, 2025
            Selengkapnya

            ENGLISH COLUMN

            • All
            • Essay
            • Fiction
            • Poetry
            • Features
              Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

              Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

              March 8, 2025
              Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

              Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

              November 30, 2024
              The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

              The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

              September 10, 2024
              The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

              The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

              July 21, 2024
              Bali, the Island of the Gods

              Bali, the Island of the Gods

              May 19, 2024

              TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

              • Penulis
              • Tentang & Redaksi
              • Kirim Naskah
              • Pedoman Media Siber
              • Kebijakan Privasi
              • Desclaimer

              Copyright © 2016-2024, tatkala.co

              Welcome Back!

              Login to your account below

              Forgotten Password?

              Retrieve your password

              Please enter your username or email address to reset your password.

              Log In
              No Result
              View All Result
              • Beranda
              • Feature
                • Khas
                • Tualang
                • Persona
                • Historia
                • Milenial
                • Kuliner
                • Pop
                • Gaya
                • Pameran
                • Panggung
              • Berita
                • Ekonomi
                • Pariwisata
                • Pemerintahan
                • Budaya
                • Hiburan
                • Politik
                • Hukum
                • Kesehatan
                • Olahraga
                • Pendidikan
                • Pertanian
                • Lingkungan
                • Liputan Khusus
              • Kritik & Opini
                • Esai
                • Opini
                • Ulas Buku
                • Ulas Film
                • Ulas Rupa
                • Ulas Pentas
                • Kritik Sastra
                • Kritik Seni
                • Bahasa
                • Ulas Musik
              • Fiksi
                • Cerpen
                • Puisi
                • Dongeng
              • English Column
                • Essay
                • Fiction
                • Poetry
                • Features
              • Penulis

              Copyright © 2016-2024, tatkala.co