Empat perupa asal Bali menggelar pameran dengan tajuk “Art for Humanity” di Teh Villa Gallery, Surabaya. 22 Juli 2022 – 27 Agustus 2022. Empat perupa itu adalah I Made Gunawan, Nyoman Sujana Kenyem, I Putu Sudiana (Putu Bonuz) dan Galung Wiratmaja.
Mereka memamerkan lebih dari lima puluh karya dengan berbagai ukuran. Hasil karya keempat perupa yang memiliki kekhasan dan kekuatan karya masing-masing itu dipadukan dengan indah oleh Teh Villa Gallery dalam satu gelaran karya bersama pada ruang yang lebih luas untuk kemanusiaan.
Seluruh hasil dari tiket masuk dan sepuluh persen hasil penjualan karya akan didonasikan. Pameran diselenggarakan dengan mematuhi ketentuan Protokol Kesehatan dari pemerintah. Jadi, yang ingin melihat pameran sekaligus berdonasi bisa langsung ke Teh Villa Gallery Jl. Rungkut Industri II No. 53 Surabaya pada tanggal 22 Juli 2022 – 27 Agustus 2022. Registrasi online bisa dilakukan melalui link: bit.ly/tehvillagallery
Prolog dari penulis Erma Retang dalam katalog pameran disebutkan Art for Humanity berkait erat dengan Art of Humanity, ekspresi kreativitas yang melekat erat dalam diri manusia. Di mana kita meluangkan waktu untuk menikmati keping-keping keindahan.
Sebagaimana halnya dalam menikmati karya rupa visual. Goresan dan paduan warna menginspirasi mata untuk menerima dan mencerna keindahan yang ditampilkan, lalu rasa (sense) mengolahnya menjadi kepedulian pada pesan yang disampaikan perupa.
Serpih keindahan yang mendorong kita menjelajahi ruang dan waktu menikmati karya seni. Sebagai timbal baliknya, sudah selayaknya membagikan kembali kesadaran olah rasa itu pada kemanusiaan. Seni dari kemanusiaan untuk kemanusiaan.
Pameran ini bertujuan untuk membangkitkan optimisme para perupa dan sekaligus berkontribusi memberikan sedikit bantuan sebagai bentuk kepedulian sosial dan berbagi pada yang membutuhkan. Teh Villa Gallery mengundang Made Gunawan, Nyoman Sujana Kenyem, Putu Sudiana dan Galung Wiratmaja untuk membawa warna abstrak figuratif, abstrak dekoratif dan realis, menyatukan ragam gaya lukisan untuk diapresiasi oleh berbagai kalangan.
“Sebuah langkah kecil, di antara kesibukan dan rutinitas didasari dengan niat yang positif untuk berbagi manfaat pada sesama,” tulis Erma Retang dalam katalog pameran.
Tentang Empat Perupa
Empat perupa Bali dengan latar belakang budaya seragam, menghasilkan karya berbeda dengan ruh tradisi yang sama. Keragaman dalam kesamaan diracik manis dalam satu gelaran karya, mengajak kita membasuh daki kehidupan melalui olah rasa seni visual.
Dari kiri ke kanan: I Made Gunawan, Nyoman Sujana Kenyem, Putu Bonuz Sudiana, Galung Wiratmaja | Foto-foto diambil dari katalog pameran
- I Made Gunawan
Perupa ini lahir 49 tahun lalu di desa kecil Apuan di Baturiti, Tabanan, Bali. Ia dibesarkan dalam tradisi Bali yang kental, tumbuh dalam sebuah keluarga seniman tradisional. Sejak kecil ia gemar menggambar.
Ia mulai belajar tentang garis dan warna saat menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama, lalu menekuni teknik seni modern hingga berlanjut di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar (sekarang, Institut Seni Indonesia Denpasar) pada tahun 1995 – 2001.
Karya-karya Gunawan berkisah tentang harmoni antara manusia dengan hewan, manusia dengan tumbuhan dan bahkan manusia dengan manusia yang melahirkan tenggang rasa. Guratan garis lurus, tarikan luwes lengkung, cipratan pun lelehan cat serta pemakaian warna dasar yang campur aduk dalam warna-warna alamiah, menyimbolkan kecintaannya pada alam semesta.
Tak berhenti pada yang kasat mata, imajinya bergerak menjamah ruang-ruang diluar jangkauan nalar dengan cara memformulasi ulang bentuk-bentuk hewan, semisal gajah yang menjelma menjadi (yang disebutnya wacana) Ganeshi, sebagai bentuk keprihatinan pada kekerasan seksual dan diskriminasi gender yang kerap menimpa perempuan.
Ia juga terpukau pada Makara, makhluk air imajiner dalam mitologi Hindu yang menjadi kendaraan Dewa Baruna. Makara memikat hatinya berkat sosoknya yang merupakan perpaduan figur gajah dan ikan, babi dan ikan serta buaya dan ikan, yang dikembangkannya dengan cara mendeformasi bentuk-bentuk binatang.
Pepohonan dan dedaunan juga menjadi bagian bentuk ekspresinya dalam menggambarkan keselarasan kehidupan. Hamparan daun yang dilukis kecil-kecil diatas jalinan bundar ranting berlatar belakang biru bermega yang dilukis mirip corak batik Cirebonan, ditingkah burung-burung kecil mengingatkan kita pada Kalpataru, pohon imajiner simbol kehidupan.
Harmoni antar manusia, dituangkannya dalam bentuk keriangan pesta berhias penjor dimana semua orang bersikap akrab sembari tertawa lepas. Warna merah muda yang dipilihnya sebagai pencuri perhatian semakin menguatkan atmosfer keceriaan dalam keselarasan hidup antar manusia. Begitulah seharusnya keselarasan hubungan antar manusia, selalu ramah dan ceria seolah dalam pesta.
Tak hanya mengedepankan teknik seni rupa modern yang diperolehnya dari bangku sekolah formal, ia tetap bersetia pada teknik menggambar tradisional yang disebut Nyawi dan membuat sendiri alatnya berupa sebatang bambu yang diruncingkan ujungnya, berfungsi sebagai mata pena saat dicelupkan pada tinta.
Dengan teknik itu, ia membuat garis-garis sketsa sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Kepiawaian I Made Gunawan menggabungkan dua teknik senirupa yang sangat berbeda dalam bingkai lukisan yang sama, membuat karya-karyanya memiliki kekhasan yang mudah dikenali. Paduan modern dan tradisional dalam racikan teknik dan warna yang elok.
- Nyoman Sujana Kenyem
Perupa ini lahir di Sayan-Ubud, Bali tahun 1972. Tumbuh besar di sebuah wilayah yang dikenal sebagai desa seni, membuatnya akrab denga seni dan kesenian khususnya seni rupa dan membawa perjalannya menuju Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar pada tahun 1992.
Sebagai orang Bali, perjalanan hidupnya tak lepas dari budaya keselarasan dengan alam semesta dan lingkungan. Karya-karyanya di dominasi potret perenungan dan kecintaan pada alam semesta yang menjadi nafas dan gerak lakunya berkesenian. Pemakaian teknik rupa modern menunjukkan latar belakang pendidikan formalnya, tema-tema yang dipilih menampakkan keterikatan emosi tradisional yang mendalam.
Pepohonan yang dilukisnya kerap mewakili atmosfer alam semesta, ia pun memahami laku pepohonan dalam menjaga keseimbangan jagad raya. Seri lukisan Ritus Pohon menggambarkan, ada saatnya pepohonan mengorbankan diri dengan cara merontokkan daun-daunnya, menunduk takzim pada Ibu Bumi sebagai bentuk bakti pada tanah yang menumbuhkan dan menguatkan akarnya.
Bukankah, daun-daun yang berguguran pada gilirannya nanti akan menyuburkan tanah disekitarnya dan menjaga kelangsungan hidup Semesta?
Spring and Autumn menyimbolkan evolusi tetumbuhan yang tak selamanya hijau mempesona, ada kalanya pohon hanya menyisakan pokok dan ranting guna tumbuh tunas-tunas daun baru. Musim Bunga, menyiratkan fase evolutif sebelum menghadirkan rimbunan buah.
Alam semesta melalui pepohonan, digambarkannya sebagai sumber energi tak habis lewat karya Energy. Gilang cerlang purnama, terik mentari, rinai halus hujan pun digambarkannya dengan penuh rasa, selaras dengan pepohonan dalam detil kecil-kecil berupa titik, lengkung semrawut benang kusut atau bebungaan kamboja. Proses ekspresi kreatif yang membutuhkan ketelatenan dan kecermatan mewakili perjalanan perenungannya pada alam.
Pemilihan warna-warma alam nan teduh ditingkah cercah warna cerah, membuat karya-karyanya tak hanya menyuguhkan keindahan namun, yang terpenting, mengajak penikmatnya mencintai alam semesta. Menggiring pada kontemplasi untuk lebih mencintai dan menghargai lingkungan. Ia tak hanya menggunakan cat sebagai media ekspresi, namun juga menggabungkan kain brokat atau renda dalam bingkai yang sama.
Tak sedikit karyanya yang menggunakan teknik rupa tiga dimensi dan menyuguhkan lukisan obyek seolah mengambang. Meskipun menggunakan teknik rupa modern, karya-karyanya tetap sarat nuansa tradisi Bali melalui pemilihan warna dan detil ornamen bunga kamboja. Hanya orang Bali yang mampu menangkap evolusi tetumbuhan sebagai ritual alamiah.
Secara keseluruhan, karyanya dikategorikan sebagai fine art berkat pengetahuan rupa yang diperolehnya dari pendidikan formal. Berbeda dengan fine art pada umumnya yang cenderung “berat” dicerna awam, gurat rupa catnya mudah dicerna, memberikan aura kesederhanaan dalam keceriaan sekaligus memberi “pelajaran” pentingnya mencintai dan menghormati alam semesta. Ia mengajak bersuka cita dalam permenungan melestarikan alam semesta. Ruh yang menjadi ciri khas karya-karyanya.
- Putu Bonuz Sudiana
Perupa ini lahir di Pulau kecil Nusa Penida, sebuah pulau yang terkenal dengan spot memancing dan hamparan budidaya rumput laut. Ia memulai “debutnya” dengan menggambar pada tubuh perahu nelayan. Kegemaran yang tampak ganjil di tengah masyarakat nelayan. Nyala semangatnya menggeluti dunia seni rupa menggiring langkahnya meninggalkan desa, menempuh perjalanan menuju Bali selepas Sekolah Menengah Pertama.
Ia melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Menengah Seni Rupa dan memperdalam skill dan pengetahuan artistik di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar pada tahun 1992.
Imaji kreatif estetiknya dituangkan dalam bingkai lukisan abstrak, baginya bingkai lukisan menjadi batas kebebasan dalam menuangkan daya kreasi, menjadi batas penjelajahan pun petualangan artistik yang menggelegak dinamis. Baginya, menuangkan imaji kreatif dalam bentuk karya rupa tak bisa dilakukan dengan banyak pertimbangan yang justru akan membuat lukisan menjadi kaku tanpa ruh.
Ia memulai dan mengakhiri lukisan abstrak yang ditetapkan oleh keputusan hati. Tak heran, ia melukis sambil mengobrol atau mendengarkan obrolan, telinga manangkap suara, tangan dan hati fokus pada lukisan. Distulah letak pentingnya bingkai sebagai pembatas, agar luberan energi kreatifnya tak meluap tanpa arah.
Energi estetikanya yang sangat besar membuat karya-karyanya selaluf menampilkan garis tegas, meski tetap bisa menampilkan lengkung luwes yang cantik, tampil pula dalam “tumpahan cat” yang tak seragam tebal tipisnya, cipratan cat tak beraturan meningkah celototan warna menyuguhkan harmoni unik dalam gelegak daya imaji.
Sebagai seorang pemangku adat, profesi keseniannya tampak bertolak belakang dengan profesi sosial-religius yang diembannya saban hari, namun itu justru memperkaya warna pun ruh dalam karya-karyanya. Keterlibatan aktifnya dalam masyarakat di lingkungan keseharian membawanya pada pergulatan batin, imajinasi dan pikiran yang tak berkesudahan. Perjumpaan konkrit batiniah yang selalu membuatnya merenungkan pemikiran-pemikiran yang tak dipikirkan orang lain dan membuatnya mengerti cara menghormati orang lain yang saat ini sudah banyak ditinggalkan kebanyakan manusia.
Bonuz memadukan kesadaran reliji dengan kemahiran rupa, meramunya menjadi karya yang tak mudah dinikmati mata namun kudu diresapi melalui rasa, sebagaimana layaknya tampilan fine art.
- I Made Galung Wiratmaja
Perupa ini dikenal sebagai Galung Wiratmaja. Ia jebolan fakultas PSSRD Universitas Udaya – Bali, mulai menggelar karya-karya pada tahun 1993. Memilih jalan hidup sebagai seniman adalah julukan pada mereka yang menetapkan jalan hidup berkesenian dengan cara menghasilkan karya, gagasan pun pemikiran yang berkaitan dengan seni. Bagi perupa yang menghasilkan karya seni visual baik lukisan, patung, karya seni instalasi dan beragam karya rupa kontemporer lain ini, berkarya merupakan rangkaian panjang sebuah proses aktualisasi diri berupa ide, capaian artistik dan bahkan impian yang tak jarang melampaui jamannya.
Lahir dan tumbuh dalam budaya Bali, ia dibesarkan dalam kepercayaan untuk menghormati semua yang ada, termasuk yang nirbentuk dan tak tertangkap mata telanjang. Lukisan “The End of The World Borders” mengekspresikan apa yang menjadi keyakinannya tentang dunia yang berbeda. Seorang anak lelaki termangu menatap punggung menjauh dari sesosok perempuan, menyimbolkan perpisahan dunia antara yang hidup dan yang mati.
Ia menikmati obyek misterius dengan cara menampilkan sosok tampak belakang, sekaligus piawai membawa ketertarikan kita pada obyek misterius yang diamatinya. Lukisan “Littlle Child with Imagine Zone” menunjukkan beberapa anak lelaki tampak belakang yang tengahi memandang sapuan-sapuan warna imajinatif atraktif, membuat kita bertanya-tanya apa yang sedang dicermati anak-anak itu dan pesan apa yang hendak disampaikan perupanya.
Tanpa menampakkan mimik wajah, ia mampu menggambarkan ekspresi obyek melalui posisi figur dan sapuan warna yang kemudian menggiring imajinasi pada ekspresi yang dikehendaki. Kekuatan lukisan abstrak yang telah melewati fase kontemplasi mendalam dan tak mudah ditiru.
Tentang Teh Villa Gallery
Sebelum menggelar pameran bertajuk “Art for Humanity”, The Villa Gallery sudah sempat menggelaran pameran “Living in Harmony” (Desember 2021) dan “Finding Balance” (April 2022),
Dalam pameran seni rupa Teh Villa Gallerymengusung semacam visi “Art for Humanity is Art of Sharing”,
Seni haruslah tak terpisah dari masyarakat sebab ia lahir dari gua garba kelindan kemanusiaan, manusia dengan alam pun lingkungan sekitarnya. Seni tak hanya bisa dan boleh memberikan nutrisi jiwa bagi segelintir penikmat, namun juga memberikan manfaat dan berkah bagi masyarakat.
Untuk itu, sepuluh persen dari hasil penjualan karya didonasikan pada Panti Asuhan maupun sesiapa yang membutuhkan, kegiatan ini sudah dijalani sejak gelaran pameran pertama.
PT Karya Mas Makmur produsen Teh Villa, menyulap area pabrik menjadi gallery seni. Serangkaian pameran seni rupa dibesut sejak bulan Desember 2021 sebagai bagian dari program CSR (Corporate Social Responsibility) PT Karya Mas Makmur.
Teh Villa Gallery lahir dari kepedulian pada perupa yang layak diapresiasi, gagasan mengubah lobby pabrik dan sebagian area menjadi ruang pamer yang aman, nyaman dan kreatif. Bentuk pemanfaatan ruang secara produktif dan efektif di tengah rutinitas. Tak berhenti disitu, sebagian hasil penjualan karya didonasikan sebagai bentuk kepedulian pada masyarakat yang membutuhkan. Menutrisi hati, investasi dan berdonasi dilakukan dalam sekali dayung. [T][*]
- Sebagian besar artikel ini dikutip dari katalog pameran Art Humannity yang ditulis Erma Retang