3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dari Lokakarya, Kosa Tubuh dan Kejutan Bola Api dari Cak Rina

Jong Santiasa PutrabyJong Santiasa Putra
July 22, 2022
inKhas
Dari Lokakarya, Kosa Tubuh dan Kejutan Bola Api dari Cak Rina

Cak Rina

Seluruh peserta duduk di halaman yang dilapisi karpet, ada 2 pohon jepun di halaman itu, sesekali bunganya jatuh, saat peserta mengikuti gerakan I Ketut Rina (Cak Rina).

Ada anak-anak kecil duduk dekat pohon jepun, sejumlah panitia juga duduk khusyuk di Bale Dangin, sementara para pengabadi momen sibuk mencari posisi agar mendapat gambar yang estetik.

Foto: Latihan di halama rumah Cak Rina

Saat peserta menundukan kepala, lalu menggumamkan “mmmmmmmmmmm” sambil menggerakan badan ke kanan ke kiri, seorang wartawan yang saya kenal menghidupkan dupa yang ukurannya lebih panjang daripada dupa biasa. Harum dupa itu menusuk hidung, memberi suasana magis yang sulit untuk saya jelaskan.

“Magis sekali suasananya,” ujar Ayu Diah Cempaka, satu pengamat dalam proses  Temu Seni Tari Indonesia Bertutur

Padahal belum 1 jam kawan-kawan peserta latihan dengan Cak Rina, namun gerakan mereka tampak tak gagu, mungkin tubuh-tubuh mereka sudah memiliki bekal, sehingga bertemu dengan Cak Rina jadi lebih mudah, dibanding kawan-kawan yang tubuhnya masih dalam keadaan kosong.

Kamis 21 Juli 2021, merupakan satu program kunjungan budaya ke sanggar Cak Rina dalam acara Temu Seni Tari _ Indonesia Bertutur. Tujuan ke sanggar itu adalah untuk lokakarya, menelisik, kemudian lebih jauh mendalami nafas kesenian Cak Rina selama ia mendalami kecak dalam praktek artistiknya berkesenian.

“Mmmmmmmmmmmmm…”

“Iiiiiiiiiiiit…”

“ Es, es byuk sirrrr.”

“Siiiiiir dir dur dir, Siiir dir dur dir.”

“Pung, pung, pung, pung, pung…”

“Cak, cak, cak…”

“Cak, Cak, Cak, Cak, Cak…”

“Cak, Cak, Cak, Cak, Cak, Cak, Cak…”

Suara kedelapan belas peserta saling bertabrakan, saling mengisi, antara suara satu dengan yang lainnya. Berulang kali Cak Rina memberhentikan latihan, untuk memberikan arahan kepada peserta. Cak Rina saat itu bertelanjang dada, menggunakan kamen, saput, dan senteng, rambutnya terurai begitu saja, ada pernak pernik dan gelang menggelayut dipergelangan tangan mereka, sejumlah cincin di jarinya.

Foto: Latihan di Jaba Pura Khayanga Tiga Desa Teges

Saat ia membentangkan jari tangannya, dan tubuhnya menari kecak, rambut Cak Rina mengikuti arah gerakan. Peserta seolah terhipnotis lalu menirukan suara, gerakan, serta arahannya.

Seperti kita tahu, peserta Temu Seni Tari berasal dari berbagai kota di Indonesia seperti Laboan Bajo, Yogjakarta, Jakarta, Surakarta, Surabaya, Lampung, Jayapura, Jailolo dan lain sebagainya. Tentu memori tubuh mereka memiliki keberagaman gerak, endapan kultural yang lain, serta teks-teks gerak yang berbeda satu sama lainnya.

“Saya tidak mau gerakan kalian seragam, saya mau kalian menunjukan diri,” ujar Cak Rina di sela-sela lokakarya.

Meminjam kata-kata pemandu acara Desi Nurani, hadirlah kosa kata tubuh yang bermacam rupa dalam tari kecak Seni Temu Tari itu. Cak Rina tambah bersemangat ketika melihat gerakan Razan Wirjosanjojo-Yogjakarta yang meliuk tinggi, dengan tangan yang mengangkat melebihi kepala, kemudian Ayuni Praise – Laboan Bajo memulai gerakannya dengan melempar kedua tangannya ke bawah, lalu ke atas, dibarengi irama kaki yang berdecak-decak pendek. Sementara Kurniadi Ilham tampak bergoyang, melebarkan kuda-kuda kakinya, kedua tangannya pun demikian.

“Menari kecak, harus tersenyum, mata berinteraksi dengan kawan sebelahnya, tidak boleh sendiri-sendiri,” tegas Cak Rina

Seketika itu juga, wajah para peserta ceria, sambil mengucapkan cak,cak,cak , lalu menari ke sana kemari, melewati tubuh-tubuh penari lainnya. Saya yang melihat itu, terdiam sejenak. Memperhatikan bagaimana ruang-ruang kebudayaan tampak cair dalam satu tarian kecak. Aiiih Cak Rina memang penuh kejutan.

Foto: Pentas lokakarya

Lokakarya ini nantinya akan dipentaskan di Pura Khayangan Tiga, Banjar Teges Kanginan tidak jauh dari Sanggar Cak Rina. Setelah dirasa latihan cukup, kemudian kawan-kawan beranjak ke lokasi pentas dengan berjalan kaki. Saya memikirkan satu tulisan yang diberikan oleh Mbak Helly Minarti berjudul Alam, Manusia dan Kesenian : Terciptanya Kecak Teges, dari Buku Sardono W. Kusumo Hanuman, Tarzan, Homo Erectus, di jalan aspal itulah Sardono dan warga Desa Teges bertemu, dalam tulisan ia mengatakan bahwa rumah-rumah di desa itu terlihat hidup karena ada anjing, ayam, babi, yang berkeliaran di halaman rumah.

Cak Rina juga mengatakan bahwa suasana desanya sering ia bawakan dalam garapan kecaknya, seperti anak bebek yang ditabrak oleh mobil penumpang. Dulu petani menggiring bebek ke sawah dengan mengandalkan sebuah kayu panjang, lalu datanglah mobil penumpang yang menabrak anak bebek secara tidak sengaja. Mobil penumpang itu baginya satu bentuk modernisasi yang memasuki wilayah desanya. Jadi konteksnya penting kemudian fragmen insiden tersebut di bawakan saat ia pentas.

“Kecak saya kebanyakan mengambil cerita orang desa, salah satunya bebek yang ditabrak mobil. Waktu itu mobil kan jarang (mengacu tahun 1974-an), jadi benda mewah itu penting, dan semua orang bengong melihat mobil,” ujarnya saat kami berbincang santai

Sekarang, di jalan aspal menuju tempat pentas banyak terlihat mobil-mobil pribadi parkir di depan rumah, ada yang ditutup dengan kain, ada juga yang dibuatkan garase dengan atap seng, berangka kayu.

Pentas Kawan Peserta dan Pentas Cak Rina (Ssst!! ini kejutan!)

Langit tampak mendung, bergumpal awan abu-abu saling tindih, tidak ada celah sinar matahari yang menjulur keluar. Pukul 18.00 Wita, hujan gerimis membasahi arena petunjukan, tapi bukan gerimis dengan bulir air yang besar, melainkan lembut, jatuhnya perlahan, kecil-kecil. Terlihat jelas ketika lampu di arena pertunjukan menyala.

Foto: Komang Adi Pranata (berdiri) menari

Beberapa panitia tampak kebingungan untuk menghalau hujan, padahal banten pejati dan banten lainnya sudah dihaturkan. Tapi kawan-kawan pementas, serta penonton yang hadir tidak bergeming, mereka seperti tidak menghiraukan kehadiran hujan. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ada sebagian penonton yang menutup kepalanya dengan plastik, ada juga menutup kepala dengan robekan kotak makanan ringan, ada jaket, dan hanya beberapa saja yang membawa payung.

Pentas hari itu, tidak hanya menampilkan hasil lokakarya. Namun juga ada pementasan yang sudah disiapkan oleh peserta, baik pentas tunggal, ataupun kolaborasi. Ayu Anantha Putri – Bali, Gusbang Sada dan Razan Wirjosandjojo, Krisna Satya dan Ela Mutiara, Puri Senja dan Bathara Sawerigadi,  Ayu Permata Sari, I Komang Adi Pranata dan Alisa Soelaeman.

Setelah pementasan lokakarya bersama peserta. Ayu Ananta Putri peserta dari Bali tampil pertama, ia membawakan karya tunggal dengan judul Resap. Baginya tubuh mampu melihat, merasa, melangkah serta menggapai apa yang ia inginkan. Ia membentangkan narasi pengalaman melalui endapan-endapan laku tubuhnya.

Dari gerak pelan, kemudian cepat, dari geram, kemudian tersenyum. Sesekali agem tradisinya keluar masuk bersama agem – agem pengembangan yang ia lakukan. Cahaya lampu memancar ke tubuhnya, seketika ia hilang dalam gelap, tapi sejurus kemudian hadir kembali dalam bentuk yang berbeda.

Foto: Pentas Ayu Anantha Putri -Bali

Foto: Bathara Sawerigadi dan Puri Senja

Foto: Krisna Satya dan Ela Mutiara

Kemudian dilanjutkan Puri Senja dan Bathara Sawerigadi, pasangan ini tampak penyap di kerumunan penonton, samar bayang-bayang tubuhnya oleh redup, jatuh di tubuh penonton. Pelan-pelan memasuki panggung, kemudian berinteraksi seperti baru berkenalan.

Ada adegan puncak saat mereka melepaskan baju, mereka tarik menarik seperti enggan melepaskan. Apakah yang begitu diinginkan? Apakah yang berharga? keduanya masih menari, namun dalam tempo yang dinamis, liak-liuk tubuh mereka saling bersisian. Kemudian saling dekap, erat, membawa puri yang tampak lelah kembali ke kerumunan penonton.

Lantas Krisna Satya dan Ela Mutiara, masuk panggung dengan pelan, kaki-kaki mereka mantap menginjak lantai panggung. Tapi pelan. Tidak ada musik, berkali suara bambu berbenturan dengan lantai terdengar. Minimalis sekali suaranya, nampaknya suara itu tidak disengaja, atau sebagai dampak tubuh, bukan suatu estetika yang diharapkan dalam koreografi mereka.

Akhirnya dua bambu itu turut serta mengukur lantai panggung, tapi gerakan mereka seperti saling mengikuti satu sama lain, atau lebih tepatnya saling kejar mengejar. Siapa yang mengejar, atau siapa yang dikejar tidak tampak jelas. Dua bambu itu berada di bahu mereka, menjepit kedua kepalanya. Dalam tepuk tangan yang dibuat sebagai tempo, mereka berlari memutar panggung, kalau bambu terasa ingin jatuh, kedua tubuh itu bekerja sama agar posisinya kembali pada semula. Terakhir bambu jatuh, pementasan mereka selesai.

Foto: Gusbang Sada dan Razan Wirjosandjojo

Gusbang Sada dan Razan Wirjosandjojo tampil dengan judul dimensi. Mereka meminta anak-anak untuk mendekat ke arah mereka. Termasuk saya juga ikut mendekat, kami menebak bentuk di tangan mereka yang sebelumnya telah disembunyikan dengan sarung warna hitam.

Kami memperagakan bentuk dengan tangan sendiri, lalu dikonfirmasi oleh Gusbang. Konfirmasi bentuk itu mereka lakukan tiga kali. Ada yang benar, ada juga yang kurang tepat, tapi yang jelas interaksi itu membuat suasana menjadi hidup dan anak-anak yang ikut berpartisipasi juga terlihat gembira.

Kemudian gerakan menjadi lebih serius, lebih lamban, dan tanpa interaksi ke penonton. Tapi kami penonton masih tetap bermain tebak-tebakan atas kejadian tak terlihat dibalik sarung. Sampai pementasan selesai kepala saya dipenuhi asumsi-asumsi

Foto: I Komang Adi Pranata

Seolah tidak mau melewatkan kesempatan Ayu Permata Sari, I Komang Adi Pranata dan Alisa Soelaeman mengambil kesempatan. Dipimpin oleh Ayu, para penonton yang tadinya mengikuti pementasan Gusbang dan Razan masih tetap di panggung, mereka membuat lingkaran sambil berkerumun. Lalu Ayu meminta penonton untuk memanggil nama mereka secara acak, sementara mereka bertiga berlarian mencari sumber suara.

Mang Adi tampak menggeliat tubuhnya, lalu lari, lalu diam, lalu lari, lalu menari. Ayu tampak merangkak mencari suara, tubunya berlarian sambil menari, sementara Alisa sempat berlari kecil memutari lingkaran, lalu mendekat, lalu setengah berjongkok, lalu lari lagi. Anak-anak dan penonton lain, semakin keras memanggil nama mereka, sejurus itu juga mereka semakin cepat bergerak. Hingga akhirnya suara tak terdengar lagi, pementasan selesai.

“Iiiiiiiiiiiiiiiiiiit Sir buk, Sir buk, sir buk, sir buk!” Terdengar suara dari dalam pura.

27 orang penari kecak bertelanjang dada, memakai kamen dengan corak hitam putih masuk berhamburan ke panggung. Mereka menari kecak, ada 10 obor yang mereka bawa.  Suasana magis langsung memenuhi bangku penonton. Beberapa penonton yang tadinya duduk di bagian sisi, segera mengambil posisi ke bagian depan. Sebagian besar juga memegang gawai, untuk merekam adegan tersebut.

Foto: Pentas Sanggar Cak Rina

Cak Rina sebagai pemimpin repertoar koreo menari di tengah, rambut gondrongnya terurai begitu saja. Ekspresinya tampak galak, sambil mengucapkan arahan kepada para penari kecak. Dinamikapun berlanjut, ada komposisi gerak yang dilakukan bersama, ada pula yang dilakukan oleh sebagian orang.

Saya kira seluruh adegan akan berjalan menegangkan, saat anak-anak mengatakan “cik,cik,cik,cik” sambil menari menuju ke arah depan, ternyata terdapat adegan yang lucu. Cak Rina memegang kepala seorang anak kecil, lalu anak itu bersuara “cik,cik,cik,cik” berulang kali, wajahnya tampak senyum, dan suaranya kecil tapi terdengar lucu. Ada beberapa adegan lagi yang seperti itu, penonton pun terpingkal pingkal karena adegan anak anak tersebut.

“Suuuuuuuuuuuurrrrrh…” suara bola api dari kelapa kering menggelinding memecah kerumunan kecak. Semuanya kemudian berpencar memenuhi area, bola api ditendang ke sisi kiri oleh Cak Rina, penari pun berhamburan, kemudian ditendang lagi, berhamburan lagi, tapi suara kecak tetap bertalu, seolah alat komunikasi mereka untuk mencari tempat aman.

Bola api diambil oleh seorang penari, kemudian dilempar ke arah depan, suaranya mekuwus di udara, ada percikan serabut yang terbang lalu jatuh ke lantai, begitu beberapa kali yang dilakukan. Penonton pun berdecak kagum, tapi juga ketakutan, jika bola api itu mengarah pada mereka.

“Ini sebenarnya kejutan, nggak ada yang tahu Cak Rina akan maen,” ujar seorang panitia kepada saya

Kejutannya berhasil Cak! [T]

Foto: Sesi foto bersama

______

KLIK untuk baca laporan Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur selengkapnya

Perjalanan Menuju Candi Tebing Gunung Kawi, Sebuah Pengalaman Waktu dan Ruang yang Liyan
Tags: baliIndonesia Bertuturseni tariTemu Seni Tari
Previous Post

Membuka Mata Terhadap Dunia Perbukuan Lewat Sosialisasi dari Pusat Perbukuan RI

Next Post

Di Balik Pura Samuan Tiga, Yang Tampak dan Tak Tampak | Dari Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur

Jong Santiasa Putra

Jong Santiasa Putra

Pedagang yang suka menikmati konser musik, pementasan teater, dan puisi. Tinggal di Denpasar

Next Post
Di Balik Pura Samuan Tiga, Yang Tampak dan Tak Tampak | Dari Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur

Di Balik Pura Samuan Tiga, Yang Tampak dan Tak Tampak | Dari Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Kita Selalu Bersama Pancasila, Benarkah Demikian?

by Suradi Al Karim
June 3, 2025
0
Ramadhan Sepanjang Masa

MENGENANG peristiwa merupakan hal yang terpuji, tentu diniati mengadakan perhitungan apa  yang  telah dicapai selama masa berlalu  atau tepatnya 80...

Read more

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025

ASAP tipis mengepul dari wajan panas, menari di udara yang dipenuhi aroma tumisan bumbu. Di baliknya, sepasang tangan bekerja lincah—menumis,...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co