11 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dari Lokakarya, Kosa Tubuh dan Kejutan Bola Api dari Cak Rina

Jong Santiasa PutrabyJong Santiasa Putra
July 22, 2022
inKhas
Dari Lokakarya, Kosa Tubuh dan Kejutan Bola Api dari Cak Rina

Cak Rina

Seluruh peserta duduk di halaman yang dilapisi karpet, ada 2 pohon jepun di halaman itu, sesekali bunganya jatuh, saat peserta mengikuti gerakan I Ketut Rina (Cak Rina).

Ada anak-anak kecil duduk dekat pohon jepun, sejumlah panitia juga duduk khusyuk di Bale Dangin, sementara para pengabadi momen sibuk mencari posisi agar mendapat gambar yang estetik.

Foto: Latihan di halama rumah Cak Rina

Saat peserta menundukan kepala, lalu menggumamkan “mmmmmmmmmmm” sambil menggerakan badan ke kanan ke kiri, seorang wartawan yang saya kenal menghidupkan dupa yang ukurannya lebih panjang daripada dupa biasa. Harum dupa itu menusuk hidung, memberi suasana magis yang sulit untuk saya jelaskan.

“Magis sekali suasananya,” ujar Ayu Diah Cempaka, satu pengamat dalam proses  Temu Seni Tari Indonesia Bertutur

Padahal belum 1 jam kawan-kawan peserta latihan dengan Cak Rina, namun gerakan mereka tampak tak gagu, mungkin tubuh-tubuh mereka sudah memiliki bekal, sehingga bertemu dengan Cak Rina jadi lebih mudah, dibanding kawan-kawan yang tubuhnya masih dalam keadaan kosong.

Kamis 21 Juli 2021, merupakan satu program kunjungan budaya ke sanggar Cak Rina dalam acara Temu Seni Tari _ Indonesia Bertutur. Tujuan ke sanggar itu adalah untuk lokakarya, menelisik, kemudian lebih jauh mendalami nafas kesenian Cak Rina selama ia mendalami kecak dalam praktek artistiknya berkesenian.

“Mmmmmmmmmmmmm…”

“Iiiiiiiiiiiit…”

“ Es, es byuk sirrrr.”

“Siiiiiir dir dur dir, Siiir dir dur dir.”

“Pung, pung, pung, pung, pung…”

“Cak, cak, cak…”

“Cak, Cak, Cak, Cak, Cak…”

“Cak, Cak, Cak, Cak, Cak, Cak, Cak…”

Suara kedelapan belas peserta saling bertabrakan, saling mengisi, antara suara satu dengan yang lainnya. Berulang kali Cak Rina memberhentikan latihan, untuk memberikan arahan kepada peserta. Cak Rina saat itu bertelanjang dada, menggunakan kamen, saput, dan senteng, rambutnya terurai begitu saja, ada pernak pernik dan gelang menggelayut dipergelangan tangan mereka, sejumlah cincin di jarinya.

Foto: Latihan di Jaba Pura Khayanga Tiga Desa Teges

Saat ia membentangkan jari tangannya, dan tubuhnya menari kecak, rambut Cak Rina mengikuti arah gerakan. Peserta seolah terhipnotis lalu menirukan suara, gerakan, serta arahannya.

Seperti kita tahu, peserta Temu Seni Tari berasal dari berbagai kota di Indonesia seperti Laboan Bajo, Yogjakarta, Jakarta, Surakarta, Surabaya, Lampung, Jayapura, Jailolo dan lain sebagainya. Tentu memori tubuh mereka memiliki keberagaman gerak, endapan kultural yang lain, serta teks-teks gerak yang berbeda satu sama lainnya.

“Saya tidak mau gerakan kalian seragam, saya mau kalian menunjukan diri,” ujar Cak Rina di sela-sela lokakarya.

Meminjam kata-kata pemandu acara Desi Nurani, hadirlah kosa kata tubuh yang bermacam rupa dalam tari kecak Seni Temu Tari itu. Cak Rina tambah bersemangat ketika melihat gerakan Razan Wirjosanjojo-Yogjakarta yang meliuk tinggi, dengan tangan yang mengangkat melebihi kepala, kemudian Ayuni Praise – Laboan Bajo memulai gerakannya dengan melempar kedua tangannya ke bawah, lalu ke atas, dibarengi irama kaki yang berdecak-decak pendek. Sementara Kurniadi Ilham tampak bergoyang, melebarkan kuda-kuda kakinya, kedua tangannya pun demikian.

“Menari kecak, harus tersenyum, mata berinteraksi dengan kawan sebelahnya, tidak boleh sendiri-sendiri,” tegas Cak Rina

Seketika itu juga, wajah para peserta ceria, sambil mengucapkan cak,cak,cak , lalu menari ke sana kemari, melewati tubuh-tubuh penari lainnya. Saya yang melihat itu, terdiam sejenak. Memperhatikan bagaimana ruang-ruang kebudayaan tampak cair dalam satu tarian kecak. Aiiih Cak Rina memang penuh kejutan.

Foto: Pentas lokakarya

Lokakarya ini nantinya akan dipentaskan di Pura Khayangan Tiga, Banjar Teges Kanginan tidak jauh dari Sanggar Cak Rina. Setelah dirasa latihan cukup, kemudian kawan-kawan beranjak ke lokasi pentas dengan berjalan kaki. Saya memikirkan satu tulisan yang diberikan oleh Mbak Helly Minarti berjudul Alam, Manusia dan Kesenian : Terciptanya Kecak Teges, dari Buku Sardono W. Kusumo Hanuman, Tarzan, Homo Erectus, di jalan aspal itulah Sardono dan warga Desa Teges bertemu, dalam tulisan ia mengatakan bahwa rumah-rumah di desa itu terlihat hidup karena ada anjing, ayam, babi, yang berkeliaran di halaman rumah.

Cak Rina juga mengatakan bahwa suasana desanya sering ia bawakan dalam garapan kecaknya, seperti anak bebek yang ditabrak oleh mobil penumpang. Dulu petani menggiring bebek ke sawah dengan mengandalkan sebuah kayu panjang, lalu datanglah mobil penumpang yang menabrak anak bebek secara tidak sengaja. Mobil penumpang itu baginya satu bentuk modernisasi yang memasuki wilayah desanya. Jadi konteksnya penting kemudian fragmen insiden tersebut di bawakan saat ia pentas.

“Kecak saya kebanyakan mengambil cerita orang desa, salah satunya bebek yang ditabrak mobil. Waktu itu mobil kan jarang (mengacu tahun 1974-an), jadi benda mewah itu penting, dan semua orang bengong melihat mobil,” ujarnya saat kami berbincang santai

Sekarang, di jalan aspal menuju tempat pentas banyak terlihat mobil-mobil pribadi parkir di depan rumah, ada yang ditutup dengan kain, ada juga yang dibuatkan garase dengan atap seng, berangka kayu.

Pentas Kawan Peserta dan Pentas Cak Rina (Ssst!! ini kejutan!)

Langit tampak mendung, bergumpal awan abu-abu saling tindih, tidak ada celah sinar matahari yang menjulur keluar. Pukul 18.00 Wita, hujan gerimis membasahi arena petunjukan, tapi bukan gerimis dengan bulir air yang besar, melainkan lembut, jatuhnya perlahan, kecil-kecil. Terlihat jelas ketika lampu di arena pertunjukan menyala.

Foto: Komang Adi Pranata (berdiri) menari

Beberapa panitia tampak kebingungan untuk menghalau hujan, padahal banten pejati dan banten lainnya sudah dihaturkan. Tapi kawan-kawan pementas, serta penonton yang hadir tidak bergeming, mereka seperti tidak menghiraukan kehadiran hujan. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ada sebagian penonton yang menutup kepalanya dengan plastik, ada juga menutup kepala dengan robekan kotak makanan ringan, ada jaket, dan hanya beberapa saja yang membawa payung.

Pentas hari itu, tidak hanya menampilkan hasil lokakarya. Namun juga ada pementasan yang sudah disiapkan oleh peserta, baik pentas tunggal, ataupun kolaborasi. Ayu Anantha Putri – Bali, Gusbang Sada dan Razan Wirjosandjojo, Krisna Satya dan Ela Mutiara, Puri Senja dan Bathara Sawerigadi,  Ayu Permata Sari, I Komang Adi Pranata dan Alisa Soelaeman.

Setelah pementasan lokakarya bersama peserta. Ayu Ananta Putri peserta dari Bali tampil pertama, ia membawakan karya tunggal dengan judul Resap. Baginya tubuh mampu melihat, merasa, melangkah serta menggapai apa yang ia inginkan. Ia membentangkan narasi pengalaman melalui endapan-endapan laku tubuhnya.

Dari gerak pelan, kemudian cepat, dari geram, kemudian tersenyum. Sesekali agem tradisinya keluar masuk bersama agem – agem pengembangan yang ia lakukan. Cahaya lampu memancar ke tubuhnya, seketika ia hilang dalam gelap, tapi sejurus kemudian hadir kembali dalam bentuk yang berbeda.

Foto: Pentas Ayu Anantha Putri -Bali

Foto: Bathara Sawerigadi dan Puri Senja

Foto: Krisna Satya dan Ela Mutiara

Kemudian dilanjutkan Puri Senja dan Bathara Sawerigadi, pasangan ini tampak penyap di kerumunan penonton, samar bayang-bayang tubuhnya oleh redup, jatuh di tubuh penonton. Pelan-pelan memasuki panggung, kemudian berinteraksi seperti baru berkenalan.

Ada adegan puncak saat mereka melepaskan baju, mereka tarik menarik seperti enggan melepaskan. Apakah yang begitu diinginkan? Apakah yang berharga? keduanya masih menari, namun dalam tempo yang dinamis, liak-liuk tubuh mereka saling bersisian. Kemudian saling dekap, erat, membawa puri yang tampak lelah kembali ke kerumunan penonton.

Lantas Krisna Satya dan Ela Mutiara, masuk panggung dengan pelan, kaki-kaki mereka mantap menginjak lantai panggung. Tapi pelan. Tidak ada musik, berkali suara bambu berbenturan dengan lantai terdengar. Minimalis sekali suaranya, nampaknya suara itu tidak disengaja, atau sebagai dampak tubuh, bukan suatu estetika yang diharapkan dalam koreografi mereka.

Akhirnya dua bambu itu turut serta mengukur lantai panggung, tapi gerakan mereka seperti saling mengikuti satu sama lain, atau lebih tepatnya saling kejar mengejar. Siapa yang mengejar, atau siapa yang dikejar tidak tampak jelas. Dua bambu itu berada di bahu mereka, menjepit kedua kepalanya. Dalam tepuk tangan yang dibuat sebagai tempo, mereka berlari memutar panggung, kalau bambu terasa ingin jatuh, kedua tubuh itu bekerja sama agar posisinya kembali pada semula. Terakhir bambu jatuh, pementasan mereka selesai.

Foto: Gusbang Sada dan Razan Wirjosandjojo

Gusbang Sada dan Razan Wirjosandjojo tampil dengan judul dimensi. Mereka meminta anak-anak untuk mendekat ke arah mereka. Termasuk saya juga ikut mendekat, kami menebak bentuk di tangan mereka yang sebelumnya telah disembunyikan dengan sarung warna hitam.

Kami memperagakan bentuk dengan tangan sendiri, lalu dikonfirmasi oleh Gusbang. Konfirmasi bentuk itu mereka lakukan tiga kali. Ada yang benar, ada juga yang kurang tepat, tapi yang jelas interaksi itu membuat suasana menjadi hidup dan anak-anak yang ikut berpartisipasi juga terlihat gembira.

Kemudian gerakan menjadi lebih serius, lebih lamban, dan tanpa interaksi ke penonton. Tapi kami penonton masih tetap bermain tebak-tebakan atas kejadian tak terlihat dibalik sarung. Sampai pementasan selesai kepala saya dipenuhi asumsi-asumsi

Foto: I Komang Adi Pranata

Seolah tidak mau melewatkan kesempatan Ayu Permata Sari, I Komang Adi Pranata dan Alisa Soelaeman mengambil kesempatan. Dipimpin oleh Ayu, para penonton yang tadinya mengikuti pementasan Gusbang dan Razan masih tetap di panggung, mereka membuat lingkaran sambil berkerumun. Lalu Ayu meminta penonton untuk memanggil nama mereka secara acak, sementara mereka bertiga berlarian mencari sumber suara.

Mang Adi tampak menggeliat tubuhnya, lalu lari, lalu diam, lalu lari, lalu menari. Ayu tampak merangkak mencari suara, tubunya berlarian sambil menari, sementara Alisa sempat berlari kecil memutari lingkaran, lalu mendekat, lalu setengah berjongkok, lalu lari lagi. Anak-anak dan penonton lain, semakin keras memanggil nama mereka, sejurus itu juga mereka semakin cepat bergerak. Hingga akhirnya suara tak terdengar lagi, pementasan selesai.

“Iiiiiiiiiiiiiiiiiiit Sir buk, Sir buk, sir buk, sir buk!” Terdengar suara dari dalam pura.

27 orang penari kecak bertelanjang dada, memakai kamen dengan corak hitam putih masuk berhamburan ke panggung. Mereka menari kecak, ada 10 obor yang mereka bawa.  Suasana magis langsung memenuhi bangku penonton. Beberapa penonton yang tadinya duduk di bagian sisi, segera mengambil posisi ke bagian depan. Sebagian besar juga memegang gawai, untuk merekam adegan tersebut.

Foto: Pentas Sanggar Cak Rina

Cak Rina sebagai pemimpin repertoar koreo menari di tengah, rambut gondrongnya terurai begitu saja. Ekspresinya tampak galak, sambil mengucapkan arahan kepada para penari kecak. Dinamikapun berlanjut, ada komposisi gerak yang dilakukan bersama, ada pula yang dilakukan oleh sebagian orang.

Saya kira seluruh adegan akan berjalan menegangkan, saat anak-anak mengatakan “cik,cik,cik,cik” sambil menari menuju ke arah depan, ternyata terdapat adegan yang lucu. Cak Rina memegang kepala seorang anak kecil, lalu anak itu bersuara “cik,cik,cik,cik” berulang kali, wajahnya tampak senyum, dan suaranya kecil tapi terdengar lucu. Ada beberapa adegan lagi yang seperti itu, penonton pun terpingkal pingkal karena adegan anak anak tersebut.

“Suuuuuuuuuuuurrrrrh…” suara bola api dari kelapa kering menggelinding memecah kerumunan kecak. Semuanya kemudian berpencar memenuhi area, bola api ditendang ke sisi kiri oleh Cak Rina, penari pun berhamburan, kemudian ditendang lagi, berhamburan lagi, tapi suara kecak tetap bertalu, seolah alat komunikasi mereka untuk mencari tempat aman.

Bola api diambil oleh seorang penari, kemudian dilempar ke arah depan, suaranya mekuwus di udara, ada percikan serabut yang terbang lalu jatuh ke lantai, begitu beberapa kali yang dilakukan. Penonton pun berdecak kagum, tapi juga ketakutan, jika bola api itu mengarah pada mereka.

“Ini sebenarnya kejutan, nggak ada yang tahu Cak Rina akan maen,” ujar seorang panitia kepada saya

Kejutannya berhasil Cak! [T]

Foto: Sesi foto bersama

______

KLIK untuk baca laporan Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur selengkapnya

Perjalanan Menuju Candi Tebing Gunung Kawi, Sebuah Pengalaman Waktu dan Ruang yang Liyan
Tags: baliIndonesia Bertuturseni tariTemu Seni Tari
Previous Post

Membuka Mata Terhadap Dunia Perbukuan Lewat Sosialisasi dari Pusat Perbukuan RI

Next Post

Di Balik Pura Samuan Tiga, Yang Tampak dan Tak Tampak | Dari Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur

Jong Santiasa Putra

Jong Santiasa Putra

Pedagang yang suka menikmati konser musik, pementasan teater, dan puisi. Tinggal di Denpasar

Next Post
Di Balik Pura Samuan Tiga, Yang Tampak dan Tak Tampak | Dari Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur

Di Balik Pura Samuan Tiga, Yang Tampak dan Tak Tampak | Dari Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co