Pencarian dan penjelajahan yang tiada berakhir merupakan kredo dalam kehidupan pengkarya sebagai warga akademik dan juga seorang seniman dalam usaha menemukan model dan konsep baru di dalam berkesenian. Dalam proses pencarian dan penjelajahan ini pengkarya banyak membaca karya sastra seperti; kekawin, kidung, geguritan, tatwa jnyana (filsafat, spiritual), yoga, yang merupakan sumber susastra dari seni pertunjukan Bali. Pembacaan dengan menembangkan karya sastra kakawin dan geguritan dilakukan dengan suntuk dan hayatan mendalam sehingga mengalami “kehadiran” sang pengawi dan terjadinya dialog imajiner dengan pengawi. Dialog imajiner ini memberikan pemahaman yang berlanjut, tidak saja memahami cerita yang disajikan dan dibangun dengan berbagai tembang namun juga menyadari dan menghayati makna, nilai kehidupan dan spiritual. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut merupakan pelita pencerahan yang sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, juga sebagai penuntun dalam meniti jalan ke dalam diri (journey to within).
Dalam perjalanan panjang seni pertunjukan Bali sudah banyak karya sastra yang telah diangkat dan digarap ke dalam seni pertunjukan. Dipilihnya satu karya sastra sebagai sumber cerita seni pertunjukan tentunya dengan berbagai pertimbangan dari pengkarya. Pertimbangan yang lumbrah biasanya karena kecocokan tema (kontekstual/dramatic contents) dan juga alur dramatiknya menarik untuk digarap. Langkah selanjutnya adalah proses kreativitas dari pengkarya, bagaimana menuangkan atau mewujudkan karya sastra tersebut ke dalam wadah konsep garap (estetika) yang akan dipakai (setidaknya sudah ada dalam imajinasi) pengkarya, sehingga terjadi proses transformasi karya sastra menjadi sajian seni pertunjukan.
Pengkarya sangat tertarik dan terkesan dengan Kakawin Candra Bherawa karangan Ida Pedanda Made Sidemen (almarhum) dari Geria Delod Peken Intaran Sanur Denpasar. Kakawin Candra Bherawa ini dibangun dengan beberapa tembang wirama berbahasa kawi. Gaya bahasanya sangat indah dan memakai kaidah-kaidah alamkara. Alamkara adalah cara mengekspresikan buah pikiran melalui bahasa (musical) secara khas, yaitu dengan mempermainkan unsur-unsur bahasa, seperti bunyi, suku kata, kata (musical) dan unsur lainnya. Nilai-nilai yang dipaparkan bersifat universal yang sangat berguna bagi manusia modern saat ini yaitu tentang kebijaksanaan dan spiritual. Pengkarya sejak lama telah mempelajari kakawin Candra Bherawa ini dan berusaha memahami nilai yang terkandung dalam bait-bait wiramanya.
Nilai kebijaksanaan dalam kakawin ini merupakan esensi dari agama yaitu spiritual. Tokoh yang menjadi pelaku pokok dalam kakawin ini merupakan pengejawantahan sifat luhur kemanusiaan, seperti nama tokoh Candra Bherawa yang berarti budhi yang telah tercerahkan atau telah berada dan mengalami puncak kesadaran. Di kalangan seniman sekha Santi atau komunitas mebebasan/mepepaosan (pembacaan sastra) dan juga seniman dalang, kakawin ini tidak begitu sering dibaca atau dipentaskan dalam pertunjukan wayang. Nilai filosofis dan spiritual yang dimuat dalam kakawin Candra Bherawa ini merupakan esensi universal tentang kemanusiaan dan spiritual. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang seharusnya bebas berekspresi sebagai individu dalam menjalankan ritual dan hayatan keagamaan tidak dikekang atau disekat oleh batasan-batasan konsep dan ideologi ciptaan manusia. Dalam politik kekuasaan agama sering dipakai sebagai alasan untuk menyerang, memusnahkan suatu kaum karena berbeda ideologi dan agama. Teks-teks agama dikemas dan ditafsirkan secara dangkal menjadi doktrin yang ditanamkan di benak masyarakat untuk melegitimasi kepentingan politik kekuasaan, sehingga nilai kemanusiaan dan spiritual yang seharusnya dihadirkan untuk melembutkan jiwa dan menata keberagaman kehidupan kemanusiaan, berubah menjadi doktrin, propaganda politik, sentiment ras dan golongan yang menumbuhkan kelompok fanatic eksklusif anti keberagaman.
Apa yang disajikan dalam kakawin Candra Bherawa adalah pelampauan sekat-sekat perbedaan untuk menemukan esensi dari setiap keagamaan yaitu spiritual. Dalam spiritualitas perbedaan disadari sebagai keragaman yang hadir di dunia, hadir menjadi keniscayaan dan diterima sebagai berkah dan anugerah dari Keberadaan Hyang Maha Ada.
Selain naskah Kakawin Candra Bherawa karangan Ida Pedanda Made Sidemen pengkarya juga juga mempergunakan beberapa naskah Kakawin Candra Bherawa versi lain seperti Kakawin Candra Bherawa yang dikarang oleh I Wayan Pamit, koleksi Disbud Prov. Bali, Kakawin Candra Bherawa Griya Kecicang Karangasem, dan Kakawin Candra Bherawa Griya Sidemen Karangasem yang tersimpan di Gedung Kertya Singaraja. Petikan bait-bait kakawin Gunung Kawi dan geguritan Yadnyeng Ukir karya Ida Pedanda Ngurah yang merupakan pengarang besar Bali abad ke-19 juga dihadirkan untuk memperkuat narasi penceritaan dan dialog. Geguritan Sucita-Subudi karya Ida Ketut Jelantik yang memuat ajaran yoga dan samkya juga dipilih bait-bait tembangnya untuk dipakai dalam garapan chorus vocal chant.
Pengkarya menggarap kakawin Candra Bherawa ini dalam bentuk karya Teater Pakeliran yang berjudul “Tutur Candra Bherawa”. Teater Pakeliran adalah karya Music Teater yang menekankan pada penggarapan tembang/wirama kakawin Candra Bherawa (emphasize on songs). Tembang dan wirama ini digarap dalam melodi baru (solo dan chorus) dalam laras selendro dan pelog serta digarap dalam pentatonic scale. Selain itu, pengkarya juga menggarap komposisi melodi kidung Qawwali (sufi song) dan Gregorian Chants. Pengkarya berfokus pada spirit kidung-kidung tersebut, sedangkan ekspresinya (execution) masih dalam dialog atau olah vocal Bali (kebalen). Pakeliran adalah penggarapan ruang secara dinamis, ruang penceritaan tidak hanya terbatas pada kelir dan stage yang statis tapi kelir juga bergerak memberi ruang, membatasi ruang dan membagi wilayah penceritaan.
Tutur Candra Bherawa merupakan judul sekaligus tema yang ditampilkan dalam garapan ini. Phrase Tutur Candra Bherawa mengandung makna bahwa peningkatan kesadaran atau meluasnya kesadaran memerlukan kehendak dan upaya tanpa henti yang berlangsung selama menjalani proses kehidupan, sampai mengalami atau mendapatkan kesadaran/pencerahan tentang hakekat diri sejati dan berada dalam kesadaran supra atau bodhi citta.
Garapan komposisi musik gamelan juga berdasarkan pola melodi wirama atau tembang kakawin yang digarap dengan melodi baru, diimprovisasi sesuai dengan konteks tema cerita. Sedangkan olah vocal dalang (tandak, bebaturan, ucapan, ngerak, ngelur) ditampilkan bukan hanya sekedar sebagai narasi melainkan digarap sebagai bagian dari komposisi musical yang utuh yang mempertegas tema. Koreografi dan ragam gerak tari merespon tembang/wirama dan komposisi gambelan, walaupun tetap dalam alurnya sebagai koreografi yang utuh, namun secara bersamaan menyampaikan rasa, tema dan alur cerita melalui tokoh yang ditampilkan. Penari memerankan lebih dari satu tokoh seperti dalam topeng pajegan. Penari ada yang merangkap sebagai penembang, musisi atau sebaliknya musisi dan dalang bisa merangkap sebagai penari. Semua elemen teater digarap sedemikian rupa sehingga menjadi sajian dramatic art yang menyajikan sentuhan baru (execution, staging, costume, make-up, acting style).
Perangkat alat music yang digunakan tidak menggunakan barungan gambelan yang utuh melainkan dipilih dari beberapa barungan gambelan Jawa dan Bali seperti ; bonang barung dan kenong, slentem laras selendro, bonang penembung, bonang barung, slentem laras pelog pitu, gender barung selendro, gender wayang baru bilah 14, dan alat-alat ritmis seperti kendang, rebana/terbang, berbagai gong Cina (beri), gentorag, genta, singing bowl (Nepal), manjira (cymbal finger), dan gong. Suling dan rebab untuk mempertegas melodi tembang. Disamping itu juga dieksplorasi instrument yang chin (santoor Cina) dan hang drum. Tambura juga dipakai sebagai drone untuk mengiringi vocal solo.
Pendekatan penggarapan musik vokal yang diterapkan dalam karya ini dimana bait-bait wirama dalam kakawin Candra Bherawa ini dipilih yang sesuai dengan kebutuhan alur dramatik dan musikal, terutama pada bagian manggala kakawin yang merupakan ekspresi laku yoga sang kawi, bait-bait wirama yang memuat nilai-nilai kemanusiaan dan pencerahan spiritual, bait-bait wirama yang menggambarkan keindahan alam, bait-bait wirama yang menggambarkan gemuruhnya adegan perang. Bait-bait wirama yang kontekstual ini digarap dalam melodi baru dan penafsiran terhadap melodi tembang merupakan sentuhan kedalaman rasa dari suasana dan karakter tokoh yang ditampilkan.
Penggunaan laras tidak hanya dalam laras pelog dan selendro saja tapi juga digarap dalam pentatonic scale yang diiringi dengan alat music Yang-Chin atau santoor (string instrument) sehingga melodi tembang atau kidung menjadi unik dan ada rasa lain dalam teknik melantunkan tembang. Ada beberapa tembang tidak dilantunkan sebagaimana biasanya namun disajikan seperti puisi bahasa Bali. Vocal Chorus digarap dengan lebih dramatic dimana phrase kata-kata dimainkan atau dikomposisikan untuk mendapatkan efek musical yang lebih tajam dan menyentuh. Ada beberapa Chorus berdialog dengan alat music Hang Drum untuk mendapatkan suasana humor.
Alat music yang ditampilkan merupakan ensambel baru karena memadukan ricikan gamelan Jawa dan Bali. Pengkarya mempergunakan sepasang gender yang berbilah 14 yang dibuat tahun 2008. Gender ini memakai laras selendro Jawa yang susunan nadanya seperti gender barung tapi tetap mempergunakan system ngumbang-ngisep layaknya gender Bali. Gender ini bisa dimainkan dengan tabuh lembut seperti jawa dan panggul yang keras seperti Bali. Teknik permainan juga bisa seperti tabuhan Jawa yang lembut atau memakai teknik pukulan keras dan cepat seperti gegedig Bali. Gender selendro 14 ini dipadukan dengan selentem, bonang barung dan kenong laras selendro sehingga menjadi ensambel baru yang unik. Pengkarya mengeksplorasi beberapa vokabuler pukulan gender yang baru yang otomatis juga menjadi pendekatan pola garap gamelan yang baru.
Kelir atau layar digarap dengan sangat dinamis yang dimanipulasi oleh dua orang penari atau lebih. Kelir tidak hanya berfungsi sebagai ruang dan pembatas ruang dramatik, tapi juga difungsikan sebagai simbol, property, yang memberikan kekuatan kepada suasana atau tokoh yang ditampilkan.
Dalang sebagai pembawa cerita juga berperan sebagai narator dan juga tokoh karakter tertentu. Dalam menyampaikan narasinya dalang mengkombinasikan teknik penceritaan antara tembang, puisi dan juga bermain music. Hentakan-hentakan atau teriakan teknik olah vocal dalang Bali (ngerak-ngelur) digarap sebagai sajian musical. Komposisi tari digarap menyatu dengan acting dan tembang. Ada bagian-bagian adegan tokoh yang berdialog dengan wayang di kelir dan juga wayang yang dipegang sendiri oleh penari tokoh.
Teater Pakeliran Tutur Candra Bherawa adalah garapan teater yang berdasarkan penafsiran terhadap tembang wirama karya Ida Pedanda Made Sidemen (almarhum). Melodi wirama digarap baru sesuai dengan semangat dan nilai yang terkandung dalam setiap wirama dan alur dramatik cerita. Penggarapan melodi wirama dalam laras pelog-selendro diiringi dengan suling gambuh sedangkan dalam pentatonic scale diiringi dengan alat music string Yang Chin dan Hang drum.
RUMUSAN IDE PENCIPTAAN
Teater pakeliran merupakan garapan yang total teater yaitu menggali dan memanfaatkan semaksimal mungkin unsur-unsur seni yang terdapat dalam teater tradisi Bali seperti gamelan, tembang, tari dan dialog yang biasa digunakan dalam drama tari topeng dan arja, yang dipadukan dengan elemen-elemen seni pewayangan seperti menggerakan/memanipulasi kelir dan menggarap bayangan (wayang dan manusia).
Teater pakeliran ini disajikan dalam bentuk Sangita yaitu menggunakan garapan tembang atau nyanyian sebagai penekanan dalam penyampaian cerita (emphasize on songs) sehingga menjadi sajian music teater (theatrical music). Penjelajahan melodi dan olah vocal tidak hanya pada tradisi Bali dan Jawa, tapi juga mentransformasi gaya lagu Qawwali music (sufi song) dan kidung spiritual (spiritual songs) seperti kirtan, bajan dan Gregorian chant.
Kombinasi dari beberapa ricikan gamelan jawa dan Bali menjadi ensamble baru yang mendasari penggarapan musik Teater Pakeliran ini yang tentunya memerlukan pendekatan baru dalam berkomposisi. Instrument yang dominan dipergunakan adalah alat music pencon seperti bonang barung pelog-selendro, kenong selendro, dan bonang penembung laras pelog. Sedangkan alat music wilahan hanya mempergunakan selentem pelog-selendro dan gender wayang baru bilah 14 laras selendro. Beberapa pasang kendang Bali (kekrimpingan dan gegupekan) dan kendang Jawa (sabet, ciblon dan kendang gending), terbang dan rebana dipergunakan untuk menggarap ritme. Di samping mempergunakan ricikan gamelan juga dipergunakan alat music pendukung seperti Yang Chin (alat music string), Hang Drum, gong beri, singing bowl, genta, dan suling gambuh.
Tutur Candra Bherawa merupakan judul sekaligus tema dan amanat dari garapan Teater Pakeliran ini yang diadaptasi dari Kakawin Candra Bherawa. Candra Bherawa berarti bulan dan matahari, terang benderang, galang apadang, jiwa yang telah tercerahkan. Secara tersirat bermakna menuju kepada kekosongan (kasunyatan) atau bangkitnya kesadaran untuk menemukan jati diri, meniti jalan ke dalam diri (journey to within) sehingga berada dalam kesadaran Bodhi Citta.
TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam proses penciptaan sebuah karya seni, seorang pengkarya memerlukan informasi dan referensi yang mendukung ide dan tema yang akan digarap. Informasi ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan sumber audio visual yang tersimpan dalam archive suatu lembaga ataupun yang menjadi koleksi pribadi. Demikian juga dalam penggarapan Teater Pakeliran ini pengkarya mempergunakan beberapa buku reference dan rekaman audio yang sangat berkaitan dengan garapan Teater Pakeliran “Tutur Candra Bherawa” ini. Adapun buku dan sumber audio yang dipakai sebagai acuan adalah sebagai berikut.
Candra Bherawa Kakawin Miwah Tegesipun Olih I Wayan Pamit Kayu Mas Kelod Denpasar tahun 1997. Buku ini memuat Kakawin Candra Bherawa dan terjemahannya dalam bahasa Bali dan ditulis dengan hurup Bali. Kakawin Candra Bherawa ini terdiri dari 217 bait, 12 wirama (metrum), dan 10 pupuh (babak/bab). Cerita Candra Bherawa diadaptasi dan ditransformasikan menjadi lakon pertunjukan teater pakeliran. Bait-bait wirama kakawin ini digarap dengan melodi baru sesuai dengan konteksnya dalam alur penceritaan. Filosofi, ajaran yoga sadhana, dyana, dharana, dan laku spiritual yang menjadi esensi kakawin ini menjadi pesan utama yang disampaikan dalam pertunjukan melalui dialog-dialog yang digarap dalam ungkapan gaya bahasa kekinian.
Geguritan Sucita-Subudi yang dikarang oleh Ida Ketut Jelantik diterbitkan oleh C.V. KAYU MAS AGUNG tahun 1982. Buku ini menjadi salah satu sumber sastra dalam penggarapan Teater Pakeliran ini. Bait-bait pupuh yang memakai bahasa Bali lumbrah dalam geguritan ini digarap dengan melodi baru menjadi sajian vocal music yang baru dalam laras pelog dan selendro. Ada beberapa pupuh yang digarap menjadi chorus dan puisi. Apa yang termuat dalam kakawin Candra Bherawa dielaborasi lagi dalam geguritan Sucita-Subudi ini dalam bahasa Bali lumbrah. Dialog atau antawacana dalam garapan ini juga diperkaya dari pupuh-pupuh geguritan Sucita ini.
Sanyas Dharma, Mastering the Art and Science of Discipleship oleh Anand Krishna yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 2012. Buku ini membicarakan tentang disiplin, kewajiban dan perilaku yang harus diterapkan oleh seorang Sanyas Dharma atau pelaku sepiritual. Isi buku ini sangat bermanfaat sebagai panduan bagi penggiat dan perkumpulan spiritual. Isi buku ini pengkarya pergunakan sebagai alat untuk membedah isi kakawin Candra Bherawa yang menurut pandangan penyusun secara keseluruhan mengajarkan untuk melihat diri, memberdaya diri, dan melakukan disiplin spiritual untuk mengembangkan kesadaran (expand of awareness). Candra Bherawa senantiasa mengingatkan rakyatnya agar disiplin melakukan sadhana/latihan olah rohani untuk mencapai kesadaran dan kebahagiaan (anandam). Buku ini sangat membantu memahami apa yang menjadi pesan-pesan dari sang pengarang Ida Pedanda Made Sidemen yang dituangkan dalam bait-bait wiramanya, sehingga pengkarya lebih mudah dalam menggarap alur dramaticnya dan menafsirkan tembang-tembang dalam gubahan melodi baru yang cocok dengan semangat yang ingin disampaikan pengarang.
The Mysticism of Sound and Music. The Sufi Teaching of Hazrat Inayat Khan. Yang diterbitkan oleh Shambala Dragon Edition tahun 1996. Dari buku ini pengkarya mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga yang berkenaan dengan music, tembang yang sangat erat kaitannya dengan rohani atau spiritual. Bahkan diantara music, tembang dan tari, tembang dikatakan yang paling kuat dan hidup karena tembang berasal dari suara manusia. Dan suara adalah prana, prana adalah kehidupan, sehingga tembang bersentuhan langsung dengan kehidupan, yang menyentuh langsung hati pendengarnya.
Dalam menggarap tembang wirama Kakawin Candra Bherawa ini pengkarya sangat terbantu dalam menentukan pilihan laras, karena laras akan mempengaruhi tangga nada, susunan melodi dan memberikan mood pada tembang. Menyusun melodi yang sangat menyentuh hati tidaklah mudah karena diperlukan kepekaan rasa musical dan pemilihan nada-nada yang tepat. Sehingga pemilihan laras selendro yang lebih dominan dalam garapan tembang ini karena terasa lebih menyentuh dan mampu melarutkan suasana hati penonton dan juga hati pengkarya, ini juga merupakan pengalaman pengkarya sebagai sorang vocalis.
STUTI dan STAWA Mantra Para Pandita Hindu di Bali oleh T. GOUDRIAAN&C. HOOYKAAS yang diterjemahkan oleh I Made Titib, penerbit Paramita Surabaya tahun 2004.
Di dalam buku ini pengkarya banyak mendapatkan mantra-mantra puja Astawa yang sangat relevan digarap sebagai chorus vocal chant dalam adegan pertemuan Yudistira dan Candra Bherawa saat saling menguji pencapaian yoganya.
Sangitaratnakara Of Sarngadeva Text and English Translation Vol. I oleh R.K. Shringy Prem Lata Sharma (reprinted), Munshiram Manoharlal Publisher Pvt. Ltd 2018. Dalam buku ini dijabarkan tentang asal mula swara, nada, dan sabda yang berkaitan dengan suara awal penciptaan atau Nada Brahma. Bentuk pertunjukan Sangita yaitu karya musik teater yang menggunakan garapan tembang atau nyanyian sebagai penekanan dalam penyampaian cerita (emphasize on songs) dengan penjabaran penerapannya dalam penggarapan melalui tiga pertimbangan musikal yaitu bukti-mukti-jiwan mukti. Bukti karya musik teater digarap dengan pertimbangan-pertimbangan logika tanpa mengabaikan etika berkarya dan kreativitas estetika yang didasari oleh kesadaran spiritual. Mukti berarti karya musik teater sarat dengan nilai perenungan atau kontemplasi (dharana) yang mengantarkan ke dalam kepada kesadaran dan keseimbangan (dhyana). Sedangkan jiwan mukti berarti karya musik teater memberikan pencerahan dan pembebasan dari obsesi-obsesi indrawi yang membelenggu evolusi jiwa.
Ida Pedanda Made Sidemen Pengarang Besar Bali Abad ke – 20 oleh IBG Agastya Yayasan Dharma Sastra Denpasar 1994. Dalam buku ini diulas tentang karya-karya sastra Ida Pedanda Made Sidemen seperti Purwagama (Siwagama), Cayadijaya (kakawin Cantaka), Candra Bherawa (kakawin Dharma Wijaya), Singhalanggyala, Kalpha Sanghara, Kidung Pisacarana. Dalam kakawin Singhalanggyala bait ke dua tersirat konsep kepengarangan Ida Pedanda Made Sidemen. Konsep yang dimaksud adalah Gandha Sesa dan Bhasma Sesa. Gandha Sesa adalah sebagai badan keindahan yang mewadahi ke-Ilahi-an atau ke-Ilahi-an yang mewujud sebagai badan keindahan (sang mawak sira gandha sesa uriping bhuwana paniwi sang wruhing kawi). Konsep gandha sesa ini penyusun terapkan dalam proses penggarapan tembang, menyusun melodi, pelarasan, dan penggarapan musik untuk medapatkan lungsuran lango atau berkah keindahan (mangke ngwang anular ndatankna ring opahata mahayu lungsuran lango).
Kidung Hredaya Saking Swara Ngarcana Ishwara Mengembara Dalam Diri, Disertasi Karya Seni Oleh I Gusti Putu Sudarta, Program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Program Doktor ISI Surakarta 2019. Dalam Disertasi ini penyusun mendapatkan pengertian tentang konsep karya kidung yaitu Swara-Aksara-Iswara. Swara adalah elemen pokok (prana) yang disusun dan digarap sebagai tembang kidung untuk memuja Hyang Maha Iswara. Suara muncul dan bisa didengar (audible) melalui prana dalam tubuh manusia di mana tubuh sebagai resonansi suara. suara adalah manifestasi dari getaran-getaran alam semesta yang selalu ada sebagai suara penciptaan yang disebut sebagai Nada Brahma. Aksara adalah simbol bunyi. Dalam kaitannya dengan esoteric aksara bukanlah sekedar simbol bunyi karena aksara adalah sesuatu yang hidup, tidak mati. Aksara adalah manifestasi dari suara, suara awal, suara alam semesta. Suara dalam Hindu disebut sebagai AUM – tanpa awal dan tanpa akhir. Tak bermula dan tak berakhir – AUM adalah yang abadi, prenawa atau suara awal. Aksara sebagai manifestasi dari suara, getaran, vibrasi Illahi , penyusun hadirkan dalam manggala karya teater pakeliran sebagai kidung persembahan. Kidung sebagai yantra yang mengarahkan citta dan manah berada pada dharana (konsentrasi) sehingga terjadi dhyana (meditasi). Dalam dhyana keseimbangan diri terjadi, kesadaran meluas, kesadaran supra, kidung lebur dalam samadhi, kebahagiaan yang tidak terjelaskan, Ishwara.
Disamping naskah kakawin dan buku-buku reference sebagai sumber penciptaan pengkarya juga mempergunakan rekaman audio visual garapan Teater Pakeliran sebagai acuan dalam penggarapan ini, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pragmen Wayang Sudamala, DVD yang direkam oleh dewata TV, merupakan karya kolaborasi I Gusti Putu Sudarta dengan group gamelan Dharma Swara New York dalam parade Gong Kebyar Pesta Kesenian bali tahun 2010. Garapan ini merupakan garapan yang total teater, memanfaatkan semua elemen seni sebagai media ungkap. Penggunaan layar atau kelir yang sangat dinamis dan maksimal mampu membatasi ruang stage Arda Chandra yang cukup luas. Kelir digerakan oleh 2-3 orang penari, dimanipulasi mengitari stage, kadang dibentangkan membelah stage untuk meberikan ruang dan membatasi ruang, juga berfungsi sebagai property. Teknik ini pengkarya kembangkan lagi sebagai cara untuk menyiasati pendukung yang sedikit tapi mempu berperan ganda, fleksibel dan terasa memenuhi panggung yang cukup luas. Pergantian suasana dramatic yang sangat cepat dan tiba-tiba juga terbantu oleh penggunaan kelir yang dinamis ini.
Music Theater Gayatri, DVD koleksi pribadi. Merupakan karya music theater oleh I Gusti Putu sudarta berkolaborasi dengan Jasmine Okubo (penata Tari) dan musisi dari Taiwan yang dipentaskan dalam Pesta Kesenian Bali tahun 2011. Garapan ini menampilkan ensambel baru yang merupakan perpaduan gamelan Jawa dan Bali terutama instrument pencon dan wilahan. Penggarapan proses penceritaan seperti topeng pajegan. Dalang disamping sebagai narator juga berperan sebagai tokoh karakter tertentu dan juga sebagai penyanyi dan musisi. Penggarapan tembang-tembang dan kidung dalam pentatonic scale sangat menarik untuk dikembangkan. Temuan ini pengkarya kembangkan dalam menggarap tembang wirama dari bait-bait kakawin Candra Bherawa dalam melodi baru memakai laras selendro dan pentatonic scale.
Teater Pakeliran Puyung Bolong Telah Ilang karya I Gusti Putu Sudarta dan Sanggar Bajrajnyana Music Theater Bona Gianyar yang dipentaskan pada Mahalango Festival II tahun 2015 di Stage terbuka Ardha Candra Taman Budaya Denpasar (DVD koleksi pribadi). Dalam karya ini pengkarya terinspirasi dengan penggarapan penceritaan yang mengadaptasi kekuatan fleksibel teater tutur. Ruang penceritaan digarap seimbang antara ruangan pentas dan di layar (kelir).
Migrating Shadow karya kolaborasi lintas budaya (trans culture collaboration) produksi Cornell University Ithaca New York tahun 2019. Karya Migrating Shadow disutradari oleh I Gusti Putu Sudarta berkolaborasi dengan composer dari Department of Music Cornell University yang diarahkan oleh Chriss Miller (composer dan Ethnomusicology). Penyusun tertarik dengan perpaduan wayang kulit Bali dengan musik perkusi, gamelan, dan vokal. Unsur improvisasi diberikan ruang dan menjadi bagian penggarapan utama. Kekuatan pengembaraan keahlian individu merespon situasi dan keadaan (desa kala patra) menjadi kunci kekuatan plot dan alur dramatic pertunjukan. Hal ini pengkarya adaptasi dalam garapan teater pakeliran ini terutama pada penceritaan dalang sebagai story teller.
Wayang Nicotiana karya kolaborasi I Gusti Putu Sudarta (dalang) dengan group music keroncong RUMPUT di Richmond Virginia Amerika. Karya ini merupakan pertemuan wayang kulit Bali dengan Crankie atau wayang beber Amerika yang diiringi dengan musik keroncong dan Virginia apalachian music yang dipimpin oleh Andy Clay MacGraw (komposer dan ethnomusicology University of Richmond) dan Hannah (penyanyi, penulis lagu, musicology). Dalam karya ini spirit wayang kulit Bali dihadirkan dalam wadah wayang Crankie (screen panorama). Menariknya kekuatan penceritaan ada dalam manipulasi improvisasi bayangan wayang Bali yang diimbangi dengan gambar Crankie yang naratif, tanpa dialog, narasi penceritaan hanya dengan nyanyian apallachian yang dipadu dengan musik langgam keroncong. Model penggarapan ini diadaptasi dalam penggarapan layar dan bayangan wayang.
Teater Tutur Munyin Paksi karya I Gusti Putu Sudarta dengan Bajrajnyana Music Theater yang dipentaskan dalam event Festival Seni Bali Jani III Tahun 2021 di Natya Mandala ISI Denpasar. Teater tutur ini mengambil cerita yang diambil dari Geguritan Amad Muhamad. Kekuatan teater tutur yang menghadirkan keseimbangan improvisasi dan dialog yang dinaskahkan membangun adegan penceritaan menjadi hangat dan cair. Nyanyian tembang qawwali music (music sufi) dipakai membingkai dan mengantarkan setiap pergantian babak. Bagian kreativitas ini pengkarya adaptasi dan formulasikan lagi sesuai dengan ruang penceritaan di teater pakeliran.
Penelitian yang dilakukan dengan menelaah sumber reference dan video pertunjukan seperti yang diuraikan di atas menghasilkan suatu formula yang dipakai dalam penggarapan Teater Pakeliran Tutur Candra Bherawa ini. Formula ini memberikan langkah kreatif dalam menentukan karya sastra yang dipakai sebagai sumber cerita, transformasi cerita dari karya sastra menjadi naskah lakon, penyusunan alur cerita dan dramatic lakon, garapan tembang dan musik dengan pemilihan alat musik, penentuan laras dan mood, disesuaikan dengan tuntutan adegan. Penggarapan skrip karya mengacu kepada esensi Tutur Candra Bherawa yang dijabarkan dalam dialog-dialog dengan bahasa ungkap kekinian sehingga nilai filosofis dan spiritual yang memerlukan perenungan (kontemplatif) bisa ditangkap dengan jelas oleh audien.
METODE PENCIPTAAN
Setiap melakukan kekaryaan atau menggarap suatu karya seni pengkarya selalu menerapkan pendekatan dan metode penciptaan supaya proses penggarapan menjadi lebih sistimantis, efektif dan efisien, berkembang susuai dengan guide line yang telah ditetapkan. Dalam penggarapan Teater Pakeliran ini pengkarya mempergunakan metode yang dipakai dalam penggarapan karya sastra dan perundagian (arsitektur Bali) oleh Ida Pedanda Made Sidemen yaitu Gandha Sesa dan Bhasma Sesa. Metode penciptaan ini dipakai dalam mentransformasikan (mewujudkan) karya sastra Kakawin Candra Bherawa menjadi karya teater yang bertolak dari spirit dan estetika teater tradisi Bali seperti Dramatari Topeng, Wayang Kulit, dan Calonarang. Tentunya setiap bagian-bagian penggarapan yang merupakan elemen-elemen pendukung karya penerapan metodenya berbeda, seperti penggarapan tembang atau vocal tentunya berbeda penerapan metodenya dengan penggarapan music, begitu juga dengan tari dan koreografinya dalam kaitannya dengan konteks karya teater pakeliran.
Sebagai kreator dalam wilayah teater dan pakeliran, pengkarya telah cukup banyak melakukan berbagai pendekatan dan model penggarapan dalam karya sendiri maupun berkolaborasi dengan seniman lintas budaya dan negara. Yang menjadi prinsip dasar dalam penggarapan karya yang telah dilakukan adalah bagaimana membawa kekayaan rupa, suara, dan esensi seni teater tradisi menjadi materi dasar pijakan kekaryaan seni pertunjukan teater dalam konteks kekinian. Tentunya diperlukan kecerdasan untuk mentransformasikan dan menghadirkan mutiara-mutiara seni tradisi ini ke dalam ruang waktu kekinian. Adapun yang pengkarya lakukan dalam menggarap karya teater ini adalah mengambil, memulyakan esensi dan spirit teater tradisi yang diwadahi konsep, bentuk pertunjukan yang baru dengan pertimbangan estetika, logika dan spiritual. Jadi bentuk pertunjukan tradisi tidak serta merta secara wadag dihadirkan dalam kekaryaan akan tetapi dipilih elemen-elemen teater tradisi yang ditransformasikan dan diberdayakan dalam konteks kebutuhan ruang dan waktu saat ini.
Ngarcana sarining lango adalah menjadi konsep dasar dalam kekaryaan ini. Ngarcana sarining lango berarti mewujudkan ke-Ilahi-an yang tanpa wujud (nir-rupa) dan dipuja dalam lantunan melodi tembang. Ngarcana sarining lango ini dijabarkan menjadi bukti-mukti-jiwan mukti. Bukti berarti karya teater pakeliran ini digarap dengan pertimbangan-pertimbangan logika dramatic tanpa mengabaikan etika berkarya dan kreativitas estetika yang didasari oleh kesadaran spiritual. Mukti berarti karya teater ini sarat dengan nilai-nilai perenungan atau kontemplasi (dharana) yang mengantarkan kepada kesadaran dan keseimbangan diri (dhyana). Jiwan mukti berarti karya teater ini memberikan pencerahan sehingga bebas dari obsesi-obsesi indrawi yang membelenggu evolusi jiwa (R.K. Shringy Prem Lata Perma, 2018 : 2018).
Konsep kerja kekaryaan Bukti-mukti-jiwan mukti dijabarkan dalam metode penciptaan yang disebut dengan Gandha Sesa dan Bhasma Sesa. Gandha Sesa berarti kegiatan kreativitas yang berkaitan dengan menyusun lagu, gending, pemilihan laras atau patutan, metrum komposisi tembang, dan suara vokal. Sedangkan Bhasma Sesa adalah membangun kerangka lakon, alur dramatic, naskah lakon, dan bentuk penyajian serta artistic design (Agastya, 1994 : 22).
Gandha Sesa
Proses awal yang pengkarya lakukan adalah pendalaman pemahaman naskah Kakawin Candra Bherawa yang menjadi sumber sastra (cerita). Pengkarya membaca ulang setiap tembang, memahami arti dan makna yang terkandung dalam setiap wirama. Pengkarya menerapkan metode dialog imajiner dengan sang pengarang (melalui karya sastranya) karena beliau sudah almarhum (Adi Hyang). Apa yang pengarang sampaikan dalam bait-bait kakawinnya pengkarya meresponnya seolah-olah beliau masih hidup sehingga “mengalami” dan “terjadi” dialog langsung. Dalam proses dialog imajiner ini pengkarya merasakan seperti dimarahi, dinasehati dan dirayu oleh sang pengarang. Ketika berlangsungnya dialog inilah pengkarya menemukan intisari dari ajaran agama seperti apa yang dimaksudkan oleh pengarang yaitu spiritual. Penghayatan bait-bait kakawin Candra Bherawa ini mengguyur ruang imajinasi pengkarya sehingga banyak inspirasi yang muncul yang bisa dikembangkan dalam detail penggarapan.
Selanjutnya pengkarya memilih bait-bait wirama yang akan dipakai dalam garapan ini. Wirama yang digarap sebagai vocal solo dan wirama yang digarap untuk chorus. Pemilihan laras dan patet yang diterapkan pada setiap pupuh sesuai dengan tuntutan karakter tokoh, mood dan suasana yang diinginkan dalam setiap scene-nya. Pengkarya memilih laras selendro yang lebih dominan yang diiringi gamelan dan suling gambuh disamping juga pemilihan pentatonic scale dalam penggarapan tembang yang diiringi dengan string instrument (Yang Ching) dan Hang Drum.
Dalam penggarapan tembang ini pengkarya menerapkan metode Alamkara yang biasanya hanya dipakai dalam penciptaan kekawin dan geguritan. Alamkara berarti cara mengekspresikan buah pikiran melalui bahasa (musical) secara khas, yaitu dengan memainkan unsur-unsur bahasa seperti bunyi, suku kata dan kata (musical). Yang dominan digunakan adalah Sabdalamkara, hiasan atau permainan bunyi dan atau kata-kata (musical).
Dalam penggarapan musiknya dimana instrument yang dominan adalah pencon, gender dan berbagai jenis kendang dan rebana, pengkarya menerapkan beberapa pendekatan. Untuk alat music bonang dan kenong pengkarya mempergunakan vocabuler pukulan gender wayang sebagai teknik tabuhannya sehinga kenong dimainkan oleh dua orang musisi dan bonang barung selendro oleh dua musisi, bonang barung dan penembung pelog dimainkan oleh masing-masing empat musisi yang merangkap sebagai pemain kendang dan rebana. Metode yang diterapkan adalah transfer teknik lintas instrument yaitu system permainan instrument gender dan pattern string instrument dipakai dalam teknik tabuhan bonang dan kenong. Pendekatan teknik ini banyak menemukan vokabuler baru yang memberikan kesan dan suasana baru.
Untuk penggarapan instrument gender wayang baru wilah 14, penyusun menemukan beberapa vokabuler baru dalam teknik tabuhan gender wayang. Untuk membangun melodi digunakan teknik kotekan pada kedua tangan (yang umumnya tangan kiri sebagai melodi pokok dan tangan kanan sebagai kotekan/interlocking pattern), dimana kotekan tangan kiri disangsih (counter part) dengan kotekan tangan kanan. sehingga melodi pokok/polos yang dimainkan oleh satu penggender sudah di-sangsih. Sedangkan musisi yang menjadi pasangan penggender yang memainkan sangsih (nyenikan) merespon juga dengan vokabuler sangsih dengan penerapan teknik yang sama (kotekan tangan kiri disangsih oleh tangan kanan). Melodi yang dibangun menjadi menarik dan complicated. Disamping itu untuk penggarapan gender wayang bilah 14 ini juga menggunakan pattern petikan cikari instrument sarod (alat music India). Petikan cikari diadaptasi dalam permainan gender wayang menjadi pola gegedig (tabuhan) dimana tangan kiri sebagai pemegang melodi diimbangi dengan permainan ritmis tangan kanan dalam satu nada (pukulan nitir), pukulan tangan kanan dalam satu nada gender wayang dengan kecepatan double atau triple. Metode ini pengkarya sebut dengan teknik sarodan.
Untuk penggarapan wayang (bayangan), pengkarya menggunakan pendekatan kelir dinamis yaitu kelir/layar dimainkan oleh dua sampai tiga orang penari, kelir dimanipulasi dan dimainkan membentang, melintang, membelah stage, dan memberikan ruang dan sekat pembatas stage untuk memberikan suasana dramatis pada adegan tertentu, sehingga layar menjadi property yang fleksibel.
Penari yang memerankan tokoh utama melakukan dialog dan menembang. Penari merespon gerakan dengan tembang (ngendingan igel) dan sebaliknya juga merespon tembang dengan gerakan, gesture dan juga acting (ngigelin gending) sehingga dibutuhkan penari yang serba bisa.
Dalang memandu jalannya cerita dengan narasi yang ekspresinya bisa berupa tembang atau nyanyian, puisi basa Bali dan juga phrase kata-kata yang digarap secara musical. Dalang dalam perannya sebagai penutur (story teller) juga melakukan narasi dengan melantunkan tembang-tembang improvisasi cecantungan sambil memainkan alat music Hang Drum, genta dan Yang Chin. Kekuatan cara bertutur tokoh penasar dalam dramatari topeng Bali dihadirkan sebagai monolog yang berkarakter lentur, serius bercerita dengan sisipan tatwa (filsafat), jenaka dengan lantunan tembang dan puisi.
Bhasma Sesa
Selanjutnya pengkarya menggarap alur dramatic dengan mempertimbangkan penekanan-penekanan pada setiap adegan yang ditampilkan, tokoh yang dimunculkan dan durasi waktu yang diperlukan. Akhirnya pengkarya mendapatkan plot yang bagus dari garapan ini dengan deskripsi sebagai berikut.
1. Manggala Charana
Manggala Charana adalah bagian awal pembuka (pamungkah) dari karya teater pakeliran ini, dilakukan prosesi ritual dan doa mohon keselamatan kepada Sanghyang Tiga, Saraswati, Guru Reka, Kawi Swara dan Hyang Shiwa Budha (manggala kakawin Candra Bherawa). Doa dalam tembang puja stawa diiringi dengan tambura sebagai drone yang melatari vokal tembang. Suling gambuh menjalin melodi tembang dan memberikan respon penekanan melodi. Penari duet hadir dengan gerakan meditatif melakukan gerakan-gerakan asana puja. Kedua penari lalu membentangkan kain putih sebagai layar dan muncul bayangan kayonan dengan gerakan memanipulasi bayangan membesar dan memenuhi layar. Dari ujung kayonan muncul image Ilahi sebagai murti Shiwa Budha.
2. Angga
Angga merupakan bagian pokok dari alur dramatic lakon. Pada bagian angga ini proses penceritaan dimulai yang diawali dengan tembang atau wirama mengisahkan keadaan kerajaan Dewantara desa dimana Sri Candra Bherawa bertahta. Candra Bherawa adalah raja penganut Budha Bajradara yang menyembah Hyang Adhi Budha di Padma Hredaya atau Padma hati yang berada dalam lapisan kesadaran paling halus yaitu kesadaran bodhi citta. Keadaan rakyatnya sangat makmur dan damai. Hasil bumi melimpah karena didukung keadaan alam lingkungan yang subur. Sungai mengalir bersih, hutan hijau lebat tempat berlindungnya berbagai satwa. Penggambaran visual didukung tembang dalam laras selendro dengan iringan instrument gender bilah 14 dan kenong selendro. Biola dan celo memberikan warna dengan mengimbangi melodi tembang.
Kayonan muncul dilayar dengan narasi vokal dalang sebagai pergantian babak. Komposisi musik dengan bonang penembung dalam pola ritme yang cepat didukung dengan suara gong beri yang menggelegar sebagai aksen perubahan suasana.
Dalang hadir sebagai penembang melantunkan kisah tentang keberadaan raja Yudistira di kerajaan Astina. Susana pertemuan Yudistira dan Sri Kresna digambarkan dalam tembang yang diiringi dengan hang drum dalam laras selendro Cina. Setiap lantunan tembang dibahas dan dikomentari layaknya pembacaan kakawin yang digarap dengan lebih musikal dan dramatic. Di Layar penggambaran keadaan pertemuan dimana Sri Kresna bermaksud menyerang kerajaan Dewantara karena raja Candra Bherawa berbeda agama tidak mengakui paham Shiwa dengan segala tatacara pemujaannya yang dianut oleh Yudistira. Yudistira sebenarnya tidak setuju dengan penyerangan ke Dewantara karena masalah keyakinan yang dianut adalah urusan pribadi setiap orang.
Sri Krisna akhirnya mengerahkan pasukan yang dipimpin oleh Bima, Arjuna dan Nakula Sahadewa berangkat ke kerajaan Dewantara untuk menghukum raja Candra Bherawa.
Dalang melantunkan tembang dengan hang drum mengisahkan keadaan manusia saat ini. Dimana persoalan dari jaman dahulu dan sekarang adalah sama. Perbedaan agama dimanipulasi untuk kepentingan politik kekuasaan. Suatu kaum diserang dan dimusnahkan karena berbeda keyakinan. Agama seharusnya mempersatukan umat manusia sebagai sesama warga bumi, satu langit dan satu kemanusiaan. Ketika agama dilembagakan menjadi jauh melenceng dari intisarinya yaitu spiritual. Spiritual mempersatukan segala perbedaan karena melampaui sekat perbedaan dan menerima kebinekaan sebagai berkah. Di layar muncul visual pertempuran antara pasukan Astina yang dipimpin oleh Kresna dengan pasukan Dewantara. Pihak Astina kalah tidak mampu menghadapi kesaktian Candra Bherawa. Bahkan Sri Kresna dalam wujud Wisnu tidak mampu menghadapi Candra Bherawa.
Yudistira bertemu dengan Candra Bherawa dalam debat tentang yoga dan ketuhanan sampai dengan pembuktian pencapaian kesadaran spiritualnya. Dalam penggambaran ini divisualkan dengan dua penari dalam koreografi duet sebagai penggambaran dua jalan yoga yaitu Shiwa Budha. Gerakan penari digarap dalam gerak halusan menari dengan kontras namun harmonis. Sepasang kemanak ditabuh dalam ritme pelan, tembang dilantunkan sebagai puja astawa kepada Shiwa Budha. Suling gambuh dan biola dengan melodi menjalin lantunan tembang.
3. Wasana
Wasana adalah merupakan epilog dari alur dramatic lakon. Di layar hadir dua kayonan dengan memenuhi ruangan kelir. Narasi dalang tentang penyatuan Shiwa Budha. Agama adalah jalan yang ditempuh untuk menuju Hyang Maha Suci. Jalan bisa berbeda namun yang dituju adalah satu Hyang Maha Ada.
Untuk penataan artistik pengkarya mempergunakan separangkat lampu elektrik untuk mendukung suasana adegan dan memberikan pencahayaan pada kelir/layar. Penggunaan seperangkat sound system dan juga clif on/wareless untuk mendukung kekuatan suara gamelan dan suara vocal.
Garapan ini didukung oleh mahasiswa pedalangan dan alumni ISI Denpasar disamping juga melibatkan beberapa dosen dan seniman. Sehingga proses latihan dilakukan di dua lokasi yang berbeda. Untuk latihan vocal, chorus dan penari difokuskan di studio pedalangan ISI Denpasar sedangkan untuk latihan musiknya pengkarya fokuskan di desa Bona karena pengkarya mempergunakan gamelan yang ada di studio pengkarya.
Kesimpulan
Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa garapan Teater Pakeliran ini merupakan garapan yang total teater (music, tari, tembang, acting dan pewayangan/pakeliran) dimana memberikan penekanan pada garapan tembang atau nyanyian (emphasize on songs) seperti layaknya music teater. Garapan Teater Pakeliran ini mengangkat Kakawin Candra Bherawa karya Ida Pedanda Made sidemen (almarhum) sebagai sumber cerita dan penggarapan music vocal yang diberi judul “Tutur Candra Bherawa”.
Perangkat alat music yang digunakan merupakan pilihan dari ricikan gamelan Jawa yang memakai pencon seperti bonang barung dan kenong laras selendro, bonang barung dan bonang penembung laras pelog, selentem pelog dan selendro. Sedangkan untuk instrument wilahan dipergunakan gender wayang baru wilah 14 yang susunan nadanya seperti gender barung selendro Jawa dengan tetap mempergunakan system ngumbang-ngisep. Beberapa jenis kendang yang dipergunakan seperti kendang Jawa (sabet, ciblon, kendang gending), rebana dan terbang. Sedangkan untuk kendang Bali digunakan kendang kekrimpingan. Juga menggunakan sepasang gong lanang wadon, gong beri (besar dan kecil), genta dan singing bowl. Pengkarya juga mepergunakan Yang chin/santoor (Chinese string instrument) dan juga Hang drum (alat music perkusi). Perangkat alat music ini merupakan ensambel baru perpaduan alat music Jawa dan Bali yang didukung alat music string dan perkusi.
CATATAN:
- Tulisan ini adalah konsep garapan karya yang dipentaskan awal Agustus 2022
- Foto-foto: proses latihan Teater Pakeliran Tutur Candra Bherawa
- Pengkarya yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penulis (I Gusti Putu Sudarta)
DAFTAR PUSTAKA
- Pamit. I Wayan. Candra Bherawa Kakawin Miwah Artos ipun. Kayu Mas Kelod, Denpasar.
- Dr. R.K. Shringy , Dr. Prem Lata Sharma, Sanggita Ratnakara Of Sarangadeva, Sanskrit Text And English Translation With Comments And Notes. Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd. 1989
- Edi Haryono & Bela Studio, Menonton Bengkel Teater Rendra. Kepel Press November 2005
- Edi Sedyawati, Kebudayaan Di Nusantara, Dari Keris Tor-Tor, Sampai Industri Budaya. Komunitas Bambu 2014
- Hazrat Inayat Khan, The Music Of Life. Omega Publisher Inc. 2005
- Herry Gendut Janarto, Teater Koma, Potret Tragedi Dan Komedi Manusia (Indonesia). Grasondo 1997
- Wisasmaya, Ida Komang. Gegurita Sucita – Subudi. Paramita Surabaya 2012
- Inayat Khan, Hazrat, 1996, The Miysticism Of Sound And Musik, The Sufi Teaching, Shambala Dragon Edition, Boston&London
- Jlantik, Ida Ketut, Geguritan Sucita, C.V. Kayu Mas Agung, Denpasar. 1982.
- Krishna, Anand, 2012. Sanyas Dharma, Mastering The Art And Science Of Discipleship. Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
- Lono Simatupang, Pergelaran, Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya. Jalasutra 2013
- Murgiyanto, Sal, 1977, Pedoman Dasar Pengkaryatari [Terjemahan : A Primer For Choreographers], Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta.
- N. Riantiarno, Mahabarata Jawa. Pt Grasindo, Anggota Ikapi, Jakarta September 2016
- Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, Su, Antropologi Sastra: Persnan Unsur-Unsur Dalam Proses Kreatif. Pustaka Pelajar. Desember 2011
- Rendra, W.S. Mempertimbangkan Tradisi, Pt Gramedia, Jakarta
- Riantiarno, N, 2003, Menyentuh Teater: Tanya Jawab Seputar Teater Kita, Indonesia : Mu:3 Jakarta.
- Sal Murgiyanto, Pertunjukan Budaya Dan Akal Sehat. Fakultas Seni Pertunjukan – Ikj. Komunitas Bambu Senrepita 2015
- Satoto, Soediro, 2005, Teater : Seni Pertunjukan Sebuah Perspektif Silang Budaya Dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara, Program Pendidikan Pascasarjana, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
- Shringy, R.K., “Sangita Ratnakara of Sarngadeva” Text and English Translation. Prem Lata Sharma. Motilal Banarsidas Delhi. 1978.
- T. Goudriaan & C. Hooykaas, Stuti dan Stava, Mantra Para Pandita Hindu Di Bali (Bauddha, Saiva, dan Vaisnawa), Paramita, Surabaya. , 2004
- Teater Mandiri, Tradisi Baru, Kumpuln Lakon Putu Wijaya. Pentas Grafika 2020
- Tommy F. Awuy, Teater Indonesia : Konsep, Sejarah, Problema. Dewan Kesenian Jakarta November 1999
- Wahyu Sihombing, Slamet Sukirnanto, Ikranegara, Pertemuan Teater 80. Dewan Kesenian Jakarta Pebruari 1980
- Ibm Dharma Palguna, 1998, Ida Pedanda Ngurah Pengarang Besar Bali Abad Ke-19. Yayasan Dharma Sastra Denpasar.
DAFTAR MANUSKRIP
- Kakawin Candra Bherawa , Geria Kecicang Karangasem, Katurun antuk Anak Agung Ngurah Gde Ngurah, I Wayan Patera. Gedong Kertya Singaraja.
- Kakawin Candra Bherawa, Jro Kanginan Sidemen, Karangasem. Sane nedun Ida I Dewa Gede Catra. Tgl ngetik 3 pebruari 1984.