“Kapan ada acara screening lagi, Bli? Kalau ada jangan lupa kirim undangan lagi ya, Bli!”
Begitu kira-kira isi pesan yang saya dapat pagi ini. Pengirimnya seorang anak sekolah menengah atas negeri di kota Tabanan.
Hari Rabu, 29 Juni 2022 lalu, bertempat di Kedai Tangkil, Tabanan, ia, si pengirim pesan itu, mengikuti acara Short Film Screening yang diadakan Ceritanya Creative Movement, sebuah komunitas yang saya buat sejak setahun lalu. Anggotanya tidak banyak, baru saya sendiri. Tapi saya mengandalkan kolaborasi di setiap kegiatannya.
Di acara screening malam itu, saya mengandeng Perpustakaan Jalanan Tabanan, menghadirkan kreasi Dread Team dalam menciptakan karya audio visual yang berbasis horor, thriller dan teman-temannya, pun memuat mitos-mitos yang lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Ide untuk mengundang Dread Team pertama kali muncul tanggal 18 Mei 2022 saat saya bertemu dengan salah satu pendiri Dread Team, yaitu Anak Agung Ngurah Bagus Kusuma Yudha, atau yang akrab disapa Bli Gung Yudha. Malam itu kebetulan sedang ada acara Screening Indonesia Raja 2022 di Tabanan, dan Bli Gung Yudha adalah salah satu sineas Bali yang filmnya lolos kurasi program tahunan dari Minikino tersebut.
Di akhir acara, spontan saja saya mengajaknya untuk screening lagi di Tabanan, menayangkan film-film pendek horror yang ia bersama Dread Team pernah ciptakan. Bli Gung Yudha pun menyambut baik ajakan saya. Nah jadilah, saya memutuskan untuk mengadakan screening di tanggal 29 Juni 2022.
Hari itu, sejak pukul 18.30 WITA para peserta mulai datang memenuhi lokasi screening di Kedai Tangkil, Tabanan, sebuah tempat nongkrong anak-anak muda Tabanan di sebelah utara Lapangan Alit Saputra, atau yang biasa disebut Lapangan Dangin Carik, lapangan yang benar-benar menjadi sebuah carik jika hujan lebat turun.
Di sisi-sisi jalan, motor-motor terparkir dengan rapi. Sebuah LCD proyektor ditembakkan di atas tembok sebelah barat. Sekitar pukul 19.00 WITA, 23 peserta yang didominasi oleh anak-anak sekolah menengah atas/sederajat sudah duduk di tempat masing-masing sembari menikmati minuman dan cemilan yang mereka pesan. Mereka sudah siap untuk menonton bersama film-film pendek horror yang dibuat Dread Team.
Barulah, sekitar 19.10 WITA, saya mengambil microfon dan menjadi pemandu acara pada malam itu, menyambut dan mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang datang, sekaligus memberikan aba-aba bahwa acara sudah dimulai.
Salah satu peserta sedang mengisi daftar hadir. | Foto dari IBWSD
Ada 7 film pendek horror yang ditayangkan malam itu, yaitu “Roh” (04.53) bercerita tentang penjelajahan di tempat yang asing. Tanpa petunjuk, berputar – putar di tempat yang tak pernah diketahui. “Ayo Makan” (04.24) mengisahkan seseorang yang mendapat ajakan untuk makan secara menegangkan.
“Leak (Wicked Witch)” (17.18) menayangkan tentang empat orang mahasiswa berencana membuat penelitian tentang penyihir jahat di Bali yang disebut Leak. Berawal dari mendapatkan informasi yang diberikan oleh Jero Mangku (pendeta adat di Bali) terhadap keberadaan Leak hingga berubah menjadi teror saat leak yang mereka cari ternyata memburu mereka.
“Tindihan” (03.01) menggambarkan seseorang yang tidur di saat senja. “Tok..Tok..Tok” (03.26) menampilkan sekelompok orang yang kedatangan tamu saat sedang membicarakan hal-hal horror. “13 Tiga Belas” (02.40) memperlihatkan sekelompok remaja pergi untuk berkemah. Ketika menghitung peserta untuk dibagikan tenda, ternyata ada yang aneh.
Yang terakhir, “Angkaraayu” (19.58) menceritakan tentang Seorang wanita ayu yang mengalami hari yang keras dalam perjalanan hidupnya. Rasa dendam menguasai jiwanya terlebih pada satu kejadian sial yang menimpa dirinya.
Suasana short film screening di Kedai Tangkil. | Foto dari IBWSD
Salah satu peserta menyampaikan pertanyaan kepada Gung Yudha saat sesi diskusi | Foto dari IBWSD
Film-film pendek horor yang dibawa oleh Dread Team malam itu saya rasa berhasil membawa penontonnya untuk merasakan ketegangan dan kengerian sebagaimana yang dirasakan tokoh-tokoh di dalamnya. Cerita-cerita yang ditawarkan memang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Bali, seperti Seperti cerita tentang mitos yang beredar di masyarakat seperti jangan menyapu di malam hari, pantangan menaruh cermin di depan tempat tidur serta tindihan karena tidur di tengah waktu sandikala. Satu dua orang pasti pernah mengalaminya di dunia nyata.
Dalam hidup, sekali dua kali kita pasti pernah bersinggungan dengan hal-hal yang ganjil. Entah mistis. Entah horor. Lewat film-film yang mereka garap, Dread Team sepertinya ingin memberikan informasi dan pengalaman lebih jauh untuk mengenali hal-hal ganjil tersebut. Bagi saya sendiri, yang paling menarik dari semua film yang ditayangkan pada malam itu adalah “Leak (Wicked Witch)”, karena digarap menggunakan teknik sinematografi first person shooter.
Film tersebut membuat siapapun yang menonton merasakan secara langsung kengerian yang dirasakan empat orang mahasiswa yang berencana mencari keberadaan leak di Bali justru dikejar oleh leak yang mereka cari.
Perserta menonton sambil ditemani cemilan dan minuman. Foto dari IBWSD
Bagi Dread Team, mengangkat tema horror merupakan salah satu cara untuk melestarikan konsep bercita yang berkaitan dengan isu-isu lokal yang ada di masyarakat. Di Bali sendiri ada banyak penikmat horror, namun sedikit sekali dan sangat jarang ada ynag mau memproduksi film horror secara serius.
Nah, itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Bli Gung Yudha, bersama kedua orang temannya, Eka Dirgantara dan Gung WS membentuk Dread team di tahun 2014 hingga berkembang seperti sekarang ini.
Syukurlah, film-film pendek horror mereka mendapat sambutan yang sangat baik bagi anak-anak muda Tabanan. Pada saat sesi diskusi, mereka cukup antusias mempertanyakan hal-hal seputar film-film yang mereka tonton tadi atau seputar teknik-teknik membuat film secara umum.
Salah seorang peserta menyampaikan pertanyaan saat sesi diskusi. Foto dari IBWSD.
Ada yang bertanya apakah Dread Team meminta izin menggunakan ritual permohonan izin terlebih dahulu sebelum menggarap filmnya, ada yang bertanya tentang mitos apakah bisa dijelaskan secara ilmiah atau tidak, ada yang bertanya tentang berapa lama idealnya durasi sebuah film pendek, ada juga yang bertanya tentang kiat-kiat membuat film yang baik.
Bli Gung Yudha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan pembawaan yang santai dan seru, juga dengan penjelasan yang mudah dimengerti. Menurut tuturnya, Dread Team memang meminta izin terlebih dahulu sebelum menggarap film-filmnya, karena kebanyakaan shooting yang mereka lakukan di malam hari dan mereka meyakini tanah bali memang memiliki aura magis yang cukup kuat.
Mereka biasanya menghaturkan sesajen sederhana berupa rarapan. Seperti saat penggarapan film “Leak (Wicked Witch)”, meski ceritanya berlatarkan sebuah kuburan, mereka tidak benar-benar menggarapnya di kuburan, melainkan di pekarangan bagian belakang rumah, yang biasa disebut teba oleh orang Bali.
“Nah, sesajen itulah yang harus menyesuaikan dengan lokasi penggarapan film nanti. Jika menggarap di tempat yang memang terkenal keramat dan angker, tentu saja sesajennya harus lebih dari sekadar sesajen sederhana, seperti banten pejati dan sebagainya.” ujar Bli Gung Yudha.
Menyoal apakah mitos-mitos tersebut sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah atau tidak, Bli Gung Yudha mengatakan mitos-mitos memeng beberapa ada yang dijelaskan secara ilmiah, namun ada juga yang tidak. Ketindihan misalnya. Kondisi di saat bangun dari tidur namun tidak bisa bergerak secara ilmiah disebut sebagai sleep paralysis. Penyebabnya adalah proses sinkronisasi otak dan tubuh yang sempat terganggu sewaktu tidur. Sedangkan Kerauhan, menurut Bli Gung Yudha adalah salah satu yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Gung Yudha memperkenalkan diri dan Dread Team sebelum memulai sesi diskusi. Foto dari IBWSD.
Terkait dengan durasi ideal film pendek, Bli Gung Yudha menjelaskan tidak ada ketentuan yang pasti. Kompetisi atau festival film baik level nasional maupun internasional memiliki standarnya masing-masing. Ada yang 20 menit, ada yang 30 menit, ada juga yang 40 menit. Bahkan ada juga yang mengsyaratkan film-film pendek tersebut harus 1sampai 2 menit.
“15 detik juga ada. Di youtube kalian biasa cari 15 Seconds Horror Film Challenge. Di sana filmnya memang benar-benar pendek sekali. Misal dari awal ada pemandangan seorang wanita sedang tersenyum, disorot bagian mukanya saja. Namun ketika kamera semakin menjauh, ternyata perutnya sedang dimakan zombie. Nah seperti itu,” ujarnya lagi.
Namun, jika ditanya berapa idelanya, menurut Bli Gung Yudha 3 – 15 menit sudah sangat pas untuk sebuah film pendek. Saya sangat setuju dengan jawaban tersebut, karena bagi saya semakin panjang durasi film, maka semakin banyak juga ifnormasi yang dibutuhkan oleh para penonton, baik tentang karakter-karakter ataupun alurnya.
Sebagian besar film-film yang ditayangkan malam itu hanya membutuhkan satu lokasi, satu dua tiga pemain, dan dialog minim, tapi ceritanya sangat kuat dan kesan horrornya pun lumayan dapat tersampaikan kepada para penonton tanpa harus mengetahui nama tokoh, lokasi, dan asal-usulnya.
Salah satu film yang sedang discreening. | Foto dari IBWSD
Pada saat sesi diskusi itu juga, ada beberapa kiat memproduksi film yang disampaikan oleh Bli Gung Yudha. Cerita dan teknik tentu menjadi dua hal yang penting dalam membuat film. Biasanya, orang-orang hanya focus ke teknik, kurang mengeksplorasi dan mengembangkan cerita.
Nah, untuk mendapatkan ide cerita yang menarik sebenarnya tidak perlu berpikir terlalu jauh, tapi bisa dimulai dari hal-hal yang dekat dengan kehidupan dan keseharian kita, atau juga pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami. Jangan sampai ide cerita justru menjadi pembatas. Cukup mencari apa yang kita sukai karena biasanya rasa suka akan menjadi dasar yang utama. Jika sudah menemukan ide cerita, mulailah dengan melakukan riset terlebih dahulu.
Dalam memproduksi film nanti, pastikan audio terdengar jelas. Dalam film horror, audio memiliki salah satu peran yang sangat penting. Suara yang masuk di dengar telinga manusia 20-20.000 Hz. Nah untuk menambahkan elemen audio tapi agar tidak menggangu suara yang diterima telinga, bisa pakai range 40-80HZ (Sub Range Bass). Tapi untuk mengeluarkan suara ini diperlukan sub-woofer saat pemutaran film (rata-rata seperti yang ada di bioskop). Kalau ingin memberikan efek jump scare itu range 500Hz – 2kHz yang terdengar nyaring dengan volume sedikit lebih tinggi dari biasanya.
“Jadi kalau sudah edit low suaranya, dipastikan dalam pemutaran film, ada speaker + Sub woofer untuk keluarin suara “horror”nya tapi semua balik ke kebutuhan film juga.” Imbuhnya.
Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan lagi yang diterima Bli Gung Yudha malam itu. Sayangnya, saya tidak bisa mengikuti semuanya, karena masih harus mengurus beberapa hal, seperti LCD proyektor, menjawab pertanyaan orang-orang yang minta izin untuk pulang lebih awal, berkordinasi dengan pemilik kedai tentang kegiatan penutup, menanyakan fotografer apakah memerlukan sesuatu, dan lain-lain. Sampai akhirnya yang saya ingat, waktu sudah menunjukan pukul 21.10 WITA dan kita semua sudah di penghujung acara. Waktunya berfoto bersama.
Saya tentu merasa sangat senang dan bersyukur acara bisa berjalan dengan lancer. Para peserta juga nampaknya sangat menikmati acara dari awal sampai akhir. Dikonfirmasi secara terpisah, Indiri Prana dari Forum Genre Tabanan sangat meapresiasi acara-acara kreatif diadakan di Tabanan. Ia merasa senang bisa hadir di acara short film screening tersebut, menonton dan berdiskusi bersama Dread Team. Ia merasamendapat banyak pengetahuan baru meski durasi acaranya tidak terlalu panjang. Hanya 2.5 jam.
Foto bersama di akhir acara. Foto oleh IBWSD
“Acaranya berjalan dengan sangat seru. Mungkin sedikit sulit untuk diungkapkan, karena kata-kata saja tidak dapat mewakili sebuah kesan yang luar biasa ini. Semoga ke depannya dapat diadakan kegiatan yang positif dan kreatif yang seperti ini dengan kouta yang cukup banyak sehingga motivasi, semangat serta inspirasi dapat dijangkau oleh banyak masyarakat disekitar khususnya masyarakat Tabanan. Karena untuk memberikan sebuah perubahan yang besar perlu dukungan serta kerja sama dari segala pihak. Maka kegiatan positif seperti ini dapat menjadi sebuah gerakan untuk meningkatkan SDM yang berkualitas, inovatif dan kreatif.” ujarnya.
Di akhir acara saya tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman dari SMA Negeri 1 Tabanan, SMA Negeri 2 Tabanan, SMA Negeri 1 Kediri, SMK Negeri 1 Tabanan, Forum Genre Tabanan, Forum Anak Daerah Tabanan, KNPI Tabanan, Peradah Tabanan, KMHDI Tabanan, dan Tabanan Music Addiction karena sudah meluangkan waktunya untuk meraimaikan acara tersebut.
Sembah sungkem saya untuk teman-teman yang sudah membantu persiapan, untuk Perpustakaan Jalanan Tabanan yang sudah membantu di sound system, untuk Humas Tabanan yang sudah meminjamkan LCD proyektor, untuk Kedai Tangkil karena sudah menyediakan tempat acara, untuk Ida Bagus Wahyu Sastra Dipa yang sudah mengabdikan momen-momen acara. Pokoknya I love you so much… Ke depannya semoga kita selalu bisa berkolaborasi dan bekerja sama untuk mengadakan kegiatan-kegiatan kreatif lainnya di Tabanan. [T]