Penari yang bagus biasanya memiliki kaki yang kokoh—saya meyakini ini. Awal keyakinan ini bisa saya lacak secara ringkas dari susunan proses yang telah saya alami. Pada tahun 2018-2019, saya mengikuti latihan gerak dari Padepokan Lemah Putih yang diisi oleh alm. Suprapto Suryodarmo. Ketika itu, Mbah Prapto—begitu saya memanggilnya—menginstruksikan saya dan beberapa teman untuk bergerak saja, padahal saya tidak pernah berlatih gerak bebas, begitu juga dengan Joget Amerta.
“Kaki adalah akar,” katanya memberi kode yang mesti kami tafsir sendiri.
Saya mulai menggosok-gosok kaki di rumput, sekadar untuk mengingat keberadaan kaki. Hanya untuk mengingat. Proses berkembang begitu pelan, namun saya pikir itu menempel betul dalam ingatan saya. Tak jauh dari latihan Joget Amerta, sesungguhnya saya telah mendengar pelatihan Metode Suzuki dari kawan-kawan yang beberapa kali berkunjung ke Bali—saya bersyukur bertemu kawan-kawan, sebagaimana saya bersyukur mengetahui hal baru yang mesti dikejar—mengisahkan pengalaman mereka menonton pertunjukan, atau cerita dari temannya tentang Tadashi Suzuki dan Metode yang ia kembangkan.
Hal baru selalu membuat saya merasa asing, tetapi hal baru pula yang sesungguhnya mengajari tubuh saya untuk berlaku: katakanlah laku di panggung, laku keseharian, dan sebagainya. Saya mengikuti sesi pelatihan Metode Suzuki selama 12 hari dari tanggal 3-15 Juni 2022 yang diadakan oleh Bumi Purnati Indonesia dengan instruktur pelatih Bambang Prihadi. Sebagaimana biasanya, saya merasa asing walau telah mendengar cerita tentang latihan ini.
“Metode Suzuki itu laku, gak bisa dipikir-pikir aja,” kata Ahmad Ridwan Fadjri yang biasa disapa Iwan, seorang peserta dari Padang Panjang yang telah mengikuti proses Suzuki selama satu tahun.
Tentu saja saya meyakini perkataan Iwan, meski memang berat, dan saya bermaksud mengejar bentuk, lalu kesadaran dan gerak, dan tentu saya mayakini bahwa ada sesuatu yang bisa saya pelajari dari sana. Bambang Prihadi berkata bahwa tak ada aktor yang selesai dengan metode ini—ia terus tumbuh dalam diri aktor masing-masing. Jika saya berangkat dari premis ini, maka saya sesungguhnya baru mulai menanam biji, atau barangkali mengeringkan biji busuk sebelum metode ini tumbuh sebagai kecambah dalam tanah tubuh saya.
Kesadaran Berpijak
Saya membayangkan bahwa pijakan adalah pegangan dan keyakinan—sebagaimana yang menjadi fokus dalam latihan Metode Suzuki. Hal serupa saya jumpai dalam beberapa tari tradisi, di mana mereka benar-benar bertumpu pada kaki. Pada satu kisah, saya mendengar cara latihan berjalan dengan kuda-kuda sambil menjinjing beban yang dilakukan seniman tradisi di Bali—saya kurang beruntung tidak berkesempatan bertemu dengannya. Di lain sisi, saya sempat berkunjung ke Lekaq Kidau, sebuah perkampungan masyarakat Dayak Kenyah di Tenggarong, Kalimantan Timur, dan melihat kaki yang begitu kokoh ketika tampil dalam tarian tentang pernikahan adat. Mereka menghentak-hentakkan kaki pada lantai Lamin (semacam pendopo).
The Suzuki Method of Actor Training held by Purnati Indonesia. June 2022. | Photo by Purnati Team. Courtesy of Bumi Purnati Indonesia. 2022
Tanah dan kaki adalah pusat, adalah pijakan, tapi saya hidup dalam keseharian yang terbatasi sepatu atau sandal. Ah, saya tentu memerlukan latihan untuk bisa paham lebih jauh tentang kekuatan tubuh, pusat, pijakan, dan tentu dengan mentoring sebab latihan ini memerlukan rekan untuk latihan, berbagi, atau mengantar untuk melampaui kemampuan tubuh yang kita duga. Dan, barangkali pelatihan Metode Suzuki yang dilakukan secara intensif untuk pelatihan aktor ini, bisa menjadi tradisi tubuh saya, bahkan menjadi pintu masuk dalam membaca kesenian tradisi yang notabene memiliki pijakan yang kokoh: akar tubuh yang kuat. Barangkali.
“Dari pinggang ke bawah mesti kokoh seperti gunung, dari pinggang ke atas, lembut seperti kapas,” kata Bambang Prihadi.
***
Perjalanan ke Jampang, Kec. Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat memang cukup panjang. Dari Bali, saya berangkat sekitar pukul setengah empat sore, dan sampai Jakarta sekitar pukul lima sore—Jam-jam krodit, kata salah seorang kawan. Betul. Betul-betul krodit. Sebagai perjalanan pertama ke Jakarta—sebelumnya saya pernah sekali ke Jakarta tapi dengan bus bersama teman-teman kampus tapi saya tidak merasakan Jakarta dari dalam bus atau gerombolan mahasiswa—perjalanan dari bandara sampai Kebun Seni Jampang Purnati (KSJP) memakan waktu kurang lebih selama 3,5 jam.
“Ini macet, Mbak?” tanya saya pada Riris, seorang perempuan pengemudi taxi.
“Nah, ini tidak macet, ini masih jalan,” jawabnya.
Tentu saja, sedikit bergeser masih bisa disebut tidak macet dengan ukuran yang lebih parah untuk sebutan macet. Lalu lintas yang disebut tidak macet di Jakarta, tentu sangat macet bagi saya di Bali. Tapi, ini bukan perkara, karena saya lebih mengenal macet Jakarta dari balik layar televisi atau gawai atau bus yang sesungguhnya tak betul-betul memberi pengalaman jalan. Kali ini saya benar-benar merasakan betapa sebalnya terjebak dalam lalu lintas yang krodit seperti itu.
The Suzuki Method of Actor Training held by Purnati Indonesia. June 2022. | Photo by Purnati Team. Courtesy of Bumi Purnati Indonesia. 2022
Di KSJP saya menemui suasana yang tidak asing. Tentu saja. Saya menjumpai rerimbunan yang tumbuh sepanjang jalan menuju aula latihan, udara yang agak lembab. Tempat ini akrab betul, tapi tentu saja saya tidak akan bertemu dengan kebiasaan sebagaimana yang terjadi di rumah, atau tetangga di Bali, meskipun suara tonggeret, atau suara kodok ketika malam bukanlah satu hal yang baru. Saya mesti beradaptasi, dan adaptasi selalu serta merta membawa usaha negosiasi—untuk tidak menyebut ketegangan.
Saya termasuk orang yang paling baru dalam latihan Metode Suzuki, tapi kini, saya mulai mengenal—hanya mengenal—bentuk, berusaha mengalami, berusaha memahami, dan merawatnya dalam diri hingga tumbuh daun secara pelahan seperti kecambah.
“Prinsipnya ada tiga: kesadaran gravitasi, kesadaran pada pusat energi di bawah pusar, proyeksi distribusi energi. Sederhana bukan?” kata Bambang Prihadi sambil tertawa-tawa selepas latihan sesi malam.
Saya sepakat itu sederhana. Tapi cara kerja tubuh, kebiasaan sehari-hari yang berjarak dengan bentuk gerak, menyebabkan respon yang berbeda pula. Hal inilah yang membutuhkan negosiasi dan negosiasi inilah yang sesungguhnya susah saya pecah.
“Saya mesti belajar lebih banyak lagi, Bu Restu: ketubuhan, kesadaran, atau negosiasi, dan beruntungnya, sistem karantina cukup efektif membantu pembelajaran metode ini,” kata saya pada Restu Kusumaningrum ketika ngobrol melalui whatsapp setelah pelatihan sesi malam.
“Kalau kamu tidak kuat, nanti bilang saja pada Mas Bambang Prihadi. Tetap jaga kesehatanmu,” balasnya dan saya mesti berterimakasih pada perhatian Bu Restu yang tentunya paham bahwa ketika itu otot-otot saya mulai pegal.
“Kamu pas ngobrol atau duduk-duduk coba sadari kuncian-kuncian itu,” kata Bambang Prihadi di lain kesempatan. Sementara itu, saya hanya manggut-manggut, mencoba memasang kuncian pada perut, di bawah pusar, dan satu hal yang saya ingat, kalau latihan, Bambang Prihadi akan berkata “Kencangkan ikat pinggang! Kunci! Angkat… Angkat… Angkat! Rem… Rem…!” Begitu terus berkali-kali. Tampaknya ia ingin agar kami bergerak secara maksimal.
Latihan dalam Laku Sehari-hari
Datang dengan kesadaran untuk belajar, bertemu orang-orang yang berniat sama, tampaknya cukup membantu membidani proses: semisal melalui obrolan, praktik yang teralami dalam kegiatan, seperti cuci piring, cuci baju, berjalan di antara tangga dengan usaha mengingat prinsip-prinsip dalam latihan ini, meski saya kerap terdistorsi hal-hal lain. Ya, pikiran kadang memang seperti belut yang lincah dan licin untuk ditangkap. Tapi, tentu ia bisa kembali jika kita menuju pada kesadaran itu sendiri.
Jalan Pagi di Kebun Seni Jampang Purnati | Courtesy of Bumi Purnati Indonesia. 2022
Waktu latihan, usaha disiplin yang diterapkan, penghayatan bentuk dari masing-masing peserta, pergaulan yang dibangun, sungguh saling mendukung proses satu sama lain dan “proses”, saya pikir, adalah teman baik dari “waktu” dan “kerja”. Tentu saja, saya masih perlu waktu, perlu usaha, perlu kerja yang lebih untuk menumbuhkan biji dalam tanah tubuh sendiri.
***
“Prag… Prag… Prag…” suara hentakan kaki para peserta yang membuat mata saya terkunci untuk tetap menatap.
Satu hal yang paling melekat adalah bahwa Metode Suzuki berhasil membuat orang “menjadi”. Orbolan di KSJP dalam beberapa hari tentu saja memperlihatkan karakter teman-teman peserta pelatihan. Misal, orang yang suka bercanda, orang yang suka menertawai teman lain, orang yang suka membuat lelucon, dan semua itu akan berubah total ketika berada di atas panggung. Bahkan, panggung latihan. Di panggung, mereka berhasil “menjadi”.
Kesadaran latihan Metode Suzuki adalah kesadaran pentas. Karena itu, sejak latihan, langkah kaki, gerak tangan, tatapan, diandaikan telah berhadapan dengan penonton—proyeksi mesti jelas. Dan, “Gerak Metode Suzuki sesungguhnya cukup sederhana,” kata Bambang Prihadi, dan saya sepakat meski bentuk pun masih dalam pencarian saya, tapi metode ini tidak hanya mengejar bentuk, tapi kesadaran tertentu atas tubuh.
Pertama kali melihat bentuk gerak Metode Suzuki, yang saya jumpai adalah ketertiban bentuk, kepatuhan, tapi lebih dari itu, Suzuki tampaknya telah sadar betul bahwa tubuh tak bisa betul-betul sama. Meskipun bentuk gerak mirip, tetapi selalu ada perbedaan. Dan hal yang paling luang dalam latihan ini adalah mengintrospeksi diri sendiri. Semisal, jika bahu tegang, segera sadari untuk dibuat santai atau posisi kaki yang tidak paralel atau dahi yang berkerut.
“Yang penting segera sadar dan perbaiki itu. Jangan sampai tidak sadar dan merasa bentuk sudah benar,” kata Erik Nofriwandi.
***
Suatu hari yang biasa-biasa saja, terlintas dalam kepala saya: jika tangan ini adalah tangan saya dan kaki ini adalah kaki saya dan hati ini adalah hati saya dan tubuh ini adalah tubuh saya, sesungguhnya di mana “saya yang punya semua ini?” dan pertanyaan ini seolah-olah terkait dengan latihan yang berlangsung di Kebun Seni Jampang Purnati; ketika saya dalam keadaan payah, tapi mesti mengingat kata-kata kunci dari Bambang Prihadi atau Wahyu Kurnia selaku asisten mentor latihan.
Olah Tubuh di Alam KSJP | Courtesy of Bumi Purnati Indonesia. 2022
Barangkali “saya si pemilik tubuh” sedang berada di pinggang ketika berusaha memasang kunci-kuncian itu, atau “saya si pemilik tubuh” sedang berada di bahu ketika bahu tegang dan berusaha saya buat rileks. Ah… jangan-jangan “saya si pemilik adalah kesadaran itu?” atau justru jangan-jangan saya belum utuh sebagai tubuh ketika masih memikirkan semua itu? Jadi, dalam konteks ini, “saya si pemilik tubuh” serupa pematung yang berusaha membuat kaki dengan cara kerja metode ini, lalu membuat tubuh bagian atas seperti kapas, atau sebagainya.
Saya tak mendapat jawaban. Atau, barangkali memang tidak perlu jawaban, hanya perlu usaha dan keyakinan sebagaimana kita meyakini hal-hal yang tak pernah kita indrai.
Layaknya keseharian, kita memiliki beberapa peran: sebagai anak, pekerja, pelaku seni, kekasih, masyarakat, dan sebagainya; yang semestinya kita sadari dalam waktu yang tepat dan bergantian. Jika tubuh ini adalah dunia kecil, barangkali cara kerjanya sama dengan peran-peran itu: peran aku tangan, peran aku kaki, atau peran aku tubuh.
Barangkali, sebagai pemula, saya hanya perlu mengikuti bentuk terlebih dahulu, lalu kesadaran? Ah… Pelatihan ini sesungguhnya meninggalkan pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya. [T]
[Kebun Seni Jampang Purnati-Bali, 2022]
_____
BACA ARTIKEL LAIN DARI PENULIS AGUS WIRATAMA