Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, melahirkan Dramatari Parwa sekira tahun 1950. Seni pertunjukan itu diciptakan oleh para dalang dengan berbagai ciri seni yang unik, yang tak banyak dimiliki kesenian dari daerah lain.
Drmatari itu sempat redup dalam waktu yang cukup lama, dan sempat bangkit sekitar tahun 1980. Namun karena jarang pentas, kesenian itu redup lagi. Tahun 2000 juga sempat dibangkitkan. Namun redup lagi.
Nah, pada Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2022 ini Dramatari Parwa khas Sukawati direkonstruksi oleh Sanggar Seni Gita Mahardika, Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Dramatari Parwa dengan lakon “Sang Kalya” hasil rekonstruksi itu dipertontonkan di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Minggu (26/6/2022). Kehadiran dramatari parwa ini tentu mendapat sambutan hangat dari pecinta kesenian di Bali.
Foto: Dramatari Parwa dari Desa Sukawati, Gianyar
Koordinator garapan, I Wayan Mardika Buana S.Sn menuturkan, tahun 2000-an dramatari itu memang sempat dibangkitkan kembali. Sempat pentas sekali, akan tetapi karena penarinya ada yang meninggal, kemudian juga yang wanita sudah yang kawin keluar, sehingga tidak dilanjutkan.
“Akhirnya sekarang dibangkitkan kembali dengan generasi berikutnya biar masih diingat,” ungkapnya.
Terkait proses rekonstruksi, kata Mardika, sesungguhnya tidak terlalu menemui kendala. Sebab saat merekonstruksi, masih ada narasumber-narasumber yang bisa dimintai keterangan. Sedangkan dari sisi generasi masa kini yang merekonstruksi memang memiliki bakat dan dukungan dari pada seniman pedalangan, tari dan karawitan.
“Proses kreatif rekonstruksi memang ada kendala, tapi tidak begitu sulit. Karena masih ada narasumber dan penari-penari lama yang masih bisa kita gali dan mintakan informasi-informasi terkait struktur, pembabakan, dan yang lainnya dari dramatari parwa ini,” terang Mardika.
Dikatakan, dramatari parwa style Sukawati ini memiliki ciri khas tersendiri. Salah satunya menampilkan tari dayang-dayang atau kakang-kakang yang biasanya sering ditemui dalam kesenian gambuh. Selain itu, penokohan juga diambil dari para dalang itu sendiri.
“Struktur pembabakan dramatari ini, tari kakang-kakang itu sebagai tari pembuka. Yang membedakan juga, tokoh delem dan sangut masing-masing memiliki pengelembar. Jadi ada kebyar delem dan kebyar sangut,” katanya.
Selain itu, ia menyebutkan juga ada beberapa piranti pementasan zaman dulu yang masih dirawat atau disungsung seperti alat musik, gelungan, dan tapel.
Foto: Penabuh dramatari parwa dari Desa Sukawati, Gianyar
Adapun Rekonstruksi Kesenian Dramatari Parwa “Sang Kalya”, mengisahkan seorang raksasa bernama Kala memporakporandakan Sapta Loka (Sorga) dan istana para dewa. Kekacauan yang dibuat raksasa Kala ini membangunkan tapa Dewa Siwa yang membuatnya harus turun tangan. Hingga terjadilah pertarungan sengit antara bapak dan anak itu. Kemudian, Dewa Brahma dan Wisnu turun dan menjelaskan jika mereka berdua adalah bapak dan anak.
Namun, sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi.
Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. Untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari Tumpek Wayang dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari Tumpek Wayang. Hal itu karena Bhatara Kala lahir di saat Tumpek Wayang.
Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari Tumpek Wayang. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar. Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa untuk menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi, Dewa Kumara dikejar.
Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara Kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan jika Bhatara Kala ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat.
Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat. Maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan sang Amangku Dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali.
Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari Tumpek Wayang. Jika ingin selamat dari amukannya, maka yang lahir saat wuku wayang harus menghaturkan sesajen menggelar wayang atau yang disebut “Sapuh Leger”. [T][Ado/*]