Suasana pedesaan terasa sekali di sini. Sesekali para petani lewat menuntun kerbau. Petani itu akan membajak sawah. Desa ini adalah desa tua di Bali, bernama Pemanis di wilayah Biaung, Penebel, Tabanan.
Dingin udara pagi. Meraup aroma bubur Bali dan jajanan khas Bali yang di sajikan oleh penjual dengan sederhana di poskamling. Makanan itu disajikan dengan daun pisang dan sendok dari lipatan daun pisang pula. Cukup menghibur dan memuaskan rasa lapar di pagi hari. Apalagi ada aroma kopi khas Tabanan yang ditemani umbi sekapa (umbi gadung ) yang direbus, berisi parutan kelapa, lalu dilumuri gula aren.
Para peternak itik berlarian menuntun ratusan itik, menuju areal pesawahan untuk mencari makan dari sisa padi yang dipanen. Dan anak anak desa yang riang gembira berlarian mengejar glindingan ban bekas roda motor, sebagai sarana permainan. Para petani melangkah lengkap dengan alat pertaniannya bergegas bekerja.
Dalam suasana seperti itulah digelar pameran kesenian di Pemanis, tepatnya di Studio Made Baktiwiyasa (Pendiri Sanggar Teba Kangin).
Berita pameran itu terdengar oleh masyarakat yang sedang membeli bubur khas Bai yang dijual di poskamling. Terdengar pula pameran itu dihadiri Bapak I Komang Gede Sanjaya SE. MM., Bupati Tabanan, sekaligus untuk meresmikan pameran tersebut.
Berita inipun disebarkan oleh para petani yang membeli sarapan di sana. Bahwa pagi itu desa mereka akan kedatangan tamu penting mengunjungi acara tersebut. Sebagaian para petani mengurungkan niatnya mengerjakan sawahnya, menunggu kedatangan pejabat daerah, dan menyaksikan acara kesenian di rumah Made Bakti Wiyasa.
Studio Made Baktiwiyasa yang berada di rumahnya di Desa Pemanis berdekatan dengan satu bangunan pura. Pura itu adalah tempat persembahyangan umat Hindu yang mana keseluruhan bangunan pura di dalamnya dibangun dengan meletakkan tumpukan batu sebagai tempat pemujaan. Dengan adanya bangunan tersebut, menjadai penanda bahwa Pemanis adalah salah satu desa pradaban tua di Bali, yang juga dipengaruhi oleh peradaban purba megalitik. Dan sekitaran kampung ini, misalanya di Desa Senganan di utara Desa Pemanis di beberapa lokasi ditemukanya sarcophagus peti batu purba.
Memasuki rumah Made Baktiwiyasa, kita disambut aroma jajanan khas olahan Bali dengan sebutan laklak biyu, dengan bahan dasar tepung beras, pisang dan parutan kelapa, dimasak dengan kayu bakar.
Aromanya yang khas membangkitkan memori kita akan suasana pedesaan di Bali di masa lalu. Suasana yang indah dan sejuknya suasana kampung yang sudah banyak hilang di Bali.
Bangunan ruamahnya yang menggunakan arsitektur bangunan asta kosala kosali, adalah tata ruang dalam pembangunan rumah di Bali, lengkap dengan areal belakang rumah yang disebut teba, sebuah halaman yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat di Bali untuk ditanami tumbuhan untuk perlengkapan sehari-hari dan ternak. Jjuga halamann bermain anak-anak, sekaligus belajar, seperti misalnya permainan rumah-rumahan, suatu pelajaran arsitektur sederhana yang dipelajari semenjak kecil. Juga permainan mebarong-barongan, yakni bermain tarian Barong. Semua itu adalah pelajaran sederhana anak untuk mempelajari adat tradisi kesenian dan kebudayaan sejak dini.
Seniman I Made Bakti Wiyasa, alumni ISI Yogyakarta, berinisiatif halaman belakang rumahnya (teba) rumahnya sendiri di jadikan ruang alternative berkesenian dan belajar yang tidak lepas dari fungsi awal dibangunya teba. Namanya Teba Kangin Pemanis Art Space.
Di teba itu dibuatnya sanggar Teba Kangin Art Space yang didirikan oleh Made Bakti Wiyasa beserta keluarga. Di tempat ini pula Made Bakti Wiyasa beserta istri Kadek Hartini, membagi ilmunya untuk mengembangkan kesenian dan sastra Bali dibantu oleh Pekak Rika atau Jero Ketut Muka sebagai ahli satra Bali.
Selain nyastra juga terkadang di tempat ini pula masyarakat belajar geguntangan. Sang ayah dan ibunya seorang petani selalu menyambut kawan-kawan Baktiwiyasa dengan ramah di rumahnya, sambal mengupas kelapa, di sela tumpukan kayu bakar, dengan kesibukan harian, ibunya menggoreng jajanan Bali.
Hidangan kopi dan jajanan Bali selalu menyambut kedatangan tamu yang datang, dan dipersilakan duduk di lumbung padi di rumahnya dengan sejuta ceritra sambil bersandar di tiang lumbung padi dengan jumblah enam buah.
Pameran ini diselenggarakan untuk menyambut Bulan Menggambar Nasional yang dicanangkan pada tanggal 2 Mei 2022, yang digelar secara sporadis oleh 250 komunitas seni secara mandiri, dalam rangka memasyarakatkan menggambar di masyarakat Indonesia.
Ketua Sanggar Teba Kangi berinisiatif mengadakan pameran Seni bertemakan Rajah Rasa pada tanggal 23-30 Mei 2022 yang di ikuti oleh 17 perupa dan dikuratori oleh Made Baktiwiyasa, yang menghadirkan karya maesto (Nyoman Gunarsa), Made Wiradana, I Made Baktiwiyasa, Nyoman Loka Suara, Made Gunawan, Ketut Tenang, Ketut Sudita, Putu Wirantawan, R.A.Ayu Ratih Windari, I Putu Bagus Sastra Wedanta, Sri Srinaryo, Ni Wayan Sutariyani, I Ketut endrawan, I Made Somadita, Pande Nyoman Alit Wijaya Suta, I Wayan Jengki Sunarta, dan Yoesoef Olla. Dalam pameran itu terdapat 25 karya seni.
Pameran tersebut akhirnya dibuka Asisten II Sekda Tabanan I Wayan Kotia didampingin Kadisbud Tabanam I Wayan Sugatra dan Kasi Camat Penebel serta Kepala Sesa Biaung. Pembukaan diisi dengan mengadakan kalaborasi melukis bersama yang diawali oleh goresan awal Kepala Dinas Kebudayaan dan direspon oleh goresan seniman yang hadir. Mereka melukis di atas bidang kanvas putih berukuran 122 x 244 cm dengan menggunakan tinta cina. Lalu ditampilkan kalaborasi Performing Art I Kadek Hartini dengan I Wayan Jengki Sunarta.
Dalam pameran ini juga diadakan acara pemberian penghargaan seni Bakti Sastra Vidya Kusuma kepada Pekak Rika atau Jero Ketut Muka sebagai pelestari Aksara dan Bahasa Bali yang sudah mendidikasikan dirinya sejak 19 70-an, yang sudah mengajar Bahasa dan sastra Bali ke desa-desa di seputaran Kecamatan Penebel dan Baturiti dengan berjalan kaki.
Kingga kini Rika dan Muka secara sukarela tanpa dibayar bahkan mempasilitasi buku aksara Bali kepada yang mau belajar. [T]