1. “Negara akan kacau jika sasana sulinggih tidak ditegakkan. Masyarakat akan saling hujat dan kisruh jika regulasi kepanditaan tidak ditegakkan” — demikian ancaman yang secara tegas disebutkan dalam lontar RSI SASANA CATUR YUGA.
Bisa dipastikan Sebagian besar sulinggih Parisada sebelum tahun 1990-an masih membaca langsung berbagai lontar-lontar pedoman DIKSA, sehingga sangat hati-hati dalam membahas DIKSA — silahkan baca arsip-arsip hasil paruman Sabha Pandita sebelum tahun 1990 terkait diksa.
Setelah melalui diskusi yang sangat serius, dengan berbagai pertimbangan, Parisada akhirnya memutuskan batas bawah usia diksa. Hal ini tersurat dalam Keputusan Seminar Kesatuan tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang ke 14 tahun 1986/1987 tentang pedoman Diksa yang mana menetapkan bahwa: Umur minimal untuk didiksa adalah 40 tahun.
Dalam Keputusan ini juga disebutkan syarat Nabe dan syarat Madiksa:
A. Syarat-syarat Nabe
1. Seseorang selalu dalam bersih dan sehat, baik lahir maupun batin;
2. Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian;
3. Tenang dan bijaksana;
4. Selalu berpedoman kepada kitab suci Weda;
5. Paham dan mengerti tentang Catur Weda;
6. Mampu membaca Sruti dan Smerti;
7. Teguh melaksanakan Dharma-sadhana (Sering berbuat amal jasa dan kebajikan);
8. Teguh melaksanakan tapa dan brata.
B. Syarat-syarat Madiksa
1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyukla brahmacari.
2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (Kanya)
3. Pasangan suami istri
4. Umur minimal 40 tahun
5. Paham dalam Bahasa Kawi, Sanskerta, memiliki pengetahuan umum, pendalaman inti sari ajaran-ajaran agama
6. Sehat lahir batin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana
7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
8. Mendapatkan tanda kesediaan dari pendeta calon nabenya yang akan menyucikan
9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negei ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
2. Bukan hanya usia minimal 40 tahun yang menjadi syaratnya, tetapi seorang calon sulinggih dituntut paham Bahasa Kawi dan Sanskerta, serta pengetahuan agama yang memadai. Keputusan ini menjadi sesuluh jelas bahwa kepanditaan atau kesulinggihan Hindu di Indonesia memakai pedoman puja berdasarkan naskah-naskah berbahasa Kawi (Jawa Kuno) dan Sanskerta. Pun Sang Nabe disebutkan harus tegak lurus berpedoman pada Catur Weda, mampu membaca Sruti dan Smerti, dan seterusnya.
Batas usia dan kelayakan calon sulinggih, serta kelayakan seseorang menjadi Nabe sering menjadi sumber perdebatan di kalangan umat Hindu di Indonesia. Wajar, apa mau dikata, karena Keputusan Seminar Kesatuan tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hampir bisa dikatakan tidak disebarkan atau disiarkan dalam sosialisasi-sosialisasi parisada ke masyarakat secara luas. Umat pun sering terjebak dalam debat kusir tanpa dasar pijakan. Ini akibat tidak mendapat pencerahan dan karena terjadi pembiaran, Keputusan Seminar Kesatuan tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang telah memutuskan topik atau isu terkait tidak disebarkan. Memang sangat disayangkan hasil kerja para sulinggih yang tergabung dalam Sabha Pandita sebelum tahun 1990an, yang telah menghasilkan banyak panduan yang bisa menjadi panduan atau koridor dalam menjalani kehidupan beragama Hindu di Indonesia, seakan menjadi sia-sia belaka, menjadi sebatas arsip mati berdebu di beberapa perpustakaan yang masih menyimpannya — PHDI sendiri tidak memiliki pusat arsip yang terintegrasi secara offline dan online yang bisa diakses umat.
3. Jika kita rujuk lontar RSI SASANA CATUR YUGA, umur minimal yang diputuskan oleh Keputusan PHDI ini sebenarnya masih jauh di bawah ketentuan SASANA SULINGIH.
Lontar RSI SASANA CATUR YUGA yang dipakai secara tradisional sebagai acuan dari persyaratan umur dan ujian kemampuan dasar dari seorang calon sulinggih menyebutkan: Usia minimal calon sulinggih adalah 50 tahun. Inipun dengan syarat bahwa kalau calon sulinggih adalah keturunan langsung dari sulinggih (orang tuanya sulinggih). Jika calon sulinggih tidak lahir dari orang tua atau cucu sulinggih, maka: Harus menunggu sampai usia 60 tahun.
Kutipan RSI SASANA CATUR YUGA yang menyebutkan usai minimal adalah 50 tahun bagi putra-putri sulinggih, dan 60 tahun bagi mereka yang orang tuanya bukan sulinggih, sebagai berikut:
Nihan pih, ayogya juga sira lumekas, na ngera juga saka reng reng yadyastun huwus amenaka pageh sila mwang winaya Sang Sadhaka, nguniweh samaptaha ring kriyanira tuwi, ndan aywa juga gya mekas, ayusyanira herakena, delenwamning wayah Sang Sadhaka mwang wreddhaning wasahnira, sangksepanya. Aywa Sang Sadhaka lumekas kretthadiksita, duganwam tuhu anakbinira, basana nemu wighnaning lumekas kretthadiksita, mon sira ta pwan panitaha ri samangka.
Kuneng ing deya niran pangantya, yan sampun wreddhanggawayawanira lumakas. Kuneng ingananing yusanira, mon Sadhaka wetbetning kretthadiksita, putra potraka pinaka nggehnira, yapwan genep limang puluh tahun inganing wayah tuwuhnira, yogya lumekasa kretthadiksita. Kuneng yan tan wasaning kretthadiksita, ahing anem ang puluh tahun dawaning tuwuhnira yogya sira lumekasa krettha, aywasangksepanya. Aywa Sang Sadhaka lumekas kretthadiksita, mon lagi yowana anakbinira, aywa lumeksas krettha diksita mon strinira maren rajaswala, yan sampun telas watwa kalih lumekasira dumiksa, nahan inganing walaniran lumaksana kretthadiksita.
Ri huwusning prapta wayah Sang Sadheka, angenep tahuning tuwuhnira, irika ta sira lumekasa kretthadiksita, aywa sangsaya, parekena tang pudgala tang sinamba diksan, manganakena ta sira diksopara, magawaya dewa greha, kundha, standhila, maparekena siwopakarana, lwirnya, bhasma, ganitri, goduha, kundhala, wulangulu, Brahmasutro, ambulunggan, pawahan, camara, arkka, tripadhasangka, yanta, jayaganti. Ika ta kabeh siwopakarana, anung dreweya Sang Sadhaka, telas masenana pweka kabeh, parekakena tangsisya, kamena sang- skaran, ndan umera ta Mpu sakareng. Ikang wwang masenana gawayen pudghala pilihana rumuhun aywa bhang-bhang sisya, aywa wawang winikwan, kuneng deya Sang Sadhaka dumela lwira ning yogya simsya nihan.
Terjemahannya:
Jangan juga cepat-cepat mengangkat seseorang dengan upacara pediksan. Sekalipun telah diadakan ujian-ujian dan pelatihan-pelatihan, percobaan-percobaan, dan telah banyak belajar, pageh sila mwang winaya (telah kokoh susila dan kuat inisiatif kependetaan), harus tunggu batas umurnya yang memungkinkan, perhitungkan kemudaannya, kelanjutan usianya dengan jelas. Jangan Sang Sadaka cepat-cepat melakukan padiksan, bilamana istrinya masih berumur muda-remaja akan berakibat sia-sia upacara pawisudan itu, karena belum menepati syarat sebagai dimaksud.
Sebaiknya diadakan cara sebijaksana mungkin dalam kepemudaannya hingga menunggu sampai umurnya cukup didiksa. Ukuran umur yang betul jika calon pendeta berasal dari keturunan pendeta suci, masih tergolang putra atau cucu pendeta, jika berumur sudah mencapai lima puluh (50) tahun, patut diberikan pawisudan (DIKSA). Akan tetapi bila tidak keturunan dari orang suci setelah mencapai umur enam puluh (60) tahun patut padiksan. Tiada ada syarat lain. Jangan kamu memberikan pewisudan, jika istrinya masih berumur muda.
Jangan memberikan pawisudan (padiksan) jika istrinya belum terhenti menstruasi. Bila sudah kedua-duanya umur tua, baru boleh didiksa. Demikian ancer-ancer permulaan memberikan pawisudan (pengangkatan, pengesahan menjadi pendeta Lokapala-sraya). Jika sudah cukup usia Sang Sadaka, pada waktu itu boleh kamu memberikan pawisudan, jangan ragu-ragu, siapkan alat- alat padiksan serta alat-alat pemujaaa Berikan upasaksi padiksan, membuat tempat pemujaan Dewa menyalahkan api, seperti: basma, ganitri, kalung. geduka, kuadala (anting-anting), wulangulu, Brahmasutra, ambulungan, pawahan, cemara. arka, tripada sangka, yanta, jayaganti. Itu semua alat-alat Siwo-pakarana yang patut dipakai Pendeta. Setelah siap semua, sampaikan calon Pendeta itu mulai. Juga patut diberikan tuntunan sementara. Garis dasar orang yang akan diwisuda diberikan padiksan seleksi terlebih dahulu. Jangan siswa hiasan, jangan cepat-cepat di angkat Wiku, patut diusahakan pemujaan segala kemungkinan-kemungkinannya. Yang patut diterima menjadi siswa (calon Pendeta) sebagai dibawah ini…
4. Situasi dan usia istri menjadi faktor penentu dalam diksa secara tradisional: Jika belum BAKI, tidak bisa menjalani DIKSA.
Kenapa harus menunggu BAKI?
BAKI adalah sebutan untuk perempuan yang telah berhenti menstruasi secara alami karena faktor usia.
Dalam RSI SASANA CATUR YUGA jelas disebutkan: Jika istri calon sulinggih masih muda, jika belum BAKI, maka secara tradisional tidak bisa didiksa. Dikatakan DIKSA SIA-SIA kalau usia istri masih belia (duganwam tuhu anakbinira, basana nemu wighnaning lumekas kretthadiksita, mon sira ta pwan panitaha ri samangka).
Di semua griya di masa lalu memahami hal ini: Dimasa lalu hanya pasangan sepuh yang bisa didiksa sebagai Sulinggih Lokapala-sraya.
Menjadi pengetahuan umum di keluarga pandita di masa lalu bahwa seorang sadaka atau pelajar Weda, jika istrinya sedang berhalangan (menstruasi) maka ia dilarang sekamar dengan istrinya. Ini disebutkan dalam kitab Weda Smerti Manawadharma Sastra. Ketika istri dalam situasi menstruasi, sang suami pisah kamar jika ia mengupayakan keberlangsungan pelajaran Weda. Demikian juga, sulinggih yang masih tidur atau sekamar dengan pasangannya yang menstruasi dianggap tabu.
Bagaimana jika ada pasangan sulinggih masih melangsungkan hubungan suami-istri?
Menjadi aturan kesulinggihan bahwa pasangan sulinggih harus melakukan puja penyucian dengan PRAYASCITA PENYUCIAN di subuh hari jika terjadi persentuhan suami istri di malam harinya. Jika pasangan masih aktif bersuami-istri, maka: Setiap terjadi hubungan suami istri wajib membuat banten anyiu (senyiru) untuk prayascita subuh atau dini hari sebelum memuja pagi Suryasewana.
Secara tradisional, di masa sebelum kemerdekaan atau sebelum terbentuknya Parisada di era modern, hampir bisa dipastikan tidak ada pasangan sulinggih yang masing aktif beranak-pinak atau berumah-tangga aktif. Diksa adalah upacara suci yang dilakukan setelah melewati masa GRAHASTA.
Kenapa DIKSA tidak dilakukan ketika masa aktif GRAHASTA?
Dengan pertimbangan logika saja: Jika seseorang melakukan diksa di masa aktif berumahtangga, apalagi masih aktif beranak-pinak, disamping karena faktor masih menstruasi, melahirkan, kesibukan hubungan suami-istri, dll., beban kehidupan mengasuh dan membesarkan anak yang tidak sederhana itu, keterlibatan dengan dunia ongkos-rekening-tagihan-pembelian peralatan anak, biaya ini-itu dalam berumah tangga, dll, dipercaya akan menjadi sandungan lahir-batin bagi mereka yang berani menjalani kesulinggihan dalam posisi berumahtangga aktif.
Kembali ke pokok usia, jika mengikuti RSI SASANA CTUR YUGA dan berbagai lontar-lontar sasana kesulinggihan, maka dilarang melakukan DIKSA mereka yang masih usia di bawah 50 tahun dan atau pasangan yang istrinya masih menstruasi. Ini sebabnya, sekali lagi, tidak ada pasangan belia yang mediksa dalam aguron-guron (silsilah perguruan suci) yang nganutin sastragama (berpedoman sastra-agama). Jika sebuah garis sulinggih atau aguron-guron masih mengikuti lontar-lontar Catur Dresta, Werti Sasana, Siwa Sasana, Resi Sasana, maka bisa dipastikan tidak ada pasangan belia diijinkan madiksa (menjalani diksa). Memberikan diksa pada pasangan belia adalah pelanggaran berat menurut Catur Dresta, Werti Sasana, Siwa Sasana, Resi Sasana. Jika ini dilanggar, disebutkan: Negara akan mengalami goncangan, negara kacau, dan akan terjadi keributan/kekisruhan bernegara (bermasyarakat).
Jika ada aguron-guron yang melahirkan sulinggih belia, atau tidak mengikuti syarat di atas, bisa dipastikan aguron-guron tersebut adalah aguron-guron yang tidak mengikuti sasana kepanditaan (nenten manut sasana sulinggih) sebagaimana disebutkan dalam Catur Dresta, Werti Sasana, Siwa Sasana, Resi Sasana. [T]
_____
BACA ARTIKEL SUGI LANUS YANG LAIN