— Catatan Harian Sugi Lanus, 17 Mei 2022
1. Sangat mengagetkan ternyata banyak pihak berpikir bahwa istilah DRESTA (DṚṢṬA) sebatas berlaku atau ada di Bali. Padahal DṚṢṬA adalah bentukan istilah yang ditemukan dalam Vedic text (teks-teks bersumber dari kitab Weda dan turunannya).
DṚṢṬA adalah istilah umum yang dipakai dalam berbagai naskah-naskah Sanskerta (Sanskrit), seperti dalam berbagai cabang keilmuan dan seni: Vyakarana (tata bahasa Sansekerta), Natyashastra (teater dan dramaturgi), Śilpaśastra (ikonografi), Jyotiśa (astronomi dan astrologi) Śaivisme (filsafat Śaiva atau ajaran ke-Śiwa-an), Kavya (persajakan atau puisi), dan seterusnya.
— Dalam Vyakarana (tata bahasa Sansekerta) istilah dṛṣṭa (दृष्ट) digunakan dalam Sastra Veda, atau Sastra Klasik, muncul sehubungan dengan kata-kata yang coba dijelaskan oleh ahli tata bahasa; seperti dṛṣṭānuvidhiśchandasi bhavati.
— Dalam Śilpaśastra (ikonografi) istilah ini mengacu pada “dunia yang terlihat” dikaitkan dengan seni pahat, lukisan, dan ikonografi, sebagian besar figurnya didasarkan pada tubuh manusia.
— Dṛṣṭa (दृष्ट) dalam ilmu Jyotisha, mengacu pada “visibilitas” (planet).
— Dalam filsafat Śiwaisme istilah dṛṣṭa mengacu pada “(apa yang dirasakan)” (sebagai lawan dari Adṛṣṭa—’tidak terlihat’), menurut Īśvarapratyabhijñāvivṛtivimarśinī 2.131:—“‘adhikatara’ [berarti berikut]: [berbagai] fenomena adalah [sesuatu lebih (adhika)] daripada kesadaran, sama seperti pantulan adalah sesuatu yang lebih dari sekadar cermin [memantulkan mereka]; dan apa yang merupakan sesuatu yang lebih dari sesuatu yang lebih, [yaitu, sesuatu yang lebih] daripada [fenomena,] ini tidak pernah dapat dirasakan (dṛṣṭa) dalam [keadaan] apa pun karena [alasan berbeda dari fenomena] ; dan bagaimana itu bisa menjadi entitas [nyata] ( Vastu )?”.
2. Dṛṣṭa mengandung makna sebagai berikut:
1) Terlihat, tampak, dirasakan, diamati, dilihat; (ubhayorapi dṛṣṭo’ntaḥ) Bg.2.16.
2) Terlihat, dapat diamati.
3) Dianggap, dipertimbangkan; ( dṛṣṭo vivṛtya bahuśo’pyanayā satṛṣṇam) Ś.3.1.
4) Terjadi, ditemukan.
5) Muncul, terwujud.
6) Diketahui, dipelajari, dipahami.
7) Ditentukan, diputuskan, tetap; (tadahaṃ yaṣṭumicchāmi āstradṛṣṭena karmaṇā ) Rām.1.8.9.
8) Berlaku.
Silahkan buka kamus besar Sanskerta (seperti: Cologne Digital Sanskrit Dictionary, atau Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary), pemakaian kata dṛṣṭa ditemui dalam berbagai kitab atau pustaka Hindu.
Dṛṣṭa (दृष्ट) berarti:
— dilihat, diperhatikan, [dipakai dalam Manu-smṛti; Mahabharata; Sastra Kavya] dll.
— terlihat, nyata, [dipakai dalam Atharva-veda; Vājasaneyi-saṃhitā]
— dianggap, dianggap, diperlakukan, digunakan, [dipakai dalam Śakuntalā iii, 7; Pañcatantra i, 401/402]
— muncul, terwujud, terjadi, ada, ditemukan, nyata, [dipakai dalam sastra Kāvya; Pañcatantra; Hitopadeśa]
— dialami, dipelajari, diketahui, dipahami, [dipakai dalam Mahābhārata; Sastra Kavya] dll.
— terlihat dalam pikiran, dirancang, dibayangkan, [dipakai dalam Mahābhārata; Rāmāyaṇa]
— diselesaikan, diputuskan, ditetapkan, diakui, sah, [dipakai dalam Manu-smṛti; Yajñavalkya; Mahābhārata] dll.
— persepsi, pengamatan, [dipakai dalam Sāṃkhyakārikā; Tattvasamāsa]
Kitab-kitab Atharva-veda; Vājasaneyi-saṃhitā; Manu-smṛti; Mahābhārata; Sastra Kavya; Pañcatantra; Hitopadeśa; Rāmāyaṇa; Yajñavalkya; Sāṃkhyakārikā; Tattvasamāsa — dari ratusan tahun bahkan ribuan tahun sebelum masehi telah memakai kata ini.
Dalam makna luas dan konteks makna tersebut di atas istilah dṛṣṭa dalam Hindu dṛṣṭa Kaharingan, Hindu dṛṣṭa Toraja, Hindu dṛṣṭa Tengger, Hindu dṛṣṭa Banyuwangi, dan seterusnya. dirujuk atau dijadikan panduan semantik dalam catatan ini.
3. Pemakaian dṛṣṭa dalam istilah Hindu dṛṣṭa Bali adalah merujuk pada Hinduisme yang berkembang dengan mengakar kuat dengan warna lokalitas Bali, dengan sejarah panjangnya bersinkretik dengan tradisi kuno Bali, dengan masyarakat pre-Hindu di Bali yang telah mengenal religi lokal yang mendalam, dan perjumpaan dalam sejarah panjang ini yang menghasilkan apa yang kita kenal sebagai Hindu dṛṣṭa Bali.
Jika melihat ke wilayah atau kepulauan lainnya di Nusantara, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka Hinduisme yang berkembang di luar Bali juga tumbuh bermetamorfose dengan dṛṣṭa atau lokalitasnya masing-masing. Kita pun sekarang mendapati Hinduisme dalam pelukan lokalitas Kaharingan berkembang sebagai Hindu dṛṣṭa Kaharingan. Hindu dengan warna khazanah lokal Karo dan Batak lainnya merupakan Hindu dṛṣṭa Batak. Hinduisme yang berkembang dalam warna budaya kuno Toraja adalah Hindu dṛṣṭa Toraja. Hindu Tengger adalah Hindu dṛṣṭa Tengger.
Hindu di Lombok, sekalipun warganya kebanyakan berleluhur dari migrasi suku Bali ke Lombok, kalau kita telisik secara lebih rinci perkembangannya, religi Hindu di Lombok adalah persemaian Hinduisme dari Bali yang telah baur dengan lokalitas Lombok, menjadi Hindu dṛṣṭa Lombok atau Sasak. Salah satu tradisinya di Pura Lingsar, dan atau upakara di Lombok Daya yang punya lokalitas yang terkait dengan etnis setempat, yang memberi warna Hinduisme di Lombok yang khas.
4. Jika kita amati Hindu Ngaju, dengan upacara Tiwah yang merupakan upacara kematian yang digelar untuk seseorang yang sudah meninggal, untuk mendoakan dan mengantar perjalanan salumpuk liau menuju lewu tatau, merupakan konsep alam pitara di masyarakat Dayak Ngaju — bisa disebut sebagai upakara Pitra Yadnya berdasarkan Hindu dṛṣṭa Ngaju.
Apa yang disebut sebagai Upacara Tiwah dalam Hindu dṛṣṭa Ngaju, dalam Hindu dṛṣṭa Bali dikenal sebagai Upakara Atiwa-tiwa. Tiwah dan Atiwa-tiwa masing-masing secara ekspresi budaya yang kandungan lokalitasnya masing-masing mengakar kuat, dengan ekspresi tradisi lokal yang kental. Secara esensi, keduanya masuk dalam rumpun Pitra Yadnya.
Dalam Hindu dṛṣṭa Tengger upakara sejenis ini disebut ENTAS-ENTAS. Secara spirit sama dengan ATIWA-TIWA dalam dṛṣṭa Bali, dan TIWAH dalam dṛṣṭa Ngaju. Kata ENTAS-ENTAS mengingatkan kita pada keberadaan Tirta Pangetas dalam tradisi Hindu dṛṣṭa Bali, yaitu air suci penyucian ruh orang meninggal untuk pembuka-gerbang suci keberangkatannya menuju alam Pitra.
Masih banyak lagi upakara dari kelahiran sampai kematian di berbagai daerah di Nusantara mengikuti atau seirama dengan ajaran Vaidika (bersumber dari teks kuno Weda) dengan lokalitasnya yang kuat.
Apa yang dikenal sebagai Ashtasamskara dalam tradisi Nigama dan Agama berbasis Weda — 8 Ritus Peralihan Hidup Manusia Hindu — masih banyak ditemui dalam masyarakat Nusantara di berbagai daerah, sekalipun secara KTP tidak memeluk Hindu.
Upakara Ashtasamskara itu sebegai berikut:
— Namakarana: Upacara pemberian nama.
— Anna Prasana: Awal dari makanan padat.
— Karnavedha: Tindik telinga.
— Chudakarma atau Chudakarana: Mencukur Kepala.
— Vidyarambha: Awal Pendidikan.
— Upanayana: Upacara Benang Suci. [Ini bisa dikatakan tidak lagi ditemui di Nusantara].
— Vivaha: Pernikahan.
— Antyeshti: Pemakaman atau Ritus Terakhir.
Upacara-upacara tersebut di atas bisa dilacak dalam budaya Jawa, Kalimantan, Melayu, dstnya. Semua masih dilangsungkan dengan lokalitanya masing-masing. Inilah yang kita sebut sebagai dṛṣṭa di masing-masing daerah dimana diselenggarakan ritual atau upakara tersebut.
5. Dalam urusan kepanditaan atau kependetaan Hindu di Nusantara mempunyai inisiasi atau DIKSA-nya masing-masing sesuai DRESTA-nya masing-masing. Di suku-suku di Kalimantan, dari Ngaju-Kaharingan dll, punya dṛṣṭa tersendiri dalam meng-INISIASI atau DIKSA calon pendetanya masing-masing.
Proses inisiasi tersebut umumnya disaksikan oleh lembaga adat, oleh perwakilan atau tetua suku, dan selanjutnya yang bersangkutan diakui secara sah sebagai pendeta yang resmi atau sah untuk Hindu Ngaju — inilah yang bisa kita disebut sebagai DIKSA-DRESTA-NGAJU atau DIKSA-DRESTA-KAHARINGAN. Demikian juga masyarakat Tengger punya tradisi kuno dalam inisiasi resmi pengangkatan resmi pandita Hindu Tengger. Hindu Batak juga memiliki dṛṣṭa-nya dalam pemilihan dan pelantikan kepanditaannya.
Tradisi kepanditaan Hindu dalam berbagai suku bangsa di Nusantara tersebut adalah buah perjumpaan teks-teks suci kuno dan praksis yang berabad-abad, bertumbuh-kembang dengan kedalaman lokalitasnya masing-masing. Jika diperhatikan koridornya satu dalam tujuan, yaitu: Pemuliaan jiwa-atma (atma yang dilingkupi oleh wasana-karma personal), yang kemudian disucikan dengan upakara untuk dilepas wasana-karmanya, sehingga yang tertinggal diharapkan kesucian atmanya belaka, “dimatikan masa lalu dan kehidupan lampaunya” dan terlahir kembali dalam kesucian. Untuk selanjutnya ‘atma’ yang bersangkutan menjadi “perantara umat” terhubung dengan “parama-atma”.
Berbagai inisiasi kepanditaan tersebut, yang telah mengakar dengan lokalitasnya itulah, yang tersebar di berbagai wilayah yang menjadi tradisi suku-suku Hindu di Nusantara tersebut, perlu digali dari tradisi lisan dan dibantu rumuskan agar menjadi warisan tertulis. Dari tradisi yang diingat secara lisan dalam praksis-laku upakara, perlu disurat sebagai rekaman jejak tradisi, sehingga menjadi legasi yang bisa dipakai koridor umum generasi masa depan dalam kegiatan keagamaan, terkhusus pengangkatan pandita Hindu di masing-masing daerah di Nusantara.
Inisiasi kependetaan Hindu di Dayak, Batak, dll. ini mesti dipahami dan dirumuskan oleh lembaga Hindu di Nusantara, berdasarkan lokalitasnya, berdasarkan keragaman budayanya.
Jika kita bandingkan dengan persebaran Hinduisme di India Selatan, di sana pun mempunyai dresta-nya sendiri-sendiri. Demikian juga di Nepal, atau di utara di Kashmir, semua dengan lokalitasnya yang khas. Secara umum masyarakat Hindu di bentang Jambu Dvipa merasakan pentingnya untuk tetap menjaga dṛṣṭa mereka masing-masing, karena itulah wujud hasil jalinan tradisi Vedic dengan tradisi kuno di masing-masing wilayah dan suku-sukunya yang berbeda.
Hinduisme ketika menyebar di berbagai belahan dunia berbaur dan menyusup. Perjumpaannya dengan religi lokal membuatnya mengakar-mendṛṣṭa. Tradisi dan religi lokal tidak diberangus, tetapi dijadikan akar-akar serabut yang membumi. Dengan proses berabad-abad penyatuan diri dengan lokalitas-lokalitas inilah resapan saripati Hinduisme menjadi sangat mengakar. Hindusime bertumbuh dengan warna kulturalnya yang beragam di berbagai belahan dunia, dengan tetap sejiwa di lubuk terdalamnya. [T]