Kasus perempuan asal Bali yang berpindah agama, videonya menjadi viral dan menuai kontroversi karena dinilai melecehkan agama asalnya, memberi pelajaran berharga; perpindahan atau konversi agama tak bisa dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja.
Konversi bukan hanya soal iman, lebih jauh dari itu; politik agama, ego kelompok, dan tarik-menarik umat. Konversi atau perpindahan agama salah satu penyebabnya karena belum adanya keberanian negara mendukung pernikahan beda agama. Hal ini berujung pada makin maraknya konversi agama atas nama cinta dan perkawinan. Kita mengenal istilah “agama statistik”, pemeluk agama dalam angka yang kemudian memunculkan frasa mayoritas dan minoritas.
Ini isu sensitif, di tengah negeri yang menganggap iman hal utama, ditambah peraturan lama yang sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masa kini, di abad yang konon modern.
Dahulu, kondisi keberagamaan di Indonesia sangat baik. Perbedaan tak pernah menjadi persoalan. Apresiasi, tak sekadar toleransi. Anton membaca kitab keyakinan berbeda. Begitu juga Katrin bebas bergaul dengan Dayat yang notabena beragama tak sama.
Pemerintahan berganti, yang juga berarti pergantian berbagai kebijakan. Negara masuk ke berbagi sendi kehidupan, termasuk soal berkeyakinan. Iman menjadi nomor satu, seakan-akan kita bangsa baik. Namun, jauh panggang dari api. Dari luar, kita memang terlihat baik, tapi kenyataannya perbuatan dalam keseharian justru berbeda. Kita diajari menjadi palsu, munafik.
Di dunia, penduduk negeri kita dikenal mulia, religius, jauh dari perbuatan cela dan hina. Kita bangga, dan terbuai citra tersebut. Perkawinan lalu diatur sedemikian rupa. Mesti satu agama. Tak boleh berbeda keyakinan.
Bagi pasangan berbeda agama akhirnya, atas nama cinta, baik lelaki atau perempuan mengalah, pindah keyakinan mengikuti agama calon suami atau istri. Demi keutuhan rumah tangga. Atau, menikah dengan pura-pura berpindah agama, setelah itu kembali ke agama semula.
Harmoni. Kita memang tak suka konflik. Lebih baik diam, daripada ribut-ribut. Tak enakan, malu, konflik dianggap tabu. Kemunafikan terulang, hingga sekarang. Agama, sejatinya amatlah suci, agung. Manusia yang kadang jahat dan—maaf—brengsek.
Kini, puluhan tahun telah berlalu, kita masih mewarisi sifat dan sikap pendahulu kita. Selama peraturan perkawinan tidak berani untuk ditinjau ulang, perpindahan agama, terutama karena pernikahan, akan tetap dan terus ada.
Kita semua sedang sakit. Tahu diri sakit tapi menolak bahkan berang saat banyak sahabat yang mengingatkan keadaan diri. Konversi agama sangatlah menyakitkan. Anak-anak bingung melihat rumah tangga penuh keributan, tarik-menarik ibu dan ayah, semua merasa paling suci dan benar. Itu bahkan dilakukan secara sadar atas nama cinta. Ironis.
Kita mesti menengok India pada masa lalu. Keadaan kita kini tak jauh berbeda.
Mahatma Gandhi, tokoh anti kekerasan dan Bapak Bangsa India sangat berhati-hati menanggapi isu konversi agama. Beberapa kali Gandhi menjadi sasaran konversi, sejak ia muda. Beliau menolak dengan halus. Imannya tak mudah diterpa angin. Beliau banyak membaca buku, mempelajari agama lain di luar keyakinannya. Itu senjata ampuh melawan upaya dan gerakan konversi agama kala itu.
Sudahlah. Mari hentikan “kegilaan” ini. Iman adalah sesuatu yang asasi, hakiki. Pancasila, yang digali dari nilai dan kebijakan kuno Nusantara dengan sangat jelas mengatakan hal itu.
Pindah agama hanya bisa dilakukan dengan kesadaran, tanpa paksaan. Dengan hati yang bersih, murni dan suci. Jika tidak, hal itu merupakan penyangkalan terhadap [keagungan] Tuhan serta agama. Pesan Gandhi, Sang Jiwa Agung untuk kita semua perlu kita renungan bersama:
“Conversion without a clean heart is a denial of God and religion.” [T]