Ketut Erawati dari Banjar Bali: Laris Manis Siobak Singaraja di Denpasar
Mencari warung siobak di Buleleng gampang. Itu karena siobak sudah dianggap sebagai kuliner khas Buleleng. Namanya biasa diebut Siobak Singaraja.
Tapi jangan cemas. Di Denpasar kini banyak terdapat warung siobak. Salah satu warung makan di Denpasar yang menyediakan makanan khas Buleleng ini yaitu “Warung Rama Siobak Singaraja” di Jalan Letda Made Putra No.56 Dangin Puri, Denpasar. Kuliner olahan berbahan babi ini yang dikelola Ketut Erawati memang memang digemari di Denpasar.
Foto: Ketut Erawati
Siapa Ketut Erawati?
Pemilik dari Warung Makan Rama ini berasal dari Banjar Bali di kota Singaraja. Ia memulai usahanya semenjak Tahun 1985. Awalnya ia hanya bermodal resep makanan dari teman, lalu memberanikan diri untuk membuka usaha siobak di daerah Jalan Nangka Denpasar.
Setahun usahanya belum mendapatkan hasil maksimal karena perolehan penjualan yang sedikit. Sempat terbesit pikiran dari Erawati untuk kembali ke daerah asal Singaraja atas permintaan suami.
“Pada saat saya awal merintis usaha memang tidak mudah, yang awalnya sepi hingga saya menjual apa yang saya bawa untuk bertahan hidup di Denpasar,” ujar Erawati.
Karena keinginannya untuk berjuang menjalankan usahanya agar berkembang, Erawati melakukan berbagai cara agar usahanya bisa ramai yaitu sempat mencoba dengan mengganti resep sausnya sebanyak 10 kali, dan menggunakan bahan baku yang berasal dari Singaraja langsung seperti tauco, rempah-rempah, dan lain-lainnya.
Kerja keras itu pun dapat membuahkan hasil pada Tahun 1991.
Pada tahun tersebut ibu 3 anak ini merasakan perubahan usahanya sedikit demi sedikit mengalami kemajuan dan peminat dari makanannya pun sudah mulai banyak karena melalui info dari mulut ke mulut.
Tentu saja terdapat berbagai rintangan yang ditemui saat menjalankan usahanya, misalnya saat merebak isu virus flu babi. Secara tidak langsung isu itu mempengaruhi penjualannya. Pada saat itu dalam satu hari nya omset penjualannya sangat turun drastis selama 10 hari bisa sampai turun 70 % dari penjualan di hari biasanya dan terbesit pikiran untuk mengurangi jumlah pegawai.
Dengan ketegaran hati serta kerja keras Erawati untuk mampu bertahan dan memberikan pemahaman kepada konsumen, ia dapat mampu mengembalikan kepercayaan konsumennya untuk menikmati lagi makanan nya dengan aman.
Lebih jauh diungkapkan Erawati, dalam perjalanan usahanya ia tentunya menyesuaikan teknis pemasaran dengan perkembangan zaman seiring umur usaha nya yang terbilang sudah cukup lama.
Foto: Ketut Erawati dan sibaok-nya
Dengan bantuan sanak keluarganya, dan atas rekomendasi dari konsumen yang puas menikmati kuliner di warungnya melalui review di sosial media seperti youtube, dan facebook. Erawati membuktikan bahwa usahanya masih layak untuk bertahan. Dengan bantuan sosial media ia mampu mengembangkan usahanya hingga mendapat konsumen dari luar Bali yaitu seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Balikpapan.
Usanya mengalami peningkatan penjualan pada saat libur lebaran dan libur akhir tahun. Tidak tanggung-tanggung penghasilan yang di dapat bisa mencapai 20 juta per bulannya.
Harapan Erawati ke depan dari usahanya tersebut yaitu bisa mengembangkan lagi usahanya dengan menciptakan berbagai inovasi menu makanan baru tentunya dengan mengikutsertakan ciri khas Buleleng, serta membuka lapangan pekerjaan khususnya bagi masyarakat Buleleng yang ingin merantau ke Kota Denpasar.
Made Erlangga Sandiadi dari Desa Bebetin: Bangun “Kopi Pasar” dengan Konsep Minimalis
Pernah mendengar Kopi Pasar? Banyak orang di Denpasar sudah kenal ikon kopi pasar, yakni sebuah coffee shop yang berada di tengah-tengah pasar tradisional, yakni di Pasar Sanglah.
Penggagas Kedai Kopi Pasar ini adalah I Made Erlangga Sandiadi (39) bersama kakak sepupunya, I Komang Setiawan (45). Erlangga dan Setiawan merupakan warga yang berasal dari desa Bebetin, kecamatan Sawan, Buleleng.
Foto: I Made Erlangga Sandiadi
Kopi Pasar kini memiliki tiga cabang outlet di Bali dengan omset perbulannya bisa mencapai puluhan juta perbulannya.
Pada awalnya kios yang ia gunakan sebagai tempat usaha kopinya ini, merupakan kios baju yang dikelola oleh ibu dari Setiawan, namun karena suatu hal pemilik toko baju itu pun berhenti berjualan di Pasar, dan setelah itu Erlangga dan Setiawan mencetuskan ide untuk membuat coffe shop yang berbeda dari yang biasanya yaitu mengusung konsep “minimalis klasik”.
“Awalnya kan kebetulan kakak sepupu besarnya di Sanglah. Sebelum ada coffee shop, awalnya tempat ini toko baju yang dikelola oleh bibi saya ibunya dari kakak sepupu. Saat itu bibi sudah ingin berhenti berjualan di Pasar,” terangnya.
Untuk bahan baku kopi, ia dapatkan dari kebun kopi milik sendiri yang terletak di kampung halamannya yakni desa Bebetin, Sawan, Singaraja. Jenis kopi yang ditanam yaitu kopi Robusta dengan alasan rasa kopi yang menyesuaikan karakteristik dari Kopas itu sendiri.
Sebelumnya selama ini hasil kopi dari kebunnya hanya dipasarkan ke pengepul saja, dan dengan membuka usaha coffee shop ini diharapkan juga dapat mengembangkan kopi dari kebunnya, sekaligus memberikan mata pencaharian baru bagi masyakarat sekitar yang bergelut juga dibidang perkebunan khusunya tanaman kopi.
Usaha coffee shop ini baru ia geluti selama dua tahun yakni mulai dari Februari Tahun 2020 lalu, namun kendala yang dihadapi pada saat pertama kali buka yaitu dikarenakan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari pemerintah yang membatasi jam operasional tapi Erlangga memutuskan tetap membuka kedai dengan jumlah karyawan dua orang.
Tapi keadaan itu tidak membuat Erlangga menyerah, bahkan ia pun terus berinovasi untuk menciptakan menu – menu baru. Dengan usaha gigih yang dilakukannya, pada tahun 2021 Erlangga sukses membuka dua outlet cabang barunya di Bali, dan satu outletnya di Kupang. Outlet tersebut diantaranya kedai Kopas Dewi Sri, kedai Kopas Renon, dan kedai Kopas Rantai Damai Kupang, yang masing – masing outlet diisi oleh dua orang pekerja.
Foto: Kopi Pasar
“Kita baru buka ini bulan Februari 2020 lalu, jadi sudah dua tahun tiga bulan. dan perkembangannya sampai tahun ini cukup pesat sampai kita bisa membuka tiga outlet baru selain Kopas Sanglah,” ucap pria 39 tahun ini.
Lebih lanjut dijelaskan menurutnya, Kopi Pasar memiliki daya tariknya sendiri hingga lebih mudah diingat oleh semua orang, guna menarik kaum milenial yang menjadi target pemasarannya, harga yang dipatokpun untuk makanan dan minuman terbilang cukup terjangkau.
Mulai dari harga makanannya dibanderol dengan harga mulai dari 6 ribu rupiah yakni berupa roti bakar dengan tiga varian rasa. Sementara untuk minuman harganya mulai dari 7 ribu rupiah yakni Kopi panas Americano.
Selain kaum milenial, karena lokasinya yang cukup dekat dengan RSUP Sanglah, beberapa tim medis pun juga datang ke kedai ini, namun tidak jarang juga beberapa komunitas juga sering berkunjung di sini seperti komunitas bola, motor, dan bankers.
“Sebenarnya kita tidak pernah membatasi segmen market karena lokasi pasar siapa aja bisa masuk cuma kita berusaha untuk bisa diterima semua kalangan,”pungkasnya.
Foto: Dapur Kopi Pasar
Lebih jauh pria yang akrab disapa angga ini mengungkapkan jika ada menu favorit kopi yang sering di pesan yaitu Cappucino. Dimana proses dalam pembuatannya tersebut dari awal grinder biji kopi, selanjutnya mengextract kopi sesuai takarannya, dan steam susu untuk pembuatan latte art.
Sudah dua tahun lebih membuka kedai ini, Erlangga mengatakan pendapatan kotor yang ia dapatkan dalam sebulan kurang lebih hingga 20 juta rupiah per outlet. Angka tersebut belum dikurangi dengan beberapa biaya operasional seperti gaji karyawan ataupun biaya maintenance lainnya.
Dengan kondisi usahanya yang sekarang sedang berkembang dengan memiliki tiga outlet di Bali tidak membuat Erlangga berpuas diri. Ia memiliki keinginan kedepannya tidak hanya membuka kedai saja namun akan memulai industri ekspor beberapa jenis kopi.
Ni Komang Parnadi dari Sukasada: Rujak Buleleng di Jantung Kota Denpasar
Siapa yang tidak kenal Rujak Buleleng? Masyarakat Bumi Panji Sakti tentu tidak asing dengan makanan khas yang terdiri dari irisan beragam buah seperti kedondong, ubi jalar, mangga, pepaya, bengkuang, nanas, mentimun, dan pisang batu lalu dicampur dengan bumbu ulek khas yang terbuat dari gula Bali, terasi, cabai rawit dan garam.
Kuliner rakyat yang sehat dan murah meriah ini tentunya tidak sulit ditemui di Kabupaten Buleleng terutama pada wilayah Kota Singaraja. Namun, menu ini juga tidak sulit untuk ditemui di luar Buleleng karena juga dijual oleh masyarakat Buleleng yang merantau ke kabupaten lainnya di Bali.
Salah satu tempat yang menjual Rujak Buleleng adalah Warung Rujak Merdeka yang berlokasi di jantung Kota Denpasar, tepatnya Jalan Merdeka No. 88, Denpasar Timur. Lokasi strategis yang dekat dengan kompleks gedung pemerintahan membuat warung rujak ini mudah untuk ditemui.
Foto: Ni Komang Parnadi
Pemilik Warung Rujak Merdeka, Ni Komang Parnadi mengatakan dirinya mengedepankan cita rasa khas Buleleng sebagai daya tarik utama warung yang didirikannya sejak tahun 2012 silam itu. Berkat itu, warung yang Ia kelola berhasil menghadirkan memikat masyarakat Kota Denpasar akan cita rasa otentik khas Buleleng.
Menurut Parnadi, cita rasa Rujak Buleleng memiliki ciri khas pada bumbunya yang jauh berbeda dengan rujak di Bali Selatan, yaitu kombinasi antara gula Bali, terasi, dan cuka yang dapat menciptakan rasa khas asam, manis, dan asin secara bersamaan. Tambah Parnadi, cita rasa tersebut semakin kuat dengan bahan baku yang juga khas Kabupaten Buleleng seperti gula aren Pedawa.
“Memang khas rasa gula pedawa, manisnya itu beda dari gula lainnya,” ujarnya.
Selain itu, ciri khas lainnya adalah dari penggunaan terasinya. Parnadi mengatakan pembuatan rujak Buleleng itu menggunakan terasi yang dipanggang, sehingga memberikan rasa terasi yang unik dibandingkan dengan rujak daerah lainnya. Selain itu, penggunaan cuka juga menjadi ciri khas rujak Buleleng sebagai penguat rasa asam.
Tidak hanya dari segi bumbu, komposisi buah Rujak Buleleng juga memiliki keunikannya tersendiri. Selain menggunakan buah-buahan yang lumrah pada rujak Bali, Rujak Buleleng memiliki daya tarik utama pada buah pepaya, mentimun dan ubi jalar. Hal itu menurut Parnadi karena pengirisan buahnya menggunakan alat khusus yang digunakan oleh pembuat rujak Buleleng yaitu “gobet”.
“Gobet” atau “gobed” merupakan alat yang terbuat dari balok kayu yang tengahnya diberi lubang pipih dengan mata pisau sebagai pemotong buahnya. Kata Parnadi, gedang dan ubi jalar “mecacah” atau yang diiris dengan “gobet” ini memiliki tekstur irisan yang unik yaitu tipis dan panjang sehingga terasa gurih saat dimakan.
Mengenang masa awal dirinya mendirikan Warung Rujak Merdeka, Parnadi mengatakan ia semula berjualan di kampung halamannya, Sukasada. Namun, karena menargetkan pangsa pasar yang lebih luas, pada tahun 2012 silam Parnadi sekeluarga memutuskan untuk pindah ke Kota Denpasar. Pada tempat yang baru, warung rujak didirikannya secara sederhana lalu diberi nama yang sama dengan jalan lokasi warungnya berada yaitu Merdeka.
“Dulu warungnya masih kecil, menunya juga nggak selengkap sekarang, jualannya baru rujak, daluman, jaje Bali, sama tipat cantok dan tipat plecing,” kenang ibu anak satu itu.
Berbekal pengalaman mengelola warung rujak yang telah ia jalani sejak masih lajang, Parnadi menjalankan Warung Rujak Merdeka dari nol secara perlahan. Parnadi mengaku pada awalnya Warung Rujak Merdeka masih sepi karena masyarakat sekitar masih asing dengan Rujak Buleleng.
Foto: Rujak dan tipat cantok Warung Merdeka
Namun, keberadaan warungnya yang menjual kuliner khas Buleleng menarik perhatian sejumlah masyarakat Buleleng yang merantau di Kota Denpasar, berbondong-bondong mereka datang untuk mengobati rasa rindu akan cita rasa kuliner kampung halaman mereka. Bermula rasa penasaran lalu berlanjut menjadi langganan.
Berkat promosi dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh para pelanggannya, Warung Rujak Merdeka pun juga berhasil menarik perhatian masyarakat asli Denpasar maupun daerah lainnya untuk mencicipi Rujak Buleleng. Menurut Parnadi, banyak dari mereka yang akhirnya terpikat dan menjadi langganan karena Rujak Buleleng buatannya dapat menghadirkan cita rasa baru yang berbeda dari cita rasa rujak Bali selatan pada umumnya.
Seiring berjalannya waktu, reputasi warung rujak miliknya pun juga menarik perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Pada musim liburan, banyak wisatawan yang datang ke Warung Rujak Merdeka baik yang sekadar penasaran ingin mencicipi maupun sudah berlangganan setiap berlibur ke Bali. Bahkan, artis ibukota pun yaitu Anang dan Ashanty sempat singgah di Warung Rujak Merdeka dan terpikat dengan kuliner khas Buleleng.
Demi memenuhi permintaan pelanggannya, seiring berjalannya waktu Parnadi mulai menambah menu yang dijualnya seperti rujak kuah pindang, blayag, lumpia, tipat plecing sere lemo, dan lain sebagainya. Meski terdapat sejumlah menu khas kabupaten lain, namun sebagian besar menu yang dijual masih memegang teguh cita rasa khas Buleleng.
“Seperti lumpianya, beda sama yang Bali Selatan yang pakai bumbu kacang, di sini kita pakainya base (bumbu) siobak,” jelasnya.
Setelah Warung Rujak Merdeka berjalan selama 9 tahun, Parnadi memutuskan untuk melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka cabang baru di Jalan Tukad Badung, Denpasar. Tidak hanya pelayanan makan di tempat, Parnadi juga menerima pesanan skala besar untuk konsumsi acara seperti ulang tahun, arisan, rapat, dan lain sebagainya.
Meski telah mempekerjakan 9 orang karyawan/ti pada kedua cabang Warung Rujak Merdeka, Parnadi sehari-hari masih turun tangan langsung untuk meracik rujak maupun makanan lainnya. Hal itu guna menjaga cita rasa Warung Rujak Merdeka agar tetap otentik dan tidak berbeda dari saat pertama kali dirintis.
Disinggung mengenai omzet yang diperolehnya dalam sehari, Parnadi mengaku bisa memperoleh sekitar 4 juta rupiah. Jumlah tersebut diakuinya lebih kecil dari omzet pada masa sebelum pandemi Covid-19 yang bisa mencapai 6 juta rupiah dalam sehari. Namun, semenjak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dilonggarkan oleh pemerintah, omzet Warung Rujak Merdeka berangsur-angsur meningkat, meskipun belum sebanyak omzet sebelum pandemi Covid-19.
Foto: Aktivitas di dapur Warung Rujak Merdeka
Kendatipun warung miliknya berlokasi pada tempat yang terbilang strategis, sehingga lumrah bagi usaha kuliner untuk mematok harga yang tinggi, Parnadi mengaku tidak neko-neko dalam mematok harga pada menu Warung Rujak Merdeka. Ia menyebutkan rentang harga menu makanan dan minuman yang dijual mulai dari 10 ribu rupiah sampai dengan 20 ribu rupiah saja.
“Sangat terjangkau lah harganya, rujaknya 10 ribu, tipat cantoknya yang biasa 12 ribu, kalau tambah telur 15 ribu,” sebutnya.
Sebagai pelaku usaha kuliner yang melestarikan kuliner khas Buleleng, Parnadi berpesan khususnya kepada generasi muda Buleleng untuk bangga terhadap cita rasa kuliner khas Buleleng. Hal itu karena menurutnya kuliner khas Buleleng tidak hanya dicintai oleh masyarakat Bumi Panji Sakti, namun masyarakat Bali selatan dan bahkan turis domestik maupun mancanegara pun juga terpikat oleh cita rasa khas Buleleng.
“Kita sebagai masyarakat Buleleng harus menyadari kekayaan cita rasa kuliner khas Buleleng,” tutupnya
Agus Weda Wiguna dari Banyuatis: “Jagir Printing dan Advertising”
Selain usaha kuliner, ada juga orang Buleleng yang berusaha di bidang periklan, reklame atau biasa disebut advertising. Ia adalah I Gede Agus Weda Wiguna (44) dari Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar.
Pria yang akrab disapa Weda Jagir ini memang memiliki semangat pantang menyerah dalam merintis usaha di bidang periklanan yang biasa masyarakat luas mengenalnya sebagai “Jagir Printing dan Advertising”. Kantornya berlokasi di Jalan Tukad Balian, Gang Jagir, Denpasar.
Foto: I Gede Agus Weda Wiguna
Kesuksesan yang diraihnya sekarang ini tentu tidak melalui proses yang instant. Mengawali karirnya bekerja pada sebuah event organizer disuatu bengkel production, weda menekuni ilmu sebagai dasar untuk membuka bisnis advertising. Dengan mendapat bekal pengalaman yang cukup akhirnya weda memilih keluar dari perusahaan sebelumnya dan memutuskan mendirikan sendiri usahanya dimulai dari nol.
Awalnya pada Tahun 2006 usaha yang dijalaninya ini bernama CV. Jaya Giri, dalam perjalanannya nama tersebut mendapat masukan dari beberapa konsumen yang menyebut nama tersebut terlalu panjang, atas masukan tersebut pun weda pun mengubah nama usahanya pada Tahun 2008 dengan nama “Jagir” yang merupakan singkatan dari Jaya Giri.
Bermodalkan kreativitas dan seni weda jagir menawarkan berbagai jasa reklame printing indoor dan outdoor serta interior dan eksterior ke konsumen dengan prinsip “one stop advertising” yang tentunya disambut dengan respon positif dari mereka. Bahkan tak jarang beberapa konsumen menggunakan jasa Jagir Printing dan Advertising ini menjadi militan sehingga tak ingin pindah ke tempat lain.
Hampir 80% jasa reklame dan segala bentuk baliho di Bali dengan berbagai ukuran dikerjakan oleh tangan dinginnya. Usaha yang dijalankannya ini membuat namanya sangat dikenal di berbagai kalangan mulai dari politisi, pengusaha, pemerintahan, dunia entertainment bahkan hingga masyarakat sipil.
Mendapat dukungan penuh dari istri tercinta Dewi Eka Yanthi tentu bisa menjadi semangat tersendiri baginya. Pada saat-saat tertentu biasanya selalu banyak dimanfaatkan seperti Pemilu, Pilkada, event-event besar, konser musik dan acara lainnya.
Sarjana ekonomi Universitas Warmadewa ini berusaha menjual ide kreatifnya dalam sebuah karya yang diharapkan bisa menyampaikan pesan kepada orang lain, inilah nilai lebih dari bisnis yang ia geluti hingga saat ini. Usahanya ini, selalu disibukkan dengan pengerjaan baliho mulai dari ukuran kecil hingga besar, spanduk berbagai ukuran dan layanan reklame lainnya.
“Konsumen buat kami bukan hanya sebagai rekan kerja yang membutuhkan jasa kami, tapi menurut saya mereka adalah bagian dari usaha saya sehingga kami masih bisa bertahan di tengah gempuran persaingan bisnis advertising ini. Karenanya tali silaturahmi persaudaraan dan komunikasi selalu kita jaga agar hubungan bisa berkesinambungan,” ujar pria tiga anak ini.
Setelah hampir kurang lebih enam belas tahun menggeluti bisnis advertising ini, weda mengatakan pendapatan kotor yang diperolehnya dalam sebulan kurang lebih mencapai lima ratus juta rupiah, dan dalam kondisi tertentu seperti halnya Pemilu dan Pilkada omset yang diperoleh weda pun meningkat bisa mencapai satu milyar, namun angka tersebut belum dikurangi dengan beberapa biaya operasional seperti gaji karyawan, biaya transportasi ataupun biaya maintenance lainnya.
Wedapun mengakui, seiring perkembangan zaman dan modernisasi pada dunia advertising dirinya tak selamanya bisa sendiri merajai bisnis ini. Mau tidak mau mulai bermunculan pesaing-pesaing yang tentunya harus siap dihadapinya dengan berbagai inovasi bisnis yang dimiliki pesaing tersebut. Modernisasi ini diakui membuat semua orang berhak untuk mendapat tempat khusus dalam bisnis reklame dan sejenisnya.
Namun dirinya juga meyakini bisnis yang dijalankannya adalah bisnis kreatif yang membutuhkan pemikiran cerdas yang dipadukan dengan nilai seni sehingga suatu karya bisa memiliki pesan yang siap disampaikan dan terbaca oleh orang yang melihatnya. “Saya tetap bertahan dibisnis yang saya rintis dari nol ini, saya yakin meski semua berpeluang untuk mempunyai usaha yang sama, namun yang namanya selera apalagi nilai seni pasti masing-masing punya nilai tersendiri dimata konsumen. Intinya tetap menjaga kualitas dan profesional pasti orang tetap akan pakai jasa kami,” ucapnya.
Lebih lanjut diungkapkan weda terkait keinginannya kedepan bagi bisnis yang ditekuninya saat ini akan mengembangkan lagi kreatifitas dibidang advertising seperti contoh yang sedang berjalan saat ini advertising dengan menggunakan LED billboard yang secara tidak langsung mendukung kebijakan pemerintah untuk mengurangi penggunaan plastik.
Foto: Aktivitas pemsangan reklame Jagir Printing dan Advertising
Lebih jauh disinggung terkait usaha yang dijalankannya pada masa pandemi Covid-19, sangat berpengaruh terhadap penjualan dari produk jasanya, dengan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) omset yang diperolehnya menurun sampai 70 % dikarenakan masyarakat kebanyakan berdiam di rumah sehingga efektivitas dari kegiatan promosi pun berkurang. Untuk menangani kondisi tersebut, weda pun berinisiatif untuk membuat akun youtube bekerja sama dengan band ternama di Bali dinamai “Jagir Channel” dengan konten andalannya yaitu NGELINK.
“Pandemi Covid -19 ini tentu saja berat untuk semua pelaku usaha termasuk kami dan membuat omset menurun, namun saya berinisiatif untuk mencari alternatif lain yang bisa membuat bisnis saya mampu bertahan dengan membuat konten di youtube yang sampai sekarang masih aktif,” pungkas pria yang hoby otomotif ini.
Tidak hanya ingin menekuni usaha dalam bidang advertising, weda pun mengembangkan usahanya dibidang kuliner dengan membuat café yang menyediakan live music performance bernama “Jeger House” yang telah dibuka pada 1 November 2021.
Selain itu, weda pun memiliki rencana untuk memperdayakan masyarakat disekitar Banyuatis, ia ingin membuat tempat untuk menenangkan diri atau lebih dikenal dengan “Jagir Munduk Sacred River” diperuntukan kepada orang yang ingin melepas beban pikiran dari kesibukan sehari-harinya karena disana terdapat beberapa mata air dan suasana yang tenang dengan kondisi alam yang masih asri. Dijelaskan oleh weda usaha yang direncanakannya ini sebagai bekal dalam mengisi kesibukan pada masa tuanya nanti. [T][Ado/*][Ag/Can]